
Misalnya saja di rumah sakit, saat bencana sudah pasti akan timbul korban, dari yang ringan sampai meninggal dunia. Kondisi ini masih ditambah dengan jumlah korban yang terus meningkat. Kondisi seperti inilah yang mudah menimbulkan kepanikan dan kekacauan dalam penanganan korban di rumah sakit. Hal ini terjadi saat rumah sakit tidak mengalami bencana, bagaimana jika sebuah rumah sakit juga mengalami bencana? Dengan sumberdaya yang tersisi rumah sakit tetap menjalankan fungsinya untuk memberikan layanan kesehatan kepada korban.
Kondisi bencana sering disebut dengan kondisi yang “kacau” atau chaos, namun, pengorganisasian harus tetap dijalankan. Jika tidak, kondisi “kacau” akan semakin memperparah keadaan dan berdampak pada korban. Disinilah muncul peran manajer lokal dalam penanggulangan bencana daerahnya, atau pimpinan jika kondisinya di rumah sakit. Manajer ini yang menjadi komando pengorganisasian penanggulangan bencana di daerah. Ia juga bertanggungjawab untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk diatur dan dikoordinasikan.
Siapakah yang pantas menjadi manajer pada saat penanggulangan bencana? Umumnya pada kondisi bencana, pemerintah daerah yang berperan, dalam hal ini gubernur atau bupati yang langusng menjadi komandannya. Kemudian, sejak ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) maka BPBD lah yang berperan. Siapa yang menjadi komandannya bisa juga tergantung dari dokumen penyusunan rencana penanggulangan bencana daerah. Semakin sebuah daerah atau rumah sakit siap dengan rencana penanggulangan bencana maka harapannya pengorganisasian pada masa bencana bisa efektif dan efisien.
Pada beberapa artikel penelitian dan buku-buku pedoman kebencanaan disebutkan, pentingnya kehadiran manajer pada masa bencana. Karena semua bencana bersifat lokal, maka manajer yang dibutuhkan juga bersifat lokal. Manajer lokal adalah orang yang memiliki pemikiran tajam dan kritis yang telah mengenal daerahnya dengan baik sehingga dapat bertindak efektif. Tugas manajer lokal bertanggungjawab untuk keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, dia dituntut mampu berpikir kritis untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi situasi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan secara efektif dan effisien. Namun, kembali lagi, kondisi bencana berbeda dengan kondisi normal sehingga pemilihan lokal manajer juga harus mempertimbangkan beberapa hal.
Penelitian Stacy dan Metthew tahun 2013 yang mencoba mencari korelasi antara kemampuan manajer lokal pada masa bencana dengan karakteristik umur, pendidikan, pengalaman, dan jenis kelamin memperlihatkan bahwa korelasi yang cukup mempengaruhi kemampuan manajer lokal adalah pendidikan dan pengalaman. Pada dasarnya, salah satu faktor yang membentuk sikap seseorang adalah pengalamannya. Terutama pada masa krisis seperti bencana, dimana tekanan semakin menigkat, maka pengalaman menangani masa krisis sebelumnyalah yang bisa membuat manajer lebih tenang. Sedangkan, faktor pendidikan diduga berkorelasi karena dianggap dengan semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak kasus pembelajaran yang telah dilaluinya. Dengan demikian, faktor pendidikan dan pengalaman kebencanaan dapat dipertimbangkan untuk memilih manajer lokal dalam penanggulangan bencana. selain itu, pemberian pelatihan kebencanaan dan studi kasus kebencanaan dapat menjadi upaya peningkatan pengalaman dan pemikiran kritis manajer lokal.
Rujukan: