Hari Pertama
Reportase
Peningkatan Kapasitas PHEOC Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar dan Kabupaten Maros
Rabu, 2 Juni 2021

Dok. PKMK FK. KMK UGM “Pengantar Kegiatan Peningkatan Kapasitas PHEO Daerah Sulawesi Selatan”
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan peran dan fungsi PHEOC dalam penanganan kedaruratan kesehatan masyarakat di Dinas Kesehatan. Kegiatan ini dimoderatori oleh Madelina Ariani, sebagai salah satu peneliti/konsultan PKMK FK-KMK UGM, dimulai dengan pengantar oleh dr. Bella Donna. Dalam penganar disampaikan bahwa PHEOC ini masih belum familiar di daerah, sehingga perlu dikembangkan sampai ke daerah. Bagaimana dinas kesehatan memahami apa yang menjadi peran dan fungsi PHEOC. Selanjutnya Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Apt menyampaikan hasil kegiatan review kapasitas daerah untuk melihat sejauh mana Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kesehatan Kota Makassar dan Dinas Kesehatan Kabupaten Maros sudah menyiapkan kegiatan Kedaruratan KKM. Hasil review ini menunjukkan kapasitas daerah dalam kegiatan KKM masih perlu dikembangkan. Daerah belum memiliki dasar hukum dari dinas kesehatan maupun PERDA terkait dengan badan khusus penanganan KKM yang memiliki fungsi komando dan koordinasi dan lebih komprehensif dapat bekerjasama dengan lintas program dan lintas sektor di daerah.

Dok. PKMK FK. KMK UGM “Penyampaian materi pertama oleh dr. Widiana K. Agustin, MKM (kiri) dan materi kedua oleh Abdurahman, SKM, M.Kes”
Materi pertama Konsep Ketahanan Kesehatan Nasional dan Komitmen global serta Kebijakan Penanggulangan Bencana alam, non alam dan Krisis Kesehatan di Indonesia disampaikan oleh dr. Widiana K. Agustin, MKM dari Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes. Diawal pemaparannya menyampaikan terkait permenkes 75 tahun 2019 tentang krisis kesehatan. Paradigma manajemen bencana sudah berubah kalau dulu berfokus pada tanggap darurat tetap sekarang mengarah ke pengurangan risiko. Pernyataan Standar, Pengertian, DO, Rumus penghitungan, Target, langkah, teknik penghitungan dan Monev tentang SPM ada dalam Permenkes Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Penanganan pandemic menggunakan framework manajemen bencana dengan prioritas pengurangan risiko becana. Dimana pada para bencana terdapat sistem kewaspadaan dini KLB dan kesiapsiagaan serta adanya peringatan dini. Komitmen global dalam menyikapi meningkatnya ancaman KKM dengan menerapkan IHR (2005) dan global health security.
Materi kedua Konsep, Tugas dan Fungsi PHEOC Daerah dalam Sistem Penanggulangan Bencana alam, non alam dan Krisis Kesehatan, serta Ketahanan Kesehatan disampaikan oleh Abdurahman, SKM, M.Kes dari Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes. Dalam pelaksanaannya PHEOC bekerja dalam 24 jam sehingga mengunakan metode kerja shift. Jika melihat framework WHO ada EOC framework, bagaimana EOC dibangun dan bagaimana operasionalnya. Kedudukan PH-EOC berbeda dalam setiap negara. Di Indonesia PHEOC ada di kemenkes dibawah dirjen P2P, fokus untuk bencana non alam seperti KLB, KKM. Dalam ruang PHEOC ada disediakan juga ruang rapat sebagai tempat pertemuan untuk pengambilan keputusan jika misaalnya terjadi KLB. Secara komprehensif perlu diketahui oleh Dinkes apa peran dan tanggung jawab masing-masing bidang PHEOC artinya tidak hanya sekedar melengkapi fasilitas saja. Salahs atu basic pelatihan yang dibutuhkan oleh PHEOC adalah pelatihan Incident Command System (ICS). Kegiatan operasional PH-EOC terdiri dari 3 fase yaitu fase pemantauan, fase kewaspadaan dan fase respon. Fase pemantauan itu bagaimana memonitor kejadian kesehatan masyarakat, dilakukan komunikasi risiko, pelatihan, kesiapan logistik dan update SOP.

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Sesi diskusi”
Diskusi
Pada sesi diskusi membahas terkait dengan struktur organisasi PHEOC, siapa yang menjadi penanggung jawab/komandan di daerah. Pada struktur yang ditampilkan belum menggambarkan kondisi emergensi dari operasional ini. Pada klaster kesehatan nasional PJ nya adalah PKK Kemenkes. Sementara PHEOC masuk kedalam subklaster P2P. Jadi tetap mengacu pada struktur organisasi klaster kesehatan, jika situasinya bencana non alam makan leading bidang operasionalnya ada di subklaster pengendalian penyakit. Pada pengembangan PHEOC ada protab siapa yang melakukan apa. PHEOC beroperasi tidak hanya pada saat emergensi tetapi bekerja di 3 fase (fase normal, fase alert dan fase respon).
Reportase : Happy R Pangaribuan
Div. Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM
Hari Kedua
Kamis, 3 Juni 2021

Dok. PKMK FK-KMK UGM: konsep pengorgansasian ICS
Hari kedua yaitu Kamis, 3 Juni 2021 kembali dilanjutkan pelatihan online penguatan kapasitas PHEOC tepat pukul 09.00 WIB yang dimoderatori oleh Happy Pangaribuan, MPH. Acara diawali dengan arahan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, dr. H. Muhammad Ichsan Mustari, MHM. Kasus kegawatdaruratan kesehatan masyarakat harus dipandang sangat serius, bagaimanapun ini bisa berdampak luas bagi masyarakat kita, ungkapnya. Dasarnya ada di kemampuan membaca data dan menganalisisnya menjadi informasi yang valid untuk pengambilan keputusan status kasus yang berpotensi menjadi kegawatdaruratan masyarakat. Penting bagi daerah memahami konsepnya dan menyesuaikan dengan kebutuhan daerah masing - masing, tambah beliau.
Materi pertama oleh dr. Bella Donna, M.Kes. Tentu tidak asing dengan pembicara karena di banyak kesempatan Bella selalu menyampaikan materi tentang konsep pengorganisasian dalam situasi kebencanaan. Kali ini untuk PHEOC daerah juga demikian. Bagaimana daerah mampu mendisain pengorganisasiannya, dan tidak bingung dengan adanya kontrol di BPBD, di bagian krisis kesehatan, dan di PHEOC sendiri. Namun, bagaimana kejelasan tugas dan fungsi yang terpenting agar tugas, komunikasi dan koordinasi terjalin tidak saja antara dinas kesehatan dengan lintas sektor tetapi juga di internal dinas kesehatan sendiri. Bella juga menjelaskan dimana peran PHEOC dalam klaster kesehatan dalam situasi bencana alam dan non alam.

Dok. PKMK FK-KMK UGM: Sesi diskusi
Kabupaten Maros bercerita bahwa sudah memiliki rencana kontijensi antraks dan Kota Makasar yang juga memiliki rencana kontijensi Sars. Meski demikian, itu adalah pengorganisasian dan koordinasi untuk spesifik penyakit/ bencana non alamnya, yang dibutuhkan oleh dinas kesehatan saat ini adalah pengorganisasian/ perencanaan yang dapat menanggapi semua jenis bencana bai kalam non alam, dan menguatkan peran PHEOC di dalamnya, tegas Bella.
Materi kedua disampaikan oleh Gde Yulian Yogadhita, Apt. M.Epid mengenai RHA dan perubahan dari RHA menjadi analisis situasi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat/ KKM. Pembahas ini menggambarkan tugas rutin surveilans masuk ke dalam tahapan - tahapan fase KKM. Mulai dari sehari - hari atau situasi pemantauan, berlanjut ke situasi peringatan, dan situasi respons. Hal ini tidak bisa anggap biasa dan rutin, sebab PHEOC adalah integrasi dari kegiatan public health sehari - hari dalam kerangka Emergency Operation Center, mau tidak mau petugas PHEOC harus memiliki wawasan dan rasa mengenai emergency, bagaimana menganalisis data rutin dan membacanya sebagai warning alert di masa pemantauan. Selain itu ditekankan juga menganai pelaporan dan berbagai kepentingan dari pelaporan tersebut jika dilakukan secara terintegrasi di dinas kesehatan ataupun di bawah pemerintah daerah, ungkap Gde.
Pertemuan akan berlanjut pada, Rabu, 8 Juni 2021 di waktu yang sama. Seluruh materi dapat di download pada halaman website ini.
Reportase oleh: Madelina A
Hari Ketiga
Selasa, 8 Juni 2021

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Sesi diskusi mobilisasi SDM”
Pertemuan hari ini dimoderatori oleh Happy R Pangaribua, MPH. Peserta mendapatkan dua materi Konsep dan Jenis-jenis Tim Bantuan Bencana oleh dr. Bella Donna, M.Kes dan materi Perencanaan Mobilisasi SDM oleh Madelina Ariani, MPPH. Peserta yang mengikuti pelatihan dari Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, Dinkes Kota Makassar dan Dinkes Kab. Maros.
Pada saat pra bencana disiapkan tim bencana mulI dari Tim Rapid Health Assessment (RHA); Emergency Medical Team (EMT) dan Public Health Rapid Response Team (PHRRT). Bagaimana membentuk tim ini? ini bisa dilakukan dengan penyusunan dokumen dinkes disaster plan. Dimana didalam dokumen ini tertulis jelas tupoksi dari setiap tim tersebut. Pada saat tanggap darurat tim tersebut sudah bisa melaksanakan tugasnya. Mereka akan bertugas sesuai dengan bencana yang ada. Tim RHA untuk melihat situasi, dampak dan apa saja yang dibutuhkan, pengiriman RHA ini dapat dilakukan secara berulang. Emergency MedicalTeam (EMT) sering disebut dengan tim medis, sekelompok professional kesehatan yang mememberikan perawatan klinis langsung kepada penduduk yang terdampak KKM. PHRRT lebih banyak ke pendekatan kolaboratif dan multi disiplin artinya tidak hanya dari bidang kesehatan saja, misalnya satgas kesehatan bergabung dnegan satgas daerah. PHRRT lebih ke arah promotifnya. PHRRT merupakan tim yang terdiri dari berbagai professional kesehatan masyarakat, terlatih dan siap untuk memobilisasi ketika ada keadaan darurat kesehatan masyarakat.

Dok. PKMK FK-KMK UGM “Penyampaian materi Mobilisasi SDM oleh Madelina Arinai, MPH”
Mobilisasi SDM ini berkaitan dengan pengorganisasian dan SOP aktivasi PHEOC. Ssaat bencana terjadi tim RHA melakukan assessment awal kemundian dari hasil RHA ini memberikan informasi apakah dibutuhkan mobilisasi sumber daya. Jika dibutuhkan maka dibuat segera peta respon dan rencana operasi. Selanjutnya koordinator klaster kesehatan mengkoordinasikan upaya mobilisasi. Pada fase peringatan ketua/penanggungjawab PHEOC dan Kepala Dinkes dapat memberikan notifikasi kepada lintas sektor terkait waspada dan kesiapan. Pada fase respon, jika dibutuhkan meminta bantuan dan mobilisasi tim RHA, EMT dan PHRRT. Mobilisasi EMT, PHRRT dan relawan kesehatan dapat dilakuakn dari luar daerah. Proses mobilisasi dimulai dari kesiapa personil, kepada siapa melapor ketika tim sudah tiba di lokasi, pelaksanaan operasi sampai dnegan pengakhiran operasi. Kesiapan tim harus memperhatikan logistik yang dibutuhkan.
Sesi Diskusi
Terdapat 3 hal yang dibahas pada sesi diskusi yaitu terkait dengan waktu pelayanan kesehatan yang diberikan tim, jumlah personil tim yang akan dikirimkan dan pengalaman dinas kesehatan selama menugaskan Tim Gerak Cepat. Waktu pelayanan EMT adalah bukan lamanya salah satu relawan bertugas disana namum lamanya layanan kesehatan yang akan diberikan. Jadi misalnya EMT type 2 minimal 14 hari, bisa dilakukan pergantian orang yang bertugas untuk memberikan layanan selama 14 hari tadi. Jumlah personil yang dikirim atau TGC sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Yang penting diperhatikan adalah fungsi/peran siapa yang dibutuhkan. Sekarnag yang menjadi tugas bersama adalah memahamkan dinas kesehatan dan puskesmas bahwa TGC itu tidak hanya memberikan pelayanan medis saja namun didalamnya bisa juga memberikan layanan kesehatan masyarakat saat terjadi KKM. Artinya mereka akan ditugaskan sesuai dengan fungsinya dan jenis bencana apa yang terjadi.
Reporter : Happy R Pangaribuan
Div. Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM