logo2

ugm-logo

Mitigasi Bencana, Mau Belajar atau Gagal?

mitigasi_bencanaJakarta - Ditemui tiga hari pascagempa dan tsunami Sendai, di kantornya yang megah di Tokyo, Jepang, Teruyuki Kato, peneliti senior pada Earth Research Institute, tengah berduka. Sebagai ilmuwan, ia merasa turut bersalah karena luput memperingatkan ancaman tsunami raksasa periode 1.000 tahunan yang akhirnya menewaskan lebih dari 10.000 jiwa.

Kato meraih penghargaan bergengsi di Jepang, The Invention Prize, karena jasanya mengembangkan global positioning system (GPS) pemantau tsunami. Lewat itu, Pemerintah Jepang bisa menghitung dan menginformasikan kedatangan tsunami dalam hitungan menit.

Ia menjadi salah satu tumpuan pertanyaan masyarakat Jepang tentang ”kegagalan” ilmuwan memprediksi dan mengantisipasi gempa raksasa. Sejak pagi, puluhan wartawan antre menemui sang profesor. ”Jepang termasuk paling maju memperkirakan gempa. Namun, gempa Jumat (11/3/2011) mengajarkan, semua jauh dari cukup,” kata Kato.

Kato mengakui, ilmu prediksi gempa dan peringatan dini tsunami masih lemah. ”Kami belum bisa meramalkan tepat, kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa terjadi,” kata dia. ”Kami akan belajar dan memastikan pembangunan lebih baik.”

Semangat belajar

Semangat Kato berintrospeksi, belajar, dan yakin bisa membangun lebih baik itu cerminan sikap bangsa Jepang, seperti ditunjukkan dengan pembangunan Sendai dengan tata ruang lebih baik (Kompas, 2/1/2013).

Semangat terus belajar itu juga dirasakan Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merampungkan doktornya di Nagoya University, Jepang.

”Pascagempa Tokyo tahun 1923 yang menewaskan lebih dari 140.000 jiwa, Jepang menjawabnya dengan mendirikan Earthquake Research Institute (ERI) di Tokyo, tahun 1925,” katanya. Saat ini, ERI jadi pusat riset kelas dunia, rumah puluhan periset gempa kelas dunia.

Menurut Irwan, melakukan riset dasar kebencanaan merupakan ciri bangsa bervisi ke depan dan bisa bertahan terhadap bencana geologi yang datang berulang. Amerika Serikat ketika menyadari potensi gempa besar di California memutuskan mendirikan South California Earthquake Center (SCEC). Saat ini, lembaga itu jadi komunitas berdiskusi lebih dari 600 peneliti dari 60 institusi di dunia.

Bahkan, lanjut Irwan, Singapura, negara tetangga Indonesia, menjawab potensi kegempaan di Sumatera dengan mendirikan pusat riset gempa kelas dunia tahun 2008. Pusat riset bernama Earth Observatory of Singapore (EOS) itu menjadi tempat peneliti terbaik dunia, termasuk beberapa peneliti Indonesia, meriset kegempaan. Padahal, Singapura tak mengalami gempa!

Laboratorium bencana

Tak hanya jadi pusat studi gempa, EOS di Nanyang Technological University juga membangun pusat studi gunung api. Beberapa ahli gunung api terbaik dunia dikumpulkan, termasuk dari Indonesia. Padahal, tak satu gunung api pun di sana! Indonesia pemilik gunung api terbanyak, 127 gunung api aktif.

”Saya sungguh menangisi, kenapa Singapura bisa mendirikan pusat riset gunung api, tetapi Indonesia tidak. Kita harus punya sekolah tentang gunung api,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono.

Surono menambahkan, dari aspek risiko bencana, wisata, air, panas bumi, dan lainnya terkait gunung api, dari instrumentasi hingga kesehatan, dari kearifan lokal hingga budaya dalam arti luas, semuanya ada di Indonesia. ”Seharusnya, kita bukan hanya punya gunung api terbanyak, tapi kiblat belajar gunung api bagi dunia,” katanya.

Berada di zona tumbukan empat lempeng Bumi, Indonesia negara paling rentan terdampak gempa dan letusan gunung api. Indonesia juara dunia dalam hal korban jiwa akibat letusan gunung api, gempa, dan tsunami yang lebih dari 300.000 jiwa dalam 200 tahun terakhir.

”Sebagai negara rentan bencana geologi, penelitian ilmu kebumian sangat kurang,” kata Irwan, Koordinator Program Pascasarjana Gempa Bumi dan Tektonik Aktif (Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics/GREAT) ITB.

Selain penelitian dasar, ia juga berharap ada semacam dewan riset yang menjembatani para ahli dengan pembuat kebijakan. Jepang punya Kantor Pusat Promosi Riset Gempa (HERP), yang memayungi Komite Gempa dan Komite Riset.

Menurut Irwan, penelitian kegempaan merupakan bidang multidisiplin. Bila pengembangan bidang ini hanya dilakukan instansi pemerintah, hanya akan dibatasi tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi. Padahal, sifat alami riset kegempaan perlu kajian lintas bidang.

Menyadari itu, seusai gempa Kobe 1996 yang menewaskan 6.434 jiwa, Pemerintah Jepang mendirikan HERP. Lembaga ini bertugas meneliti multidisiplin membuat peta bahaya gempa Jepang (PSHA) dan menyebarkannya kepada publik.

Tiap tahun, HERP wajib memperbarui peta itu. HERP diberi dana Rp 480 miliar per tahun atau 30 persen alokasi dana kebencanaan di Jepang.

Tahun 2010, Wakil Presiden Boediono menyatakan keinginannya membangun pusat riset, pendidikan, dan pelatihan pengurangan risiko dan penanganan bencana seperti di Jepang (Kompas, 18/11/2010).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana yang turut Wapres ke Jepang waktu itu menyebutkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana bisa berperan dalam kondisi tanggap darurat dan persiapan tahap rekonstruksi.

Gagasan ini jauh panggang dari api. Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Universitas Syiah Kuala-Aceh, yang diharap jadi pusat studi mitigasi tsunami, kesulitan dana. Program GREAT-ITB minim dukungan. Jurusan vulkanologi belum ada di Indonesia. Kita mau jadi bangsa pembelajar atau terus jadi bangsa gagal?