Reportase Sesi 1. Kebijakan Logistik Medik
Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana:
Study Kasusu Tetanus pada Gempa Yogyakarta untuk Pencegahan pada Gempa Pidie Jaya 2016
Kamis, 9 Maret 2017
Gedung Senat Lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM
Sesi 1 ini ditujukan untuk membahas kebijakan logistik medik. Untuk itu, narasumber yang dihadirkan berasal dari regulator baik di tingkat nasional maupun internasional. Narasumber kali ini adalah dr. Achmad Yurianto yang merupakan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dan Bapak Yulian Yogadhita, S.Farm, Apt dari WHO Indonesia.
dr. Hendro Wartatmo, Sp.BD selaku penasihat Pokja Bencana FK UGM, menjadi moderator pada sesi ini. Dalam pengantarnya beliau teringat bahwa pada suatu kejadian bencana beliau dan tim pernah menerima obat-obatan berbahasa Jepang dan tidak ada bahasa inggris juga yang bisa dimengerti. Kedepannya harusnya sudah tidak ada lagi pengalaman yang seperti ini.
Bahasan kita hari ini sebenarnya dapat kita rangkum dalam upaya monitoring layanan kesehatan pada saat bencana. Hal ini benar-benar strategis dan berkaitan sekali dengan perencanaan dan peningkatan kapasitas pada saat terjadi bencana. Menyinggung yang disampaikan oleh moderator tadi mengenai permasalahan label obat bantuan, itu menunjukkan kalau pada saat itu, kita memang belum siap termasuk merencanakan penerimaan bantuan logistik medik pada saat bencana.
Kaitannya dengan penanganan logistik, setiap daerah di Indonesia harusnya sudah merujuk pada DAK Bidang Kefarmasian yang sudah mengharuskan setiap daerah memiliki perencanaan buffer stock. Harusnya, setiap daerah memperhitungkan dengan benar buffer stock ini berdasarkan kontijensi krisis kesehatan dan bencana yang ada di daerahnya.
Sedangkan penanganannya berbasis klaster. Kita ada di klaster kesehatan yang terdiri dari sub-sub klaster lagi. Sub klaster yang berkaitan dengan logistik ini adalah sub klaster layanan kesehatan.
Peran pengurangan risiko bencana dibidang kesehatan ini merupakan asset yang harus dikelola oleh dinas kesehatan. Bukan pada masa responnya tapi pada saat pemulihan dininya dan kembali lagi pada masa pra bencana sebagai bentuk kesiapsiagaan.
Pemateri kedua memaparkan tentang internal dan external preparedness, koordinasi, dan pembelajaran dari gempa Nepal. Beliau lebih banyak membahas mengenai kasus yang pernah dialami seperti pemusnahan obat bantuan pada gempa Padang dan gempa Jogja. Obat yang dimusnahkan jumlahnya hingga 10 ton dan membutuhkan dana yang besar.
Menyambung permasalahan penerimaan bantuan obat yang tidak sesuai dan logistik medik lainnya, erat kaitannya dengan upaya peningkatan kapasitas petugas penerimaan logistik di lapangan. Biasanya yang menerima adalah BNPB atau TNI diluar sektor kesehatan. Artinya, upaya peningkatan kapasitas penerimaan bantuan ini juga harus memperhatikan peningkatan kapasitas lintas sektor, tidak hanya petugas kesehatan.
Logistik dalam ICS mendapat perhatian serius karena ketika itu menjadi bencana internasional maka WHO menjadi koordinator kesehatannya yang menerima bantuan ini. Jika tidak sesuai kebutuhan maka bisa untuk ditolak. Pertanyaannya, bagaimana kompetensi SDM penerima logistik dan sistem perencanaan penyimpanannya, distribusinya, pelaporannya di tingkat nasional dan daerah? Ini yang harus masuk dalam perencanaan tiap-tiap daerah sesuai dengan kontijensi yang disepakati.
Masuk ke sesi diskusi, dr. Wiliam dari Medicuss Foundation, Pak Sutono dari PSIK FK UGM, dan Pak Budi dari RS PKU serta Pak Dodi dari PKK. Secara umum diskusi seputar kekacuan penanganan pada saat bencana, standar obat-obatan yang harus disiapkan untuk rumah sakit seperti apa, serta lemahnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan bencana di daerah. Dapat dirangkum bahwa the most problem in disaster respond was not-single resources but control and coordination. Bagaimana kerjasama lintas sektor hingga pengaturan di sektor kesehatan sendiri harus dikuatkan dengan seringnya melakukan kontak dan kerjasama.
Reportase: Madelina A