JAKARTA, KOMPAS.com - Dua gempa berkekuatan 8,5 dan 8,1 Skala Richter yang mengguncang Aceh pada Rabu (11/4/2012) berpotensi menggeser pantai barat Sumatera dan Kepulauan Nias serta Simeulue sejauh beberapa sentimeter.
Demikian diungkapkan Widjo Kongko, peneliti Tsunami Research Group untuk Balai Pengkajian Dinamika Pantai pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kepada Kompas.com, Senin (16/4/2012). Widjo menganalisis gempa itu dengan model homogen elastik. Model ini menganggap kerak Bumi bersifat elastis dan homogen dari lapisan atas hingga bawah. Data diambil dari pencatatan gelombang seismograf United States Geological Survey (USGS) di lebih dari 50 stasiun.
Berdasarkan analisis, diketahui bahwa diskolasi horisontal di pusat gempa punya dua alternatif, yakni 200 derajat atau arah timur laut dan 110 derajat ke arah barat laut. Belum bisa dipastikan mana yang terjadi akibat gempa rabu lalu.
Sementara itu, pergeseran vertikal juga terjadi akibat gempa, tetapi hanya kurang dari enam meter. Pergeseran vertikal yang minim tersebut menyebabkan tsunami yang terjadi hanya dalam skala kecil.
"Dengan mengikuti dislokasi di atas, Pantai Barat Aceh, Pulau Simeulue dan Nias berpotensi bergeser 1-8 cm dengan arah barat," kata Widjo. Jika dislokasi horisontal adalah 200 derajat, maka Simeulue bisa bergeser sekitar 8 cm dan Aceh bisa bergeser 3 cm.
Hasil pemodelan tersebut masih perlu dikonfirmasi dengan pencatatan global positioning system (GPS) di lokasi yang disebutkan. Namun, biasanya hasil pemodelan tak akan berbeda jauh dari hasil analisis lapangan.
Widjo mengatakan bahwa gempa Aceh tersebut dapat memengaruhi aktivitas di zona subduksi. Namun, hal itu tidak bisa dipakai untuk memperkirakan apakah akan ada gempa di zona subduksi akibat gempa Aceh lalu.
Menurut Widjo, gempa Aceh pada pekan lalu merupakan hal baru bagi para geolog dan seismolog. Gempa di luar zona subduksi yang bermagnitud besar sangat jarang terjadi, apalagi dua gempa yang berpusat di wilayah berdekatan dan terjadi di waktu yang hampir bersamaan.
"Saat ini sangat mendesak dilakukan kajian yang mendalam berkaitan dengan pengaruh gempa yang jarang terjadi ini terhadap daerah subduksi untuk mengantisipasi gempa di masa datang," ujar Widjo.