Indonesia memiliki wilayah yang luas, dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari ribuan pulau. Kebetulan atau tidak, Indonesia terletak di perbatasan lempeng Eurasia dengan lempeng Australia. Hal ini menjadikan daerah-daerah di Indonesia sering diguncang oleh gempa bumi tektonik akibat dari pergeseran kedua lempeng tersebut. Dengan demikian disadari atau tidak, kita tinggal di daerah yang rawan terjadi gempa bumi.
Gempa bumi merupakan fenomena alam yang berpotensi menjadi bencana bila terjadi dengan kekuatan besar. Sementara itu, karakter dari gempa bumi adalah tidak dapat diprediksi tanda-tanda awalnya, tidak dapat diprediksi kapan waktunya dan juga tidak bisa diprediksi dimana terjadinya serta kekuatannya. Hal ini menyebabkan peristiwa gempa bumi bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan dengan kekuatan berapa saja. Perhatikan peta sebaran gempa bumi selama 100 tahun dengan kekuatan lebih dari 5 SR (Skala Richter).
Gambar peta tersebut dapat memberi informasi kepada kita berapa banyak terjadi gempa bumi selama 100 tahun terakhir dengan kekuatan 3 SR ke atas. Jumlah peristiwa gempa bumi di atas sudah sekian banyak namun sampai sekarang tidak bisa diketahui tanda-tanda awal dari gempa bumi. Dengan demikian gempa bumi menjadi potensi bencana yang bisa menelan korban yang banyak apabila kita tidak melakukan upaya untuk mengurangi jumlah korban.
Upaya untuk mengurangi risiko menjadi korban akibat bencana biasa dikenal dengan kegiatan mitigasi bencana. Bila mengacu pada siklus manajemen bencana, kegiatan mitigasi dilakukan sebelum terjadi gempa bumi. Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan masyarakat. Berangkat dari pengalaman peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2006, meningatkan kita bahwa pemerintah “lupa” memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bencana. Selama ini pendapat yang ada di masyarakat adalah bencana itu takdir sehingga seolah-olah tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali hanya menerima saja apapun yang terjadi. Sehingga setelah peristiwa yang memilukan itu membuat pemerintah gencar memberikan pelatihan agar masyarakat sedikit demi sedikit bisa mengubah pandangan bahwa bencana dapat dikelola untuk menekan jumlah korban yang mungkin bisa terjadi.
Keterlibatan kelompok masyarakat dalam kegiatan mitigasi ini menjadi penting karena pemerintah tidak mungkin menjangkau semua wilayah yang ada di Indonesia. Salah satu kelompok yang berpartisipasi dalam kegiatan mitigasi gempa bumi dan bencana lainnya adalah DAPS (Disaster Awareness in Primary School) yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Republik Federal Jerman melalui GTZ. Kegiatan ini memiliki fokus pada upaya pemahaman tentang antisipasi bencana khususnya gempa bumi melalui jalur formal (melalui sekolah). Tujuan kegiatan ini adalah untuk membantu para guru di sekolah dasar dalam upaya menyelamatkan para siswa apabila terjadi gempa bumi pada jam sekolah karena bagaimanapun ketika berada di sekolah anak-anak adalah tanggung jawab para guru. Para siswa sejak dini sudah dikenalkan bahwa ada peristiwa alam yang disebut gempa bumi yang berpotensi menjadi bencana yang bisa menelan korban baik korban materi maupun jiwa. Dengan demikian para siswa mampu melakukan tindakan penyelamatan diri yang tepat ketika terjadi gempa sehingga tidak menjadi korban dari akibat gempa bumi. Kegiatan ini kemudian tidak hanya berfokus pada gempa bumi namun juga tanah longsor, tsunami, banjir dan lainnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah melalui kegiatan intrakurikuler di sekolah. Untuk mitigasi gempa bumi para guru dan siswa dilatih untuk melakukan tindakan yang tepat pada saat terjadi gempa bumi, dan melakukan evakuasi para siswa dari dalam kelas ketika gempa bumi sudah reda.
Di samping itu, kegiatan yang menyasar kelompok masyarakat juga dilakukan dan merupakan kerjasama antara GLG (Good Local Government) dengan pemerintah daerah (Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantul) dan MAIPARK (Maskapai Asuransi Indonesia dengan Resiko Khusus). Kegiatan ini meliputi peningkatan kewaspadaan masyarakat di Kabupaten Bantul, Provinsi D.I. Yogjakarta terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi lagi dan tindakan yang harus dilakukan agar terhindar dari menjadi korban. Ketika semua gerakan dilakukan bersama-sama dan mengerucut pada satu tujuan yang sama diharapkan akan mampu menyadarkan masyarakat betapa pentingnya pemahaman tentang gempa bumi. Dalam kegiatan ini, masyarakat diajak berbagi untuk melihat tanda-tanda awal gempa bumi, mencari daerah aman baik di dalam maupun di luar ruangan, melakukan tindakan yang tepat saat gempa bumi terjadi, dan melakukan evakuasi ke tempat yang aman bila gempa sudah reda. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak panik ketika terjadi gempa bumi dan bisa terhindar dari menjadi korban akibat gempabumi.
Setelah melakukan kegiatan mitigasi bencana gempa bumi, ada satu hal yang dirasa sangat penting yaitu membentuk masyarakat yang siaga bencana mandiri. Masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga, oleh karena itu keluarga menjadi sasaran pokok untuk membentuk masyarakat yang siaga bencana. Perumusan Family Disaster Planing (FDP) menjadi sangat penting karena bila semua keluarga sudah siaga bencana secara langsung akan membentuk juga masyarakat yang siaga bencana. Kegiatan FDP yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Mengkonstruksi rumah yang tahan gempa bumi pada skala tertentu;
- Menginventarisasi kebutuhan keluarga bila terjadi gempa bumi;
- Menyiapkan tas siaga (3 buah) dan penanggungjawabnya; yang berupa tas punggung yang berisi: (1) Tas 1: surat-surat penting (ijazah, transkrip, akta tanah, BPKB, premi asuransi, uang tunai, dll); (2) Tas 2: Pakaian dalam, T shirt, handuk , sarung, dll, (3) Tas 3: Makanan kering dan air minum dalam kemasan
- Memahami tanda-tanda bahaya yang disepakati dalam suatu daerah tertentu;
- Memahami letak tempat evakuasi dan jalan tersingkat untuk menuju ke tempat evakuasi
- Melatih diri dengan ketrampilan dasar P3K
Sedangkan untuk tingkat kelompok masyarakat misalnya level RT/RW harus ada personil yang ditugaskan untuk memimpin apabila terjadi gempa bumi dan bencana yang lain. Tugas ini tidak harus menjadi beban pemimpin formal (Ketua RT/RT/Kelurahan) namun bisa diambil dari anggota masyarakat yang disepakati. Tugas Kelompok Penanggulangan Bencana level ini antara lain:
- Menyiapkan tanda bahaya yang disepakati dan mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat;
- Menyiapkan tempat evakuasi dan melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan (tenda, genset dan lampu-lampu, bahan makanan kering, air minum dalam kemasan, peralatan masak dll);
- Menginventasisasi potensi warga dalam hal keahlian misalnya dokter, perawat,instalasi listrik, tukang masak,;
- Menginventarisir sarana yang diperlukan misalnya kendaraan, alat komuniksi, alat P3K.dll.
Bahan makanan yang disimpan tentu ada masa kadaluwarsanya. Untuk mengantisipasi hal ini maka apabila sudah dekat dengan masa kedaluarsa dapat dimasak dan dimakan bersama sekaligus untuk bersyukur karena tidak terjadi gempa bumi dan bencana lainnya, kemudian bahan makanan tersebut diganti dengan yang baru demikian seterusnya. Secara periodik misalnya 6 bulan sekali diadakan latihan untuk memastikan alat tanda bahaya berfungsi dengan baik dan meningkatkan tindakan reflek dari warga apa yang harus dilakukan bila mendengar bunyi tanda bahaya.
Demikian salah satu cara yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk membangun masyarakat yang siaga bencana secara mandiri. Kemandirian ini penting agar mereka tidak selalu menggantungkan diri kepada pemerintah bila terjadi bencana. Hal ini juga akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat itu sendiri. Selama ini kita sering melihat siaran di televisi yang diliput dari daerah yang sedang mengalami bencana, yang menonjol untuk ditayangkan adalah adanya warga yang hanya bisa mengeluh memohon bantuan dan kelambatan pemerintah dalam membantu para korban. Mengapa hal ini tidak kita ubah menjadi siaran yang berisi kegiatan masyarakat yang mandiri, mampu menekan jumlah korban, dan membiarkan peristiwa gempa bumi menjadi fenomena alam biasa dan tidak berubah menjadi bencana. Sudah saatnya masyarakat tidak lagi menggantungkan nasibnya kepada pemerintah yang sudah pasti akan membantu dan melakukan kegiatan pasca bencana sesuai dengan standar dan prosedur yang ada. Mengutip kalimat seorang nenek di daerah Kabupaten Klaten yang menjadi korban gempa bumi, rumahnya hancur namun dia tidak latah ikut-ikutan rebutan bantuan dari pemerintah. Simbah ini bertahan dalam kemandiriannya seperti gambar di bawah ini:
Simbah berkata: Pertolongan yang baik itu datang dari diri sendiri dan tidak tergantung dari pertolongan orang lain…. (dikutip dari Presentari Pak Roem dari Insist). Oh, alangkah indahnya kalimat itu, semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk memuliakan diri sendiri pada saat terjadi bencana dengan menjadi keluarga dan masyarakat yang siaga bencana mandiri.