logo2

ugm-logo

Perubahan Iklim, Juli 2021 Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Kondisi ini menunjukkan penambahan jalur gangguan perubahan iklim dunia.

Perubahan iklim dan pemanasan global tak membaik. Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat menyebut, Juli 2021 menjadi bulan terpanas di dunia yang pernah tercatat.

“Rekor ini menambah jalur gangguan perubahan iklim dunia,” kata Administrator NOAA Rick Spinrad, PhD, pada situs badan tersebut, Jumat (13/8). 

Dalam catatannya, Juli biasanya menjadi waktu terpanas dunia sepanjang tahun. Khusus pada bulan lalu, suhu permukaan global lebih tinggi 0,93 derajat Celcius dari rata-rata abad ke-20 yang mencapai 15,8 derajat Celcius. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk bulan Juli dalam 142 tahun. 

Angka tersebut lebih tinggi 0,01 derajat Celcius dari rekor sebelumnya, pada 2016. NCEI menyebut, tujuh bulan Juli terpanas terjadi sejak 2015. Tahun ini menandai Juli ke-45 secara berturut-turut kenaikan suhu global.  

Pemanasan permukaan dataran global dipicu menghangatnya daratan bumi belahan utara. Pada bagian jagat ini, suhu bulan Juli tertinggi mencapai 1,54 derajat Celcius di atas rata-rata, melampaui rekor di 2012.

Selama bulan tersebut, NCEI mengatakan suhu lebih hangat dari rata-rata pada Amerika Utara, Eropa, bagian utara dan selatan Amerika Selatan, utara Afrika, separuh bagian selatan Asia, Oseania dan sebagian bagian barat dan utara Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia.

Suhu justru lebih dingin dari rata-rata terjadi di seluruh bagian timur laut Kanada, sekitar wilayah tengah bagian selatan dan tenggara Amerika Serikat, bagian selatan Afrika, bagian utara Rusia, dan bagian tenggara Samudra Pasifik.

Secara regional, NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Eropa mencatat rekor terpanas kedua pada bulan yang sama. Sedangkan Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Oseania semuanya masuk 10 besar dalam rekor.

Panas ekstrem yang dirinci dalam laporan bulanan NOAA juga merupakan cerminan dari perubahan iklim jangka panjang yang tercantum pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada pekan ini.

Para ilmuwan dari seluruh dunia menyampaikan penilaian paling mutakhir tentang perubahan iklim. “Ini adalah laporan IPCC yang serius yang menemukan bahwa pengaruh manusia, secara tegas, menyebabkan perubahan iklim, dan dampaknya meluas serta meningkat dengan cepat," kata Spinrad.

PBB Peringatkan Bahaya Perubahan Iklim

Bahaya pemanasan global dan perubahan iklim semakin tidak terkendali. Laporan panel iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan, suhu bumi telah meningkat 1,1 derajat Celcius sejak abad ke-19.

Apabila tidak ada penanganan signifikan, suhu bumi akan naik 1,5 derajat Celcius dalam 20 tahun. Pada laporan IPCC, para ilmuwan menyebut manusia adalah penyebab utama pemanasan global. 

Upaya mengurangi emisi karbon dioksida atau gas rumah kaca juga dianggap tak mampu menghilangkan seluruh dampak pemanasan global. Dampaknya sudah terjadi di seluruh penjuru dunia dalam beberapa waktu belakangan ini.

Contohnya, banjir bandang yang menerjang Jerman dan Tiongkok. Lalu, kebakaran hutan besar yang terjadi di  Siberia, Turki, dan Yunani. Ada pula gelombang panas yang menewaskan ratusan orang di Amerika dan Kanada.

Laporan itu juga memperingatkan bencana selanjutnya dapat lebih buruk. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan laporan itu sebagai kode merah untuk kemanusiaan. 

Dia berharap laporan ini bisa bisa menghentikan penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil sebelum menghancurkan bumi. “Bunyi lonceng alarm memekakkan telinga,” kata Guterres dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Selasa lalu.

Peneliti LIPI Berharap Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi Soroti BRIN

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas mengenai Badan Riset dan Inovasi (BRIN) dalam Pidato Kenegaraan.

"BRIN sebagai institusi baru sempat menimbulkan polemik," kata Siti Zuhro ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Minggu, 15 Agustus 2021.

Menurut Siti, polemik tersebut diakibatkan oleh Peraturan Presiden yang dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).

Selain itu, penyebab lainnya adalah kekhawatiran terhadap dibubarkannya 84 lembaga yang dilebur ke dalam BRIN, serta kebingungan dan ketidakpastian khususnya terkait dengan nomenklatur baru. "Pengalaman menyatukan lembaga menunjukkan sesuatu yang tidak sederhana, butuh waktu dan penyesuaian yang memadai," ucapnya.

Ia juga mengatakan, kelembagaan yang efektif sangat diperlukan Indonesia untuk membangun SDM unggul, serta menciptakan teknologi dan inovasi.

Sebagai lembaga baru, tutur Siti menambahkan, BRIN mendapat beban yang sangat berat bila menggabungkan empat lembaga terkait penelitian dan ilmu pengetahuan teknologi, seperti menggabungkan lembaga LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN yang sudah hampir dewasa. "Nasib riset harus jelas dan prospektif agar berdampak positif bagi kemajuan Indonesia," tutur Siti Zuhro.

Indonesia yang maju dan inovatif perlu ditopang hasil penelitian dan inovasi yang mantap sehingga bisa dijadikan landasan oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan. Oleh karena itu, peneliti politik LIPI ini berharap agar Presiden Jokowi memberi pernyataan dalam Pidato Kenegaraan terkait dengan keberadaan lembaga ini.

Selain itu, Siti Zuhro juga berharap agar pemerintah membahas mengenai kinerja Kementerian Pendidikan dan Ristek. Lembaga ini memiliki kaitan yang begitu erat dengan dampak pandemi Covid-19 terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan. "Prokes yang ketat tidak memungkinkan siswa masuk sekolah, sehingga pola pendidikan di Indonesia berubah drastis," tutur Siti.

Ia berharap agar presiden memaparkan hasil dari perubahan pola pendidikan, dari yang sebelumnya tatap muka, kini diselenggarakan secara daring. "Apakah membuat kualitas siswa dan mahasiswa semakin baik atau justru sebaliknya?" ucap Siti.

Permasalahan pola pendidikan mendapat perhatian khusus dari Siti Zuhro mengingat tidak semua siswa maupun mahasiswa dapat mengakses proses belajar via internet. Oleh karena itu, ia berharap agar Presiden Jokowi menyampaikan kinerja Kementerian Pendidikan dan Ristek dalam Pidato Kenegaraan. "Saya berharap, Indonesia dapat lebih serius dalam membenahi kualitas pendidikan guna memberdayakan rakyat dan menciptakan SDM unggul," tuturnya.

ANTARA

More Articles ...