JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil riset kerja sama antara Kementerian Riset dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Japan Science and Technology (JST), dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menunjukkan bahwa langgam gunung api Indonesia berubah.
"Sejumlah publikasi menyebutkan bahwa gempa di Aceh pada tahun 2004 telah mempengaruhi pola aktivitas gunung api di dunia. Di Indonesia, bukti empirisnya sudah jelas," kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Jakarta, Selasa (2/5/2012).
Bukti nyata adanya perubahan langgam gunung api adalah letusan Merapi tahun 2010 lalu. Merapi dikenal dengan letusannya yang kalem atau tidak meledak-ledak. Namun, tahun 2010 lalu, Merapi seperti mengamuk. Rentetan letusan terjadi bulan Oktober hingga November 2011.
Letusan Gunung Sinabung menjadi bukti lain. Gunung ini diketahui sudah tidak meletus sejak tahun 1600 lalu. Tapi, pada Agustus 2010, gunung yang ada di Karo, Sumatera Utara ini tiba-tiba saja memuntahkan lava.
Sementara, bukti terakhir adalah letusan Kelud pada tahun 2007. Dalam 100 tahun sebelumnya, Kelud meletus secara eksplosif. Namun, pada tahun 2007 lalu, Kelud meletus secara efusif, membingungkan para ahli, pemerintah dan 15.000 warga sekitar yang mengungsi.
"Ini membuktikan bahwa aktivitas tektonik memang mempengaruhi aktivitas vulkanik," ungkap Surono yang ditemui
Ancaman "Lemparan Batu" Kelud
Di antara semua gunung api, Gunung Kelud menjadi salah satu yang paling perhatian peneliti. Letusan gunung ini disebut-sebut menjadi salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Kediri beberapa abad lalu.
Surono mengatakan, letusan Kelud sebelumnya diketahui "cepat selesai". Bisa terjadi letusan 2 kali yang besar dan besar sekali. Material yang dilontarkan dari letusan bisa mencapai 150 - 250 juta meter kubik, melebihi Merapi.
Saat ini, danau yang ada di Gunung Kelud hilang tertutup kubah lava. Hal ini akan mempengaruhi perilaku letusan Kelud. Dari letusan yang bersifat menyapu seperti "kelud", gunung di Jawa Timur ini bisa meletus lebih dahsyat.
"Karena danau tersumbat kubah lava, maka letusannya nanti pasti tidak akan seperti dulu. Pada saat meletus nanti Kelud akan melemparkan batu. Ini dampaknya nanti akan lebih besar, " jelas Surono.
Pemantauan Penting
Surono mengungkapkan, adanya perubahan perilaku gunung api menunjukkan bahwa manusia tidak bisa terlena dengan pakem yang sudah ada. Pemantauan aktivitas gunung api mesti terus dilakukan untuk tujuan mitigasi bencana.
"Sejarah letusan gunung api bukan harga mati. Akhir dari letusan gunung api berkaitan dengan letusannya sekarang," papar Surono.
Pemantauan perlu diprioritaskan pada gunung api kota seperti Gunung Lokon, Gunung Merapi, Gunung Guntur, Gunung Gede, Gunung Kelud dan Gunung Tangkuban Perahu. Beberapa wilayah gunung yang menjadi lokasi wisata perlu mendapat perhatian.
"Alat pemantauannya diperlukan. Di Indonesia ada gunung api yang cuma punya satu alat dan sudah dipergunakan sejak tahun 1982. Bagaimana kita minta mau selamat kalau caranya seperti ini," kata Surono.
Sumber daya manusia yang memantau aktivitas gunung api juga perlu ditingkatkan. Sebagai perbandingan, Jepang memiliki 1 profesor dan sejumlah doktor untuk memantau satu gunung api. Sementara, Indonesia hanya punya 1 orang untuk mengamati 5 gunung.
Surono menuturkan, di Indonesia sendiri baru 69 gunung api yang terpantau dari 127 gunung api yang ada. Gunung api Tipe A seluruhnya sudah terpantau, namun belum dengan gunung api Tipe B dan C.
Gunung api Tipe A adalah gunung api yang tercatat pernah mengalami letusan setelah 1600. Tipe B adalah gunung api yang tidak meletus sejak 1600 namun menunjukkan aktivitas vulkanik. Sementara gunung api Tipe C adalah gunung api aktif yang letusannya belum pernah tercatat.
Paparan hasil riset kerjasama yang dilakukan hari ini menandai berakhirnya kerjasama LIPI, Riset, JST dan JICA pada tahap ini. Namun, Surono mengatakan, kerjasama riset dengan Jepang tetap akan berlajut pada riset vulkanologi lainnya.