logo2

ugm-logo

Blog

Banjir dan Longsor Masih Mengancam

Petani membawa padi yang terendam banjir di areal persawahan Desa Karangligar, Karawang, Jawa Barat, Ahad (29/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musibah banjir dan tanah longsor melanda sejumlah daerah pada akhir pekan lalu. Aktivitas warga pun terganggu karena banjir dan longsor memutus akses jalan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bencana banjir bandang menerjang Dusun Siria Ria, Desa Pematang, Kecamatan Na IX-X, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatra Utara (Sumut), Ahad (29/12). Kepala Pusdatin dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo mengatakan, hujan deras menyebabkan meluapnya Sungai Lubuk Natiko dan Sungai Siria-Ria sehingga membawa material kayu dan batu dari arah hulu pada Ahad pukul 01.30 WIB.

Agus mengatakan, tim BPBD setempat dan instansi terkait sudah turun ke lapangan untuk melakukan kajian cepat dan pertolongan pertama. Berdasarkan data sementara, banjir bandang menyebabkan tiga rumah hanyut serta merusak jembatan penghubung Dusun Padang Nabidang menuju Dusun Siria-ria. "Bahkan, akses untuk berjalan tidak bisa ditempuh menuju Dusun Siria-Ria," katanya dalam siaran pers, Ahad (29/12).

Tak hanya di Dusun Siria Ria, banjir juga terjadi di Kabupaten Labuhan Batu, tepatnya di Dusun Aek Pala, Desa Janji. "Sebanyak 11 unit rumah warga terendam," katanya.

BNPB juga melaporkan banjir bandang dan longsor turut melanda Manokwari, Provinsi Papua Barat. Peristiwa ini terjadi akibat hujan lebat di Manokwari sejak pukul 15.00 sampai pukul 21.00 WIT pada Jumat (27/12).

“Tadi malam banjir setinggi 1 meter dan menggenangi 28 unit rumah warga. Terjadi juga tanah longsor di Dusun Isma dan Irmus, Distrik Sidey, Manokwari, Papua Barat,” ujar Agus, Sabtu (28/12) malam.

Agus menuturkan, longsor tersebut menimbun jalan Trans-Papua Barat. Untuk sementara waktu, transportasi warga menuju Distrik Amberbake dan Abun serta ke Kabupaten Sorong terganggu.

Sementara itu, mengenai korban jiwa, menurut Agus, sejauh ini belum terdapat laporan. Namun, sebanyak 28 kepala keluarga atau sekitar 169 orang terdampak banjir.

Kepala BPBD Provinsi Papua Barat Derek Ampnir mengatakan, pihaknya beserta dinas PUPR, dinas terkait, TNI, Polri, dan masyarakat sudah turun ke lapangan. Mereka mengerahkan peralatan berat untuk membersihkan material tanah longsor dan kayu. “BPBD juga sudah memasang tenda di lapangan dan mengerahkan bantuan logistik untuk membantu warga terdampak,” ujar Darek.

Derek menambahkan, warga pada siang hari sempat menutup jalan dan menuntut pemerintah agar segera memperbaiki jalan. Warga juga meminta gubernur serta bupati meninjau lokasi banjir maupun tanah longsor. “Pada sore hari, jalan sudah bisa dibuka dan dilalui kendaraan,” kata dia.

Di Kota Bandar Lampung, hujan yang mengguyur sejak Sabtu (28/12) malam hingga Ahad (29/12) pagi membuat sebagian wilayah permukiman penduduk terendam mencapai lutut orang dewasa. Hujan yang cukup deras dan lama tersebut membuat drainase meluap dan embung-embung tidak tertampung.

Meski air yang merendam permukiman dan jalan-jalan cepat surut, sisa-sisa lumpur masih tersisa. Warga beramai-ramai membersihkan bekas lumpur yang menggenangi rumah dan jalan. Banjir yang merendam rumah dan jalan antara lain terjadi di Sukarame, Telukbetung, Panjang, Tanjungarang Pusat, dan Sukabumi.

Hujan deras yang menimbulkan banjir dan merendam permukiman penduduk juga menyebabkan tujuh rumah warga rusak. Tiga rumah rusak berlokasi di Kelurahan Pidada, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung. Dua rumah lagi terdapat di Kampung Suka Indah, Kelurahan Way Laga, Sukabumi. Sementara itu, dua rumah lagi berada di Jalan Ahmad Dahlan, Kupang Teba, dan Jalan MS Batubara Gang Pancar, Kupang Teba.

Sekretaris BPBD Kota Bandar Lampung M Rizki mengatakan, hujan deras yang baru pertama mengguyur dengan durasi lama membuat 19 titik terendam. “Seperti biasa, terparah di Kedamaian,” katanya.

Menurut dia, banjir yang merendam permukiman penduduk karena banyak terjadi pendangkalan saluran air atau drainase. Pendangkalan drainase disebabkan banyaknya sampah yang menutupi kali dan parit. Karena itulah, saat hujan, aliran air dari dataran tinggi meluap ke jalan dan memasuki permukiman penduduk.

Ketua Komisi III DPRD Bandar Lampung berharap Pemerintah Kota Bandar Lampung segera mengatasi banjir yang merendam sebagian kota. Menurut dia, banyak sistem drainase tidak berfungsi baik. Pemkot Bandar Lampung diharapkan bergerak cepat dalam mengelola sistem drainase di dalam kota agar tidak ada pendangkalan.

Ia berharap pemkot secara reguler mengecek sistem drainase, termasuk pembuangan dari mal-mal yang ada di dalam kota. Saat ini banyak sistem drainase yang tertutup untuk lahan parkir ruko dan mal. n rr laeny sulistywati/mabruroh/mursalin yasland, ed: satria kartika yudha

5 Warga Dilaporkan Hilang saat Banjir Bandang di Labuhanbatu Utara

Labuhanbatu Utara - Banjir bandang menerjang Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumatera Utara mengakibatkan sejumlah rumah hanyut dan jembatan antar dusun terputus total. Selain itu, lima orang warga juga dilaporkan hilang.

Banjir bandang itu terjadi di Desa Pematang dan Desa Hatapang, Kecamatan Na IX-X dini hari sekitar pukul 01.30 WIB. Banjir dipicu hujan deras yang menyebabkan sungai Lubuk Natiko serta Sungai Siria-ria meluap dan membawa material kayu serta batu.

"Sampai sore tadi, masih dilakukan evakuasi dan pencarian satu keluarga atau lima orang warga Desa Pematang yang dilaporkan hilang sekaligus membuka akses terisolir di Desa Hatapang," kata Kepala BPBD Sumatera Utara, Riadil Akhir Lubis dimintai keterangan, Minggu (29/12/2019) sore.\Riadil menjelaskan laporan update status banjir bandar hingga sore tadi, Desa Hatapang masih terisolir, sementara di Desa Pematang terparah terjadi di Dusun Siria-ria A dan B.

"Untuk di Desa Pematang, ada 9 unit rumah hilang atau hanyut. 17 unit rumah rusak berat. Lima orang terdiri dari satu keluarga dilaporkan hilang dan belum ditemukan," sebut Riadil.

Kemudian sejumlah jembatan juga hancur dan hanyut, tanah longsor sepanjang 100 meter dengan kedalaman 5 meter serta lahan pertanian warga rusak parah.

"Untuk di Desa Hatapang. Saat ini masih terisolir, tim sedang mencapai lokasi dibantu dengan alat berat sementara warga masih mengungsi di kawasan yang lebih tinggi. Kita terus melakukan upaya pertolongan kepada masyarakat," ujar Riadil.

15 Tahun Tsunami Aceh, Pemantik Kesadaran Mitigasi Bencana Alam

Jakarta, IDN Times - Pada 26 Desember 2004, tsunami terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bencana dahsyat lima belas tahun lalu itu memakan korban hampir 200 ribu jiwa. Tsunami datang tak lama setelah gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter mengguncang Aceh.

Tsunami Aceh, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo, adalah bencana besar yang mengubah pola pikir Pemerintah Indonesia hingga internasional tentang bencana.

"Pemerintah berpikir penanggulangan bencana tidak sekedar respons, bukan hanya lebih fokus ke respons, ternyata bisa disiapkan sebelumnya (untuk penanggulangan)," ujar Agus saat dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (23/12).

1. Pemerintah mengubah pola penanganan bencana alam setelah peristiwa tsunami Aceh

15 Tahun Tsunami Aceh, Pemantik Kesadaran Mitigasi Bencana AlamPFI Aceh menggelar pameran foto bertajuk Tanah Retak dalam memperingati 15 tahun peristiwa Tsunami Aceh (IDN Times/Saifullah)

Sebelum tsunami Aceh, Agus menjelaskan, pemerintah Indonesia hanya memiliki lembaga yang fokus merespons pasca-bencana saja. Lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).  

Lalu setelah tsunami tersebut, lahirlah Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut diatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.

"...Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi....," bunyi UU Nomor 24 Tahun 2007 Bab 1 Pasal 1 ayat 5. 

2. BNPB lahir setelah tsunami Aceh. Pemerintah akhirnya fokus menanggulangi sebelum, saat, dan pasca-bencana

Sisa-sisa lumatan tsunami di Aceh. (Dok. Rappler)

Satu tahun setelah UU tersebut lahir, tepatnya pada 2008, melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dibentuk lembaga independen yang fokus pada penanggulangan bencana secara nasional yaitu, BNPB. 

Bukan hanya Indonesia, kejadian tsunami Aceh juga mempengaruhi pola pikir internasional dalam melihat sebuah bencana. Agus menjelaskan, melalui peristiwa tersebut penanggulangan bencana pun dimulai dari sebelum, saat, dan sesudah kejadian.

"Mengubah mindset Indonesia dan internasional bahwa penanggulangan bencana sebelum, saat, dan setelah memiliki dampak besar," lanjutnya.

3. Kajian tentang mitigasi bencana dikembangkan setelah peristiwa Tsunami Aceh

Sehari sesudah tsunami Aceh, 26 Desember 2004, warga mencari anggota keluarga yang jadi korban. (Dok. Rappler)

Bukan hanya mengubah mindset, Agus menjelaskan, tsunami Aceh juga menjadi peristiwa yang menjadi bahan riset internasional untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah sebuah langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan dari sebuah bencana.

Agus menjelaskan, melalui peristiwa tsunami Aceh muncul kebijakan pembangunan berbasis mitigasi bencana. Kebijakan tersebut berguna untuk mengatur standar pembangunan di daerah yang rawan bencana. 

"Iya, kebijakan ada, artinya di pinggir (daerah rawan bencana) boleh, tapi ada mitigasi bencananya, jadi persiapan-persiapan, daerah rawan bencana dibangun boleh, tapi harus disesuaikan," ujarnya. 

4. Masyarakat diperkenalkan tentang mitigasi bencana

Ilustrasi simulasi bencana. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Sampai saat ini, tsunami Aceh masih menjadi bahan kajian untuk mitigasi bencana di Indonesia. Selain fokus pada peristiwa bencana, pemerintah juga mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar daerah rawan bencana.

Sosialisasi tersebut berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada sebelum, saat, dan sesudah bencana. Sosialisasi untuk masyarakat itu bernama Keluarga Tangguh Bencana (Katana).

"BNPB buat Katana, itu buat keluarga menyiapkan menghadapi bencana, agar sadar semua kalau ada bencana banyak yang selamat," jelas Agus.

Ribuan Orang Peringati 15 Tahun Bencana Tsunami di Aceh

Ribuan orang di Aceh, Kamis (26/12), melangsungkan doa bersama untuk memperingati 15 tahun bencana Tsunami di provinsi itu – salah satu bencana terburuk dalam sejarah moderen.

Para penyintas dan keluarga para korban terlihat berurai air mata sewaktu menghadiri berbagai kegiatan keagamaan dan upacara-upacara peringatan bencana itu. Toko-toko dan kantor-kantor tutup, kapal-kapal tidak diizinkan berlayar dan bendera Merah Putih dikibarkan setengah tiang di berbagai penjuru Aceh pada hari Kamis (26/12) dan Jumat (27/12).

Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dipicu oleh gempa berkekuatan 9,1 SR di lepas pantai Sumatara. Ombak raksasa itu menewaskan sekitar 230.000 orang di belasan negara hingga sejauh Afrika Timur. Provinsi Aceh, yang paling dekat dengan pusat gempa, mengalami akibat terburuk, di mana lebih dari 170.000 tewas – atau sekitar tiga perempat dari total korban tewas secara keseluruhan.

Peringatan tsunami di Aceh, Kamis (26/12), berlangsung empat hari setelah peringatan bencana tsunami Selat Sunda, tahun lalu, menyusul ledakan dan runtuhnya sebagain gunung Anak Krakatau. Tsunami itu menghantam kawasan-kawasan pantai di provinsi Banten, beberapa wilayah Sumatera Selatan, serta mengakibatkan lebih dari 400 orang tewas dan 14.000 lainnya cedera. [ab/uh]

Bencana Beruntun di Sumbar, 4 Nyawa Melayang, Puluhan Warga Kehilangan Tempat Tinggal

Padang, Padangkita.com – Menggunakan sedikit kata pujian, Sumatera Barat (Sumbar) itu indah bak permata. Laut, pantai, gunung, bukit, danau dan sungai, adalah kecantikan Sumbar yang sebetulnya sulit diwakili kata. Tapi, di sisi lain Sumbar juga menyimpan potensi bencana. Ya, bencana yang setiap saat mengintai wilayah dan masyarakat di sumbar.

Apakah begitu takdirnya?

Sepanjang November-Desember 2019 ini, bencana demi bencana silih berganti terjadi di Sumbar. Hampir meliputi seluruh kabupaten/kota. Banjir, banjir bandang, tanah longsor, seperti meneror. Sedikitnya, banjir pada akhir tahun ini telah menelan empat korban jiwa. Dua orang tewas ketika banjir beberapa hari melanda Solok Selatan (Solsel), sejak Sabtu (7/12/2019) hingga Jumat (13/12/2019). Satu korban lagi terperosok masuk lubang ketika banjir menerjang Bukittinggi, Kamis (19/12/2019).

Di Limapuluh Kota, banjir seperti betah mampir, dan sulit diusir. Setiap hujan deras, sejumlah kawasan, otomatis terendam. Di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Riau ini, ratusan hektare lahan pertanian rusak, dan ratusan warga sempat dievakuasi untuk mengungsi. Bahkan, seperti langganan, jalan negara yang menghubungkan Sumbar-Riau di daerah ini, selalu “putus-nyambung”. Hujan deras, sisi perbukitan longsor menutup jalan. Bahkan, terakhir sebagian badan jalan ada yang amblas.

Kabupaten Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, Pesisir Selatan (Pessel), Pasaman, dan Pasaman Barat, juga tak kalah gawat. Sungai-sungai besar yang membelah daerah itu seperti mengamuk, “memuntahkan” lumpur, bebatuan, pohon dan material keras lainnya.

Sebetulnya, bencana besar sudah mulai terjadi November 2019. Persisnya Rabu (20/21/2019), banjir bandang atau galodo menerjang permukiman warga di Jorong Galapuang, Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Belasan rumah rusak berat, dan 48 warga kehilangan tempat tinggal. Bersamaan dengan galodo ini, hujan deras ketika itu juga menyebabkan seorang warga tewas, setelah tergelincir jatuh ke Danau Maninjau.

Terbaru, hujan deras mengguyur Kota Padang, Selasa (24/12/2019). Di pusat kota, sejumlah pohon tumbang, dan beberapa kawasan perumahan pun terendam banjir. Di pinggiran kota, persisnya pada ruas jalan Padang-Painan-Bengkulu, di Bukit Lampu, bongkahan batu besar terjun dari puncak bukit. Nahasnya, batu itu menimpa sebuah mobil yang melintas. Tiga orang yang berada dalam mobil pikap itu sempat kritis dan dilarikan ke rumah sakit.

Tetap Waspada

Sejak pagi hingga tengah malam tadi (25/12/2019), cuaca membaik. Seakan-akan memberi kesempatan kepada warga yang rumahnya terendam banjir, untuk bersih-bersih. Meski ada beberapa gumpalan awan terlihat di langit, namun cuaca pada umumnya cerah. Setidaknya begitu pantauan cuaca di Kota Padang.

Lalu apakah bencana sudah usai? Tunggu dulu!

Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) memperkirakan hujan dengan intensitas tinggi ternyata belum akan berhenti. Setidaknya, hingga Februari 2020 mendatang. Menyikapi hal itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno telah menetapkan Sumbar dengan Status Siaga Darurat Banjir, Banjir Bandang dan Tanah Longsor. Penetapan status ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Sumbar No. 360-975-2019.

Status siaga itu meliputi seluruh kabupaten/kota di Sumbar, tanpa terkecuali. Masa siaga darurat terhadap banjir, banjir bandang dan tanah longsor itu terhitung 20 Desember 2019 hingga 28 Februari 2020.

Baca juga:

Tindak lanjut dari surat keputusan gubernur itu, bupati/wali kota se-Sumbar agar melakukan inventarisasi daerah rawan bencana dan menyosialisasikannya kepada masyarakat. Lalu, mengaktifkan pos siaga di daerah rawan bencana untuk percepatan penanganan, menginventarisir dan memastikan kondisi peralatan kebencanaan di masing-masing daerah berfungsi dengan baik.

Bupati/wali kota mesti berkoordinasi dengan perangkat daerah, TNI, Polri, dan relawan, serta mengaktifkan rencana kontijensi sebagai rencana aksi penanggulangan bencana.

Luas Hutan Berkurang

Untuk meminimalisir dampak bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor, tak cukup hanya dengan penetapan status siaga darurat bencana. Sebab, tindakan itu hanya berguna pada jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu langkah strategis penyelamatan hutan.

Pasalnya, menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor disebabkan makin berkurangnya luas hutan di Sumbar.

KKI Warsi mencatat, ada 23.352 hektare hutan di Sumbar hilang atau ada yang berubah fungsi. Itu hanya pada rentang 2017-2019 saja.

“Penyebabnya (berkurangnya luas hutan) ada tiga, illegal logging, illegal mining, dan pembukaan lahan untuk penanaman komoditas. Daerah tertinggi di Sumbar yang lahan hutannya berkurang sangat masif, ada di empat kabupaten,” kata Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf, Senin (23/12), sebagaimana dikutip kumparan.

Empat kabupaten itu, kata Rudi adalah Solok Selatan, Kabupaten Solok, Dharmasraya, dan Sijunjung.

Warsi tak tinggal diam. Rudi mengaku sudah bekerjasama dengan pemerintah daerah mendorong peningkatan perluasan kewenangan masyarakat mengelola hutan, dengan skema perhutanan sosial.

“Total ada 200 ribuan masyarakat Sumbar yang diberi hak untuk mengelola hutan,” jelasnya.

Dibanding provinsi lain, kerusakan hutan di Sumbar memang tidak terlalu tinggi. Namun, hutan itu berada di perbukitan, sehingga kalau rusak atau berkurang sangat rentan menimbulkan bencana.

Secara umum, kawasan hutan Sumbar mencapai 56,3 persen dari total luas provinsi ini yang 4.229.730 hektare. Wilayah Sumbar didominasi oleh perbukitan, yang sekitar 39,08 persen wilayahnya berada pada kemiringan lebih dari 40 persen. Oleh sebab itu, sebagian besar kawasan hutan di Sumbar berstatus hutan lindung. Terdapat 606 sungai besar dan kecil, di antaranya 27 sungai lintas provinsi, 81 sungai lintas kabupaten/kota, dan 238 danau/embung dan telaga.

Selain pantai, kondisi alam itulah yang membuat Sumbar indah dikagumi hingga mancanegara. Namun, jika tak dijaga kelestariannya, alam sebetulnya tidak murka. Ia hanya memberi pertanda berupa bencana, bahwa ada yang tidak beres di hulunya. (*/pk-01)