logo2

ugm-logo

Risk Perception terhadap Kejadian Bencana : Indonesia dan Jepang

Oleh Madelina

Berada pada jalur ring of fire membuat Indonesia akrab dengan kejadian bencana. Lebih dari dua kejadian bencana terjadi di Indonesia setiap harinya. Tercatat bahwa selama Januari 2013 telah terjadi bencana sebanyak 120 kejadian di berbagai daerah di Indonesia, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Meski mengalami penurunan, bencana masih banyak terjadi pada Februari yang mencapai 87 kejadian. Bencana yang terjadi diantaranya banjir, tanah longsor, dan puting beliung masih mendominasi.

Bencana kembali terulang kembali, seolah-olah hal biasa yang terjadi. Bahkan di Indonesia yang dikenal sebagai negara tropis yang hanya memiliki dua musim, saat ini juga terkenal dengan “musim banjir” pula. Sadar atau tidaknya masyarakat bahwa mereka berada di daerah yang rawan bencana merupakan indikator keberhasilan dari sosialiasai Risk Perception. Bencana akan dianggap kejadian alam biasa jika masyarakat menganggap itu bukan bencana yang senantiasa mengintai harta benda bahkan nyawa dan keluarga. Inilah pentingnya konsep Risk Perception. Orang akan cenderung bertindak sesuai dengan persepi yang dimilikinya.

Sebaiknya seluruh masyarakat Indonesia belajar dari masyarakat Jepang. Jepang memiliki daerah yang jauh lebih kecil dari Indonesia dan parahnya hampir di seluruh wilayah Jepang berisiko besar terhadap gempa dan tsunami. Berbeda dengan Indonesia yang masih memiliki daerah yang setidaknya lebih aman terhadap bencana (seperti Kalimantan). Namun, pemerintah dan masyarakat Jepang memiliki kewaspadaan dan persepsi yang sama mengenai bencana. Bencana dianggap sesuatu yang terjadi secara spontan dan akan membahayakan jiwa jika tidak ditanggapi dengan tepat. Maka tidak heran proses mitigasi dan adaptasi Jepang terhadap bencana sangat baik, seperti membangun pondasi gedung yang tahan gempa, pemantauan gempa aktif, sistem awareness yang baik dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, serta pendidikan penyelamatan jiwa ketika bencana sejak TK.

Uniknya lagi, Jepang juga dikenal dengan negara yang masih menganut agama  dan kepercayaan. Masyarakat Jepang percaya bahwa gunung berapi misalnya memiliki seorang Dewa penjaga. Sehingga kejadian gunung meletus bisa saja dianggap peringatan atau kemarahan Dewa. Meski demikian, masyarakat jepang juga memahami risk perception mengenai bencana yang disosialisasikan pemerintahnya. Masyarakat Jepang percaya adanya Dewa, mereka selalu melakukan pemujaan untuk menghindari kemarahan dewa. Di sisi lain mereka juga percaya dengan risiko bencana, untuk itu mereka mempersiapkan diri dengan latihan tanggap darurat bencana dan simulasi jika terjadi bencana. Dua sisi persepsi yang saling bertolak belakang tetapi mereka “mengawinkannya” dengan baik, seharusya Indonesia juga bisa seperti itu.