BANDA ACEH, KOMPAS.com - Gempa 8,5 skala Richter yang berpusat di Simeulue, Aceh, Rabu (11/4/2012) pukul 15.38, memicu kepanikan di sepanjang pesisir barat Sumatera. Gempa berikutnya terjadi pukul 17.43 berkekuatan 8,8 skala Richter. Para ahli mengkhawatirkan gempa beruntun ini akan memicu gempa yang lebih besar.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, dibandingkan dengan gempa dan tsunami Aceh 2004, situasi pascagempa kali ini lebih terkendali. Sistem peringatan dini bekerja dengan baik. ”Situasi sekarang terkendali, berbeda dengan tsunami Aceh 2004 dan bencana-bencana lainnya,” kata Yudhoyono dalam jumpa pers bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron, di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.
Berdasarkan pantauan di lapangan, gempa kali ini menimbulkan kepanikan di sepanjang pesisir barat Sumatera, mulai dari Lampung hingga Banda Aceh. Sistem kesiapsiagaan masih banyak yang harus dibenahi.
Di Banda Aceh, gempa menyebabkan warga bergegas menjauh dari pantai dengan kendaraan bermotor sehingga menimbulkan kemacetan di berbagai ruas jalan. Kepanikan juga menimbulkan kecelakaan yang melibatkan sepeda motor.
Ayu Konella (24), warga Lamlagang, Banda Aceh, mengatakan tidak mendengar sirene tsunami pascagempa. Warga berhamburan. Arus listrik yang padam setelah gempa menambah kekacauan. Sementara Fithrah (33) mengatakan, suara sirene peringatan tsunami baru terdengar di Lampriet, Banda Aceh, sekitar 40 menit setelah gempa.
Warga Calang, Kabupaten Aceh Jaya, Novita Apriliana, menyebutkan, informasi soal kemungkinan terjadinya tsunami juga tak sampai ke masyarakat. Tak terdengar suara sirene atau pengumuman yang memandu warga bergerak menuju jalur evakuasi.
”Kami langsung lari meninggalkan Calang ke arah Gunung Keutapang di dekat Kodim Aceh Jaya dan bertahan di sana selama satu jam. Begitu turun, ternyata ada gempa lagi sehingga kami lari ke Gunung Carak. Rencananya, kami bermalam di sini,” ujar Novita.
Calang termasuk kawasan yang luluh lantak saat tsunami menerjang pada 26 Desember 2004. Hampir semua bangunan di kota yang diapit Samudra Hindia dan pegunungan itu musnah disapu tsunami.
Kepanikan juga dialami ribuan warga Meulaboh. Menurut Taufik Yanizar, warga setempat, tak terdengar sirene saat gempa atau ketika air laut mulai naik. Di Meulaboh disebutkan, ketinggian tsunami mencapai 80 sentimeter.
”Saya tak sempat melihat air laut naik karena langsung menyelamatkan keluarga ke tempat lebih tinggi. Namun, saat kami terjebak macet karena banyak kendaraan menuju Kaway XVI, orang-orang bilang air naik di Meulaboh,” ujar Taufik.
Di Kota Padang, Sumatera Barat, ribuan warga yang berebut mengungsi ke dataran tinggi menggunakan mobil dan sepeda motor menyebabkan jalan-jalan macet total. Kemacetan di antaranya terjadi di Jalan KH Ahmad Dahlan dan Teuku Umar yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari pantai.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang Dedi Henidal mengatakan, kemacetan terjadi karena banyak warga yang mengungsi menggunakan kendaraan bermotor. ”Padahal, dalam simulasi sudah diberitahukan evakuasi harus jalan kaki,” katanya.
Berdasarkan simulasi, menurut Dedi, tsunami bisa menerjang Kota Padang 29 menit setelah gempa terjadi di Samudra Hindia. Adapun jangkauan air tsunami bisa mencapai 3 kilometer dari pantai.
Kekacauan juga terjadi di Sibolga, Sumatera Utara. Wali Kota Sibolga Sarpi Hutauruk mengeluhkan sistem peringatan dini tsunami yang tidak berfungsi optimal. Dari tujuh alat peringatan dini, empat di antaranya rusak. ”Termasuk yang di depan kantor wali kota,” katanya.
Di Simeulue, warga lebih siap. Kepala BPBD Simeulue Mulyadiansyah mengatakan, begitu terjadi gempa, warga menjauh dari pantai dengan berlari. Mereka membawa serta keluarga dan pakaian secukupnya.
”Tak ada kemacetan dan tak ada warga terluka,” kata Randi, warga Simeulue.
Mantan Bupati Simeulue Darmili mengatakan, ia beserta warga akan tetap berada di perbukitan hingga kondisi benar-benar aman. Hingga pukul 19.00, Darmili masih berada di perbukitan Meranti.
Ia menambahkan, tak ada laporan tentang korban ataupun kerusakan. Ia berharap semua warga selamat.
Harus siaga
Ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman mengatakan, gempa kali ini terjadi di luar zona penunjaman (subduksi) atau pertemuan Lempeng Indoaustralia dan Lempeng Eurasia. ”Gempa ini dipicu sesar geser di Lempeng Indoaustralia. Adapun gempa tahun 2004 yang menyebabkan tsunami besar terjadi di zona subduksi akibat sesar naik,” katanya.
Ahli tsunami Gegar Prasetya menyebutkan, gempa pada lempeng ini tidak akan memicu tsunami besar. ”Kekhawatiran kami, guncangannya memicu terjadinya gempa di zona subduksi. Jika terjadi, potensi tsunaminya bisa sebesar Aceh tahun 2004, bahkan lebih besar,” kata Gegar.
Danny mengatakan, ancaman gempa di zona penunjaman yang berada pada segmen Pulau Siberut sudah di depan mata. Karena itu, ia mengingatkan agar masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan.
Belajar dari Simeulue, kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci penting minimnya korban di pulau ini saat tsunami melanda pada 2004.
Saat tsunami melanda tahun 2004, banyak warga Simeulue selamat karena bergegas berlari ke bukit begitu terjadi gempa. Mereka memiliki pengetahuan tentang smong, istilah lokal untuk tsunami. Walaupun ribuan rumah hancur, korban tewas di pulau ini ”hanya” tujuh orang.
Respons global
Gempa yang berpusat di sekitar Simeulue ini juga memicu kesiapsiagaan di sejumlah negara. Pusat Peringatan Tsunami Pasifik Amerika Serikat di Hawaii mengeluarkan peringatan tsunami. Pemerintah India, Thailand, Kenya, dan Sri Lanka juga mengeluarkan peringatan bahaya tsunami kepada warga di pesisir Samudra Hindia.
Pemerintah Thailand bahkan sempat menutup bandar udara di kawasan resor wisata Phuket dan memerintahkan warga di pesisir di enam provinsi negara itu untuk mengungsi.