logo2

ugm-logo

Blog

Gunung Merapi keluarkan awan panas puluhan kali, setidaknya 150 warga diungsikan

Setidaknya 150 warga diungsikan di tengah meningkatnya aktivitas Gunung Merapi yang mengeluarkan awan panas puluhan kali hari Rabu (27/01).

Gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu, mengeluarkan awan panas sebanyak 36 kali dengan jarak luncur hingga tiga kilometer.

"Arahnya ke barat daya atau ke hulu Kali Krasak dan Kali Boyong," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida, sebagaimana dilaporkan Furqon Ulya Himawan, wartawan di Yogyakarta untuk BBC News Indonesia.

Sejak pukul 00.00 - 14.00 WIB hari Rabu, Gunung Merapi mengeluarkan awan panas guguran dengan amplitudo antara 15-60 mm dengan durasi antara 83-197 detik, yang memicu hujan abu tipis di Desa Tamansari, Kabupaten Boyolali, dan Kota Boyolali, Jawa Tengah.

Sekitar 150 warga Dusun Turgo yang tinggal di sekitar Sungai Boyong sudah diungsikan ke barak di Kelurahan Purwobinganun, kata Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman.

Para pengungsi terdiri dari kelompok rentan, anak-anak dan lansia.

Jika status Merapi naik menjadi 'awas,' semua warga yang berada di daerah rawan bahaya akan segera diungsikan, menurut keterangan BPBD.

Potensi erupsi eksplosif

Hanik Humaida mengatakan masih ada potensi erupsi eksplosif Gunung Merapi dan dia memperkirakan lontaran material vulkaniknya bisa mencapai radius tiga kilometer dari puncak.

Maka itu, dia meminta warga untuk tidak melakukan aktivitas di radius lima kilometer dari puncak,

Sejak 5 November 2020, BPPTKG telah manaikkan status Gunung Merapi dari Waspada (level II) ke Siaga (level III) akibat meningkatnya aktivitas vulkanik.

Sementara itu, pada hari Selasa, 157 pengungsi meninggalkan Barak Pengungsian Glagaharjo, Cangkringan, di Sleman, D.I Yogyakarta menyusul bergesernya zona bahaya serta arah guguran lava Gunung Merapi ke arah barat.

Mereka adalah warga Kali Tengah Lor yang sudah mengungsi sejak tiga bulan terakhir.

Gempa M 5,4 Getarkan Pesisir Barat Lampung

Liputan6.com, Jakarta - Gempa bumi mengguncang wilayah di perairan pesisir barat Lampung, Rabu (27/1/2021). Gempa berkekuatan magnitudo 5,4 itu terjadi pada pukul 17.40 WIB.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, pusat gempa berada di laut, 20 km barat laut pesisir barat Lampung. Episenter gempa berada pada koordinat 5.13 LS dan 103.76 BT.

Gempa berada pada kedalaman 10 km.

BMKG melaporkan, gempa dirasakan di Liwa dengan skala III MMI, Bengkulu Selatan skala III MMI, Tanggamus skala II MMI, Krui dengan skala III MMI, Sekincau dengan skala III MMI, Way Kanan skala II MMI, dan Lampung Barat skala III MMI.

Hingga berita ini ditulis, belum ada laporan terkait dampak yang ditimbulkan dari gempa bumi tersebut.

Gempa inipun tidak berpotensi tsunami.

 

Dilema Penanganan Banjir di Jabar, Banyak Lahan Resapan Kritis hingga Terbenturnya Kemampuan Anggaran

PIKIRAN RAKYAT - Rusaknya kawasan hulu di Jawa Barat diyakini menjadi penyebab utama terjadinya sejumlah bencana di saat musim hujan terutama banjir. Hampir setiap hujan turun terjadi genangan di kawasan hilir bahkan tidak jarang menimbulkan banjir bandang.

Berbagai upaya harus dilakukan seperti penghijauan kembali maupun rekayasa teknis untuk meminimalisasi bencana tersebut. Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Dikky Achmad Sidik mengakui banyaknya kawasan hijau di wilayahnya yang beralih fungsi, seperti di Kawasan Bandung Utara (KBU).

Ini berdampak terhadap kualitas resapan sehingga hujan yang turun menimbulkan aliran air yang deras ke wilayah hilir. Pada sisi lain, tambah dia, saluran yang ada seperti sungai sudah tidak mampu menampung derasnya aliran tersebut.

Dikky menilai, berbagai cara harus ditempuh untuk meminimalisasi potensi banjir, seperti normalisasi sungai agar air tetap mengalir pada tempatnya. Namun, menurutnya langkah ini cukup berat mengingat terbatasnya lahan untuk pelebaran sungai serta kemampuan anggaran.

"Susah untuk memperlebar sungai, apalagi kalau harus makan lahan orang. Sehingga perlu penambahan kawasan resapan agar air hujan yang turun tidak terbuang ke wilayah hilir," ucap Dikky saat diwawancarai pada Rabu 27 Januari 2021.

Selain melalui cara alami seperti penanaman pohon kembali, menurut Dikky perlu rekayasa teknis agar kawasan hijau yang sudah beralih fungsi tetap mampu menyerap air di saat hujan turun.

"Jumlah kawasan resapan air harus terus ditambah, agar air hujan yang turun tidak mengalir ke hilir, sehingga tidak menyebabkan banjir," katanya.

selengkapnya https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-011340399/dilema-penanganan-banjir-di-jabar-banyak-lahan-resapan-kritis-hingga-terbenturnya-kemampuan-anggaran?page=2

Arutmin sebut pembukaan lahan besar-besaran dapat menjadi penyebab banjir di Kalsel

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA.  Bencana banjir yang merendam Kalimantan Selatan (Kalsel) pada awal tahun 2021 ini diduga tak lepas dari kerusakan lingkungan dan alih fungsi kawasan hutan akibat pertambangan batubara.

Salah satu perusahaan tambang batubara berskala jumbo yang beroperasi di Kalsel adalah PT Arutmin Indonesia, anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI), group usaha Bakrie.

General Manager Legal and External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani tak menampik, pembukaan lahan secara besar-besaran bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab banjir.

Pembukaan lahan tersebut bisa disebabkan oleh berbagai macam kegiatan seperti perkebunan khususnya sawit, pertambangan dan pertanian.

Kendati begitu, Ezra menegaskan bahwa penyebab utama terjadinya banjir di Kalsel perlu dilihat kembali dan dievaluasi secara mendalam.

"Seperti yang sudah disampaikan Bapak Presiden, curah hujan beberapa hari terakhir memang sangat tinggi, bahkan jauh di atas curah hujan rata-rata beberapa tahun terakhir. Selain itu sistem drainase apakah sudah cukup memadai atau tidak," kata Ezra saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (22/1).

Dalam hal pembukaan lahan, Ezra pun menekankan bahwa aktivitas tersebut harus dilihat kembali, apakah sudah memiliki kajian lingkungan (Amdal) yang sudah dievaluasi dan disetujui pemerintah, atau tidak.

Sebab fakta di lapangan menunjukan masih banyak ditemukan kegiatan-kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian dan pertambangan yang tidak dilakukan evaluasi kelayakan lingkungan dan tidak memiliki izin Amdal. "Hal ini perlu perhatian dan tindakan tegas dari pemerintah," sambung Ezra.

Lebih lanjut, dia juga mengklaim bahwa kegiatan reklamasi pasca tambang Arutmin Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1990-an dan terus berlangsung hingga sekarang.

"Praktek reklamasi pasca tambang Arutmin sudah banyak dijadikan contoh dan acuan bagi perusahaan pertambangan lain. Pemerintah sendiri bebetapa kali memberikan penghargaan atas keberhasilan reklamasi paska tambang di Arutmin," sebutnya.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Arutmin Indonesia memiliki tambang yang berlokasi di Satui, Senakin, Batulicin, dan Asam-asam, Kalimantan Selatan dengan luas mencapai 57.107 hektare (ha).

Setelah memperoleh perpanjangan izin dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK pada 2 November 2020, konsesi Arutmin diciutkan  40,1%. Dengan begitu, luas wilayah konsesi Arutmin menjadi sekitar 34.207 ha.

Di sisi lain, banjir di Kalsel juga mengganggu kegiatan operasional pertambangan, termasuk Arutmin. Kata Ezra, penambangan dengan cara open pit dapat terganggu ketika curah hujan tinggi. Namun dia memastikan bahwa kegiatan produksi batubara Arutmin terus berjalan.

"Banjir sedikit berdampak pada kegiatan operasional. Kita melakukan upaya teknis menghadapi curah hujan yang tinggi, agar tambang kita juga tidak dipenuhi oleh air," pungkas Ezra.

Kegagalan Cegah Banjir Kalimantan Selatan

Merdeka.com - Rukka Sombolinggi hanya geleng-geleng membaca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait banjir di Kalimantan Selatan. Dia kecewa. Merasa pernyataan Presiden tidak tegas ungkap penyebab banjir besar yang melanda sejak 13 Januari 2021 itu. Seakan menuduh hujan lebat menjadi akar masalah.

Sebagai Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Rukka meyakini banjir besar menerjang sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan akibat keserakahan pengusaha. Ini bisa terlihat bagaimana deforestasi terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi pertambangan maupun kebun kelapa sawit.

Sejak AMAN berdiri tahun 1999, beragam kerusakan alam di Kalimantan memang sudah terlihat. Kondisi ini juga berdampak pada suku Dayak, selaku masyarakat asli di sana. Salah satunya di Desa Dayak Meratus. Sehingga gerakan ini dibangun sebagai perlawanan agar hutan tidak semakin dirusak.

"Banjir yang terjadi Kalimantan Selatan itulah salah satu yang dicegah oleh masyarakat adat selama ini. Tapi pemerintah menutup mata," kata Rukka kepada merdeka.com, Kamis pekan lalu.

Pemerintah seakan tidak pernah mendengar beragam temuan kerusakan alam. Bagi Rukka, banyak izin usaha pertambangan maupun kepala sawit diberikan serampangan. Setidaknya sudah 50 persen lahan di Kalimantan Selatan dikuasai untuk tambang dan perkebunan.

Selama ini warga telah memperjuangkan supaya wilayah adat di Meratus berhenti dirampas, dikupas permukaannya, dan dikeruk isi perut bumi dari tangan tak bertanggungjawab. Sayang usaha itu masih belum dilirik pemerintah.

Greenpeace Indonesia mencatat sepanjang 2001-2019, wilayah Kalimantan Selatan kehilangan 304.223,9 Ha DAS (daerah aliran sungai). Penyebab terbesar yakni, perubahan fungsi lahan.

Adapun tiap tahun jumlah semakin meningkat. Hilangnya tutupan hutan pada 2001 sebanyak 4.274,3 Ha, kemudian 2002 sebesar 11.926,5 Ha, lanjut di 2003 sebanyak 16.615,7 Ha dan terus naik di 2004 sebanyak 16.751,2 Ha dan 2005 sebanyak 21.051,9 Ha.

Pada 2006, sedikit mengalami penurunan sehingga hanya 11.427,5 Ha. Namun, 2007 meningkat lagi menjadi 22.907,2 Ha, kemudian turun lagi di 2008 sebanyak 15.688,9 Ha. Penurunan juga terjadi di 2009 sebanyak 12.708,9 Ha dan 2010 sebanyak 14,464.5 Ha.

Memasuki 2011, kembali terjadi hilangan tutupan hutan sebesar 12,366.9 Ha. Angka itu terus naik di 2012 sebanyak 21,148.6 Ha. Pada 2013 sempat terjadi penurunan hingga 10.443,5 Ha. Kemudian pada 2014, di tahun Presiden Jokowi pertama menjabat justru terjadi peningkatan menjadi 15.190 Ha.

Angka itu terus naik di 2015 sebanyak 19.937 Ha dan puncaknya di 2016 sebanyak 49.388,8 Ha. Pada 2017 terjadi penurunan drastis sebanyak 8,157.4 Ha, lalu 2018 sempat kembali sebanyak 10,224.9 Ha, dan 2019 mengalami penurunan sebanyak 9.550.1 Ha.

Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Kompas menegaskan, dalam bencana ini proses pemberian izin tidak mempertimbangkan daya tampung lingkungan, dan proses pengawasan dan penegak hukum tidak dilakukan, dan tampak besar direklamasi dibiarkan. Termasuk tambang ilegal sehingga fungsi pemerintah tidak berjalan. Faktor kebijakan dan tata kelola sumber carut marut bagian pemicu bencana.

Katanya, Kalsel ini dikuasai Oligarki. Jadi fungsi pemerintah itu menjalankan regulasi itu sangat lemah. Jadi lebih banyak dipengaruhi Oligarki sehingga kemudian izinnya diberikan jor-joran tanpa memperhatikan lingkungan. "Penegakan hukum menjadi tumpul," ujar Arie kepada merdeka.com.

sumber: https://www.merdeka.com/khas/kegagalan-cegah-banjir-kalimantan-selatan-bencana-di-kalsel.html