logo2

ugm-logo

Blog

Intensitas Hujan Tinggi, Waspada Bencana

MyPassion

MANADOPOSTONLINE.COM—Masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe diminta mewaspadai cuaca buruk akibat intensitas curah hujan tinggi. Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Rivo Pudihang mengatakan, masyarakat di daerah rawan bencana harus meningkatkan kewaspadaan.

"Mereka yang bermukim di lereng gunung dan dekat aliran sungai siaga, memperhatikan perubahan alam. Jika curah hujan lebat dan berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor, siap-siap mengungsi," tandasnya. 

Lanjutnya, masyarakat diminta mencari tempat aman. Begitu juga yang tinggal di tepian pantai. "Khusus nelayan maupun pengguna transportasi laut antar pulau, kalau bisa menunda atau membatalkan perjalanan jika terjadi gelombang tinggi dan angin kencang," pintanya. 

Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana meminta, seluruh masyarakat Sangihe mewaspadai cuaca buruk. "Fenomena cuaca itu perlu diwaspadai untuk menghindari bencana yang mungkin terjadi," imbau Gaghana. Ditambahkannya, untuk mengurangi risiko bencana, BPBD Sangihe harus melakukan sosialisasi terhadap masyarakat. "BPBD juga wajib menyiagakan Tim Reaksi Cepat (TRC) sehingga ketika bencana terjadi langsung bisa terjun ke lokasi," tutupnya. 

Pantauan harian ini, Selasa (17/4) kemarin, hujan seharian melanda Kabupaten Kepulauan Sangihe. Berdasarkan prakiraan cuaca yang berhasil dirangkum, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membeber hujan berintensitas sedang hingga lebat disertai petir dengan kecepatan angin 6-15 knots dan tinggi gelombang 0,75-1,00 meter melanda Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sementara berdasarkan data yang didapat dari BPBD Sangihe, dari 15 ada 11 kecamatan rawan bencana (lihat grafis).(wan/gel)

Program Penanggulangan Bencana Harus Berbasis Masyarakat

Program Penanggulangan Bencana Harus Berbasis Masyarakat - JPNN.COM

jpnn.com, JAKARTA - Semua program penanggulangan bencana harus berbasis masyarakat. Selain itu, perlu meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencegah korban atau mengurangi korban bencana.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei usai Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4).

Dalam kesempatan itu, Willem menjelaskan alasan program penanggulangan bencana harus berbasis masyarakat. Menurutnya, hasil penelitian menunjukkan 34 persen orang selamat dari bencana karena kapasitas individunya, 32 persen oleh keluarga, dan 28 persen oleh orang di sekitarnya. Sehingga kapasitas komunitas itu 95 persen ada di masyarakat.

“Oleh karena itu, apa pun yang kita lakukan harus berbasis kepada masyarakat,” katanya.

Untuk mencegah dampak bencana, BNPB melaksanakan langkah-langkah antisipatif yakni melakukan sosialisasi kepada masyarakat guna membangun kesadaran dan pemahaman, serta membangun partisipasi.

Menurut Willem, untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua bangsa Indonesia maka BNPB menetapkan Hari Kesiapsiagaan Bencana pada tanggal 26 April 2018. Sampai hari ini, kata Willem, sudah terdaftar sebanyak 20 juta orang yang akan ikut pada peringatan Hari Kesiapsiagaan.

“Jadi makin banyak orang ikut, maka akan terbangun kesadarannya dan kalau semakin banyak orang sadar maka makin banyak langkah antisipasi. Semuanya itu, demi kepentingan masing-masing yaitu selamat dari bencana,” katanya.

Untuk diketahui, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Komisi VIII DPR menggelar rapat kerja dengan agenda evaluasi kebencanaan tahun 2017, Senin (16/4). Rapat tersebut menyimpulkan bahwa frekuensi dan intensitas bencana tidak semakin menurun. Dampak terhadap bencana juga sangat merugikan, artinya tetap menimbulkan korban jiwa.

Data BNPB menunjukkan pada tahun 2017 korban bencana terdapat 377 orang meninggal dunia. Selain itu, 3,5 juta orang terdampak bencana. Dampak bencana juga menimbulkan kerugian ekonomi, dan kerusakan ratusan ribu rumah rusak, termasuk ribuan infrastruktur.

“Oleh karena itu, penanggulangan bencana harus dilakukan lebih efektif dan efisien. Caranya adalah Komisi VIII meminta agar program kegiatan ini diarahkan dan difokuskan untuk kepentingan masyarakat,” kata Willem.

Willem memperkirakan penanggulangan bencana ke depan tidak semakin ringan karena ditemukan potensi-potensi bencana yang baru. Misalnya, sekarang potensi gempa ditemukan ada tambahan menjadi 214, dari sebelumnya 95 tahun 2010. Hal ini belum terhitung masalah perubahan iklim.(fri/jpnn)

BNPB harapkan bangunan publik miliki ketangguhan bencana

Bantul (ANTARA News) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengharapkan bangunan atau objek yang digunakan untuk fasilitas publik memiliki struktur atau petunjuk dalam memperkuat ketangguhan bencana.

"Ada tujuh objek ketangguhan yang harus kita tangguhkan, dan kita harapkan semua tujuh objek itu bisa kita jadikan objek ketangguhan kita," kata Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kuniawan usai menghadiri Seminar Sadar Bencana di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin.

Ia menyebutkan, tujuh objek ketangguhan itu adalah rumah, rumah sakit atau puskesmas, sekolah atau madrasah, pasar, tempat ibadah seperti masjid, gereja dan sebagainya, kantor dan sarana vital seperti bandara dan terminal.

"Seperti sekarang kita ada di Kantor Bupati Bantul ini, apabila mendapat informasi ada gempa bumi, bapak mau kemana, apa yang bapak lakukan, tanda-tanda jalur evakuasi apakah ada, itu salah satu contoh saja," katanya.

Lilik mengharapkan, semua objek bangunan tersebut punya petunjuk dalam melakukan evakuasi bencana sebagai jangka pendek dalam penanganan ketika terjadi bencana, agar korban jiwa dapat diminimalkan dan dicegah.

"Untuk jangka panjang tentu juga kita lakukan, misalnya dengan memperkuat struktur sekolah yang sudah mau roboh, karena sekolah di Bantul ini rawan terhadap gempa bumi misalnya, maka kita perkuat struktur untuk jangka panjangnya," katanya.

Ia juga mengatakan, dalam jangka pendek penanggulangan bencana dilakukan dengan melatih kesiapsiagaan masyarakat maupun orang-orang yang ada di sekitar objek bangunan itu, misalnya siswa atau guru di lingkungan sekolah.

"Pada 26 April merupakan Hari Kesiapsiagaan Nasional, jangan hanya pemerintah saja, namun kita melakukan simulasi bareng bareng, misalnya kalau ketika berada di pasar apa yang mereka lakukan," katanya.

Selain memperkuat tujuh objek tersebut untuk ketangguhan bencana, kata dia, pihaknya mengajak semua pihak mulai mengkampanyekan kesiapsiagaan bencana yang dimulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat serta orang-orang terdekat.

Menurut dia, perlunya mengkampanyekan kesiapsiagaan bencana dari diri sendiri karena berdasarkan hasil survei dari otoritas terkait, 95 persen keselamatan seseorang ketika terjadi sebuah bencana itu karena faktor dari diri sendiri.

"Jadi yang 95 persen tadi itu adalah hasil survei pascagempa bumi di Kobe Jepang 1995, tetapi itu relevan dengan yang ada di Indonesia, karena faktanya kita juga mirip dengan yang di Jepang itu," katanya.

Pewarta:
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2018

Baznas & BNPB Kampanyekan Pencegahan Bencana

Bisnis.com, JAKARTA-Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan menghimpun dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) untuk penanggulangan bencana.

Direktur Baznas Tanggap Bencana (BTB), Ahmad Fikri, mengatakan kegiatan penghimpunan ZIS itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menyambut Hari Kesiapsiagaan Bencana pada 26 April.

“Melalui kegiatan tersebut Baznas dan BNPB mengampanyekan kepada masyarakat tentang urgensi mengubah paradigma bencana dari respon menjadi pencegahan,” katanya, Minggu (15/4/2018).

Dia menyampaikan hal itu dalam talk show bertajuk Siap siaga dengan berbagi di area Car Free Day Jl MH Thamrin Jakarta, Minggu pagi ini, bersama Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Bernardus Wisnu Widjaja.

Menurutnya, Baznas Tanggap Bencana (BTB) memiliki banyak program, diantaranya Sekolah Sungai, Sekolah Aman Bencana, Kampung Tanggap Bencana, dan BTB Goes to School.

Selain itu, lanjutnya, melalui koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan BNPB, BTB ikut membantu pengungsi Rohingya di Myanmar dan Bangladesh, serta krisis Asmat Papua, pengungsi Gunung Agung Bali, banjir di DKI Jakarta, dan bencana tanah longsor di sejumlah daerah di Tanah Air.

Dia menjelaskan selama 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Dan angka peristiwa kejadian bencana pada 2016 merupakan yang tertinggi sejak 2002.

Kejadian bencana tersebut, lanjutnya, mengakibatkan banyaknya jumlah warga yang terdampak bencana, seperti yang tercatat selama 2017 mencapai 3,2 juta warga mengungsi dan sekaligus menyebabkan jumlah warga miskin meningkat.

“Sekitar 80% dari warga yang terdampak bencana alam ini akhirnya berstatus menjadi miskin lagi. Meski sebelumnya mereka sudah masuk kategori sejahtera," ujarnya. 

Fikri mengungkapkan bahwa Baznas bekomitmen ikut mendorong realisasi Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yakni nol kemiskinan melalui pengurangan risiko bencana.

Adapun salah satu dari upaya merealisasikan SDGs nol kemiskinan itu, menurutnya, adalah dengan mengkampanyekan paradigma kesiapsiagaan bencana pada masyarakat.

“Sehingga jumlah warga terdampak akan berkurang karena mereka telah sadar dan siap siaga ketika bencana terjadi," tegasnya.

Ini Cara Pakar Susun Mitigasi Bencana seperti Potensi Tsunami 57 Meter

Potensi daerah landaan dan ketinggian tsunami jika zona megathrust dari Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat mengalami gempa dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, maka ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunaminya 57 meter. Skenario terburuk ini didapatkan dari hasil pemodelan.

KOMPAS.com - Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, menanggapi pemberitaan soal gempa megathrust bermagnitudo 8 di Jakarta dan potensi tsunami 57 meter di Pandeglang lewat opininya di Harian Kompas, Selasa (10/04/2018).

Dia menyayangkan pemberitaan tentang kedua hal tersebut hanya fokus pada ancamannya saja, sedangkan solusi dan mitigasinya justru nyaris tak mendapat sorotan. Padahal menurut dia, kajian ilmiah yang dilakukan oleh Widjo Kongko mungkin akan memberi pengaruh baik dalam hal mitigasi, walaupun penyusunannya bukan perkara mudah.

Sebelum menyusun mitigasinya, Abdul menyebut bahwa kita perlu mengetahui terlebih dahulu dua karakteristik bencana terkait gempa dan tsunami. Kedua karakteristik tersebut adalah high frequency but relatively low to medium risk (bencana yang sering terjadi tetapi relatif memiliki dampak risiko kecil sampai medium) dan low frequency but high risk disaster (bencana yang jarang terjadi tetapi memiliki dampak risiko sangat besar). Baca juga: Merencanakan Mitigasi Gempa Jakarta, Apa yang Perlu Diketahui?

"Skenario gempa untuk kasus pertama adalah skenario yang paling mungkin dan paling sering terjadi secara historis dalam membangkitkan tsunami di kawasan tersebut," tulis Abdul.

"Karakteristik jenis ini biasanya memiliki periode ulang pendek sekitar 50 sampai 150 tahun, dengan estimasi tinggi tsunami kurang dari 10 meter," tambahnya. Sementara itu, karakteristik bencana kedua merupakan asumsi skenario terburuk yang mungkin digunakan. "(Mungkin) terjadi secara ilmiah dengan periode ulang lebih dari 400 tahun dan estimasi tinggi tsunami di atas 20 meter (Muhari dkk, 2015)," tulisnya.

Selain mengetahui karakteristik bencana, hal yang menurut Abdul penting bagi mitigasi adalah regulasi. Bencana Risiko Tinggi Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (1) menyebutkan bahwa mitigasi bencana dengan tingkat risiko tinggi dititikberatkan pada kegiatan non struktur/non fisik. Peraturan ini bukan lahir tanpa sebab.

Berkaca pada pengalaman gempa dan tsunami Jepang tahun 2011 memberikan kita pelajaran yang sangat penting bahwa tidak ada satu struktur fisik yang mampu menahan hantaman tsunami di atas 20 meter. 

Selain itu, meski bangunan dilengkapi penahan tsunami, tapi umur struktur fisiknya (beton sekalipun) tidak mungkin melebihi 50 tahun. "Sedangkan ketika kita berbicara tsunami dengan kategori besar, maka kita berbicara periode ulang di atas 400 tahun," ungkap Abdul.

"Artinya, ketika tsunami terjadi, struktur penahan tsunami tersebut mungkin sudah dalam kondisi tidak optimal dalam mereduksi potensi dampak yang mungkin terjadi," tambahnya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana upaya non-struktur dalam kasus bencana dengan tingkat risiko tinggi? Menurut Abdul, hal ini dimulai dari tata ruang kawasan pesisir yang berbasis mitigasi.

"Pasca-tsunami tahun 2011, Jepang membagi kawasan pesisir yang direkonstruksi menjadi dua bagian yakni kawasan yang hampir pasti selalu terkena dampak tsunami dengan periode uang 30-150 tahun (berjarak sampai 1 kilometer dari bibir pantai) dan kawasan yang hanya terdampak oleh tsunami dengan periode ulang di atas 200 tahun (berjarak sampai tiga kilometer dari bibir pantai)," katanya.

"Kedua kawasan ini tidak boleh diisi dengan pemukiman," imbuh Abdul. Meski begitu, pemerintah Jepang memperbolehkan kawasan pertama dimanfaatkan untuk pariwisata dan konservasi, sedang kawasan kedua hanya boleh dimanfaatkan oleh industri dan pertanian dengan syarat ketahanan bangunan terhadap gempa dan tsunami yang sangat ketat.

Selain itu, prasarana evakuasi dari tsunami juga harus tersedia dan mudah dijangkau bagi pengguna kawasan ini. "Untuk kawasan yang belum terjadi tsunami dengan pemukiman di kawasan pesisir sudah relatif sangat padat, edukasi dan pelatihan evakuasi yang ditunjang dengan ketersediaan prasarana tempat evakuasi yang mudah dicapai adalah hal utama," kata Abdul.

"Jepang melakukan gladi evakuasi di tiap kota yang rawan tsunami setidaknya tiga kali dalam setahun," imbuhnya. Tak hanya itu, menurut Abdul, untuk melindungi aset ekonomi seperti bangunan dan infrastruktur yang dibangun di kawasan rawan tsunami, peran serta asuransi dalam manajemen risiko sudah tidak bisa ditunda.

"Regulasi nasional mengenai asuransi bencana mendesak untuk diadakan.Tanpa adanya regulasi nasional, skema asuransi bencana di Indonesia sulit diwujudkan. Baca juga: Tanpa Buoy, Seberapa Akurat Sistem Peringatan Dini Tsunami Kita? Bencana Risiko Sedang Berbeda dengan bencana risiko tinggi, untuk jenis bencana dengan tingkat risiko sedang dan kecil, Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 yang digunakan.

Peraturan ini berisi tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa fungsi struktur fisik bisa dikedepankan ditunjang dengan upaya non-fisik. Peraturan ini dimaksudkan agar keberadaan struktur fisik berupa (misalnya) hutan pantai, tanggul dan pemecah gelombang dapat seiring sejalan dengan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam merespons tanda-tanda bahaya seperti peringatan dini, gejala alam dan lain-lain.

Di samping semua itu, menurut Abdul, informasi tentang kebencanaan perlu dipahami dalam arti yang lebih luas. "Suatu hasil kajian boleh saja diperdebatkan, imbauan agar masyarakat tetap tenang dan waspada boleh saja dilakukan," kata Abdul. "Akan tetapi hal tersebut harus dibarengi dengan tindakan yang lebih mendesak yakni implementasi upaya mitigasi baik struktural maupun non-struktural yang direncanakan dengan baik dan tersosialisasikan secara berkelanjutan kepada masyarakat," tegasnya.

sumber: https://sains.kompas.com