logo2

ugm-logo

Vaksin Sinovac Tiba, Indonesia Kebut Izin Darurat BPOM & Fatwa MUI

tirto.id - Tak kurang dari 1,2 juta vaksin virus Corona atau COVID-19 dari perusahaan biofarmasi asal Cina, Sinovac, tiba di Indonesia pada Minggu (6/11/2020) malam. Vaksin yang diangkut Pesawat Garuda Boeing 777-300 itu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sekitar pukul 21.30.

Meski telah tiba di Indonesia, bukan berarti vaksin ini langsung bisa dipakai begitu saja. Ketua Komite Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto bilang vaksin "masih harus melewati tahapan evaluasi dari Badan POM untuk memastikan aspek mutu keamanan dan efektivitasnya," juga "menunggu fatwa MUI untuk aspek kehalalannya."

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan pada umumnya suatu vaksin dapat diberikan izin edar jika efikasinya mencapai 70 persen. Namun karena alasan kedaruratan, efikasi vaksin ini ditetapkan "hanya cukup 50 persen."

Dalam diskusi daring, Senin (7/12/2020), dia bilang jika sudah terpenuhi, mereka akan mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) alias izin darurat.

Untuk memastikan aspek keamanan, khasiat, dan efektivitas inilah mereka mengobservasi jalannya uji klinis fase 3. Analisis melibatkan para ahli.

Dia juga bilang BPOM bersama Majelis Ulama Indonesia, PT Bio Farma, dan Kementerian Kesehatan telah melakukan inspeksi langsung ke negara produsen. Hasilnya, "kalau di aspek mutu itu sudah memenuhi aspek cara produksi obat yang baik, tidak ada efek samping yang kritikal." "Dari aspek keamanan sudah baik, sekarang aspek efektivitas dan khasiat yang kita tunggu," katanya.

Dalam uji klinis, para ilmuwan mengambil sampel darah para relawan dan dianalisis di laboratorium. Ini untuk melihat seberapa besar vaksin itu memberikan peningkatan antibodi pada manusia. Kemudian hasilnya disimpan di ruang dengan suhu 2-8 derajat Celcius. Pengamatan dilakukan dalam periode waktu satu bulan, tiga bulan, kemudian enam bulan.

"Hasil dari uji klinis nanti akan dilakukan evaluasi. Tidak hanya [BPOM] sendiri, tapi akan dilakukan dengan komite nasional penilai obat, dan para pakar di bidang vaksin," katanya.

Setelah itu masuk ke tahap perizinan. Dalam menerbitkan perizinan, BPOM akan mengikuti standar internasional berdasarkan referensi dari Wolrd Health Organization (WHO) dan merujuk Food and Drug Administration (FDA) atau regulator di negara lain yang bagus.

Kerja BPOM tak berhenti sampai situ saja. Mereka akan terus melakukan pengawasan. "Jika ada laporan efek samping, apabila itu dirasa memberikan risiko yang besar [maka ditarik]," katanya.

Sementara MUI mengaku saat ini terus berkoordinasi dengan Sinovac dan Bio Farma untuk melanjutkan kajian aspek kehalalan vaksin COVID-19. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan tim audit dari MUI telah memberikan beberapa catatan yang perlu didalami informasinya kepada pihak perusahaan terkait.

"Kami berharap segera mendapat informasi tersebut sehingga pembahasannya dapat dilakukan Komisi Fatwa MUI," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (7/12/2020). Rekomendasi dari BPOM terkait izin penggunaan vaksin menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan fatwa.

Patut dicatat, tak semua orang dapat langsung menikmati vaksin setelah semua syarat tersedia. Bagaimanapun ini adalah komoditas yang terbatas. Presiden Joko Widodo mengatakan tenaga kesehatanlah yang akan diprioritaskan.

Dalam hal ini, Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah menyatakan siap. "Kami sudah melakukan survei, dan 84 persen bersedia divaksin," kata Harif kepada reporter Tirto, Senin.

Saat ini jumlah perawat lebih dari 1 juta orang. Harif bilang vaksinasi diprioritaskan untuk mereka yang benar-benar ada di garda terdepan.

Meski begitu tetap ada sejumlah catatan dari Harif. Pertama, agar otoritas terkait benar-benar serius dan tidak gegabah dalam melakukan uji efektivitas hingga mengeluarkan izin. Kedua, dia mau semuanya tersedia gratis. "Kalau rumah sakit pemerintah dan swasta yang menjadi rujukan mungkin gratis, kalau yang di luar itu gimana? Itu yang belum jelas," katanya.

Senada dengan PPNI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun bersedia apabila pemerintah memprioritaskan tenaga kesehatan untuk divaksin. "Kalau memang sudah dijamin aman dan efektif oleh BPOM, kami bersedia divaksinasi," kata Ketua Satgas COVID-19 IDI Zubairi Djoerban kepada reporter Tirto, Selasa (8/12/2020).

Jangan Senang Dulu

Pakar epidemologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono meminta masyarakat tidak senang berlebihan terhadap kehadiran vaksin ini sebab tingkat efikasi yang dibutuhkan hanya 50 persen. Ini berbeda dengan vaksin Pfizer dan Moderna yang diklaim memberi perlindungan di atas 90 persen.

"Saya rasa tenaga kesehatan juga belum tentu mau semua kalau efikasinya tidak tinggi," katanya.

Pandu Riono yang juga mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini lalu menyinggung Jokowi yang pernah bilang bersedia menjadi orang pertama untuk divaksin. "Siap-siap saja," katanya.

Jika di kemudian hari terjadi efek samping, ia meminta pemerintah tak ragu menghentikan distribusi dan menarik yang sudah ada, seberapa pun besarnya uang yang telah mereka keluarkan untuk produk yang satu ini.

"Pemerintah haru mengawal. Kalau ada efek samping segera evaluasi," pungkasnya.

(tirto.id - Kesehatan)

Alasan Indonesia Beli Vaksin Corona Meski Belum Ada Izin Edar

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memastikan telah memesan 155,5 juta vaksin corona atau Covid-19 dari berbagai produsen di dunia. Ratusan vaksin yang dipesan oleh pemerintah tersebut belum mengantongi emergency use authorization (EUA) di negara vaksin tersebut diproduksi.

Wakil Ketua Menteri BUMN, yang juga merupakan Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemesanan yang dilakukan oleh Indonesia, karena negara lainnya juga sudah memesan dengan jumlah yang banyak. Artinya, Indonesia tidak ingin kehabisan vaksin Covid-19.

Pasalnya, kapasitas produksi vaksin di dunia per tahun hanya sekitar 6,4 miliar dosis. Jumlah tersebut tidak hanya produksi vaksin virus corona, tapu juga vaksin eksisting yang sudah ada seperti vaksin polio, TBC, dan sebagainya.

Sementara, kebutuhan vaksin Covid-19 untuk menciptakan herd immunity, harus dilakukan vaksinasi kepada 5,5 miliar orang atau sebanyak 11 miliar dosis vaksin. Dengan demikian ada gap atau selisih antara kebutuhan dan kapasitas produksinya.

"Sehingga memang diantisipasi akan terjadi kapasitas produksi yang sangat kecil untuk 11 miliar dosis vaksin Covid-19 kalau ingin penduduk dunia herd immunity," jelas Budi saat saat melakukan rapat bersama dengan Komisi IX DPR, Kamis (10/12/2020).

Di lain pihak, banyak negara maju yang sudah terlebih dulu memesan vaksin covid-19 tersebut. Per 24 November 2020 sudah terdapat 15 negara maju memesan virus corona sebanyak 4,12 miliar dosis. Jumlah ini tidak sebanding dengan kapasitas produksi tahunan vaksin dunia.

"Hanya sepertiga (kapasitas produksi vaksin) yang bisa dipakai untuk vaksin covid-19. Jadi, setahun kira-kira hanya bisa 2,5 miliar, sedangkan vaksin yang sudah di-book oleh negara maju itu merupakan vaksin yang sudah diproduksi selama 2 tahun," ungkapnya.

"Itu sebabnya kenapa waktu kami diminta mencari vaksin ini, kami merasa memang ada risiko yang kami ambil duluan untuk memastikan agar jangan sampai kita akan dapatnya 1,5 tahun atau 2 tahun lagi," kata Budi melanjutkan.

More Articles ...