Jogja - Pengalaman bencana yang terjadi di Indonesia ternyata menarik perhatian bagi Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) untuk mengembangkan Collaborating Centre for Training and Research in Disaster Risk Reduction pada tahun 2012. Pusat kerja sama WHO untuk pelatihan dan penelitian bagi penanggulangan bencana ini merupakan wadah bagi penghimpunan pengetahuan, model penanggulangan krisis kesehatan, baik di tingkat nasional maupun global.
Deputi Direktur Regional WHO SEARO Poonam Khetrapal Singh mengatakan, pengalaman bencana di Indonesia menjadi pelajaran bagi negara-negara di dunia untuk siap siaga.
“Indonesia menjadi acuan negara di dunia untuk proses penanganan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan waktunya. Untuk itulah lewat pusat pelatihan dan penelitian ini yang berpusat di Indonesia, negara-negara di dunia diharapkan makin waspada akan bencana,” kata Singh dalam forum The 30rd Health Ministers Meeting, Kamis (6/9), di Yogyakarta.
Pengumpulan informasi dan penelitian tentang bencana, katanya, perlu dilakukan terus untuk menyediakan rujukan bagi pengembangan sektor kesehatan. Hal ini penting karena akan berpengaruh pada pelatihan sumber daya kesehatan. Pengelolaan risiko harus menjadi bagian dari sistem kesehatan masyarakat dan kurikulum institusi pendidikan.
Sementara itu, Ahli Penanggulangan Kegawat-daruratan Kesehatan WHO SEARO Roderico Ofrin menambahkan, kesiapsiagaan bencana juga berfokus pada kekuatan komunitas masyarakat. Komunitas harus mengenali kondisi lingkungannya sehingga akan lebih siap dalam menghadapi bencana. Dengan demikian, akan meminialisir jumlah korbannya.
“Tantangan kesiapsiagaan bencana adalah koordinasi. Kami berharap ada koordinasi yang baik dari berbagai pihak untuk menentukan siapa saja yang akan berperan disana, seperti siapa yang akan mengambil keputusan, siapa yang akan menjadi relawan, dan sebagainya,” ujar Ofrin.
Menurut Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia Sri Henni Setiawati, Indonesia siap membantu dunia untuk menjadi acuan dunia terkait pelatihan dan penanggulangan bencana. Untuk itulah, pihaknya bersedia untuk terus mengembangkan informasi intensif, melakukan penelitian, atau kajian dengan menggandeng perguruan tinggi.
Sementara itu, untuk mendukung program siap siaga bencana ini, WHO membantu penyediaan dana dalam waktu 24 jam. Dikenal sebagai The WHO South East Asia Regional Health Emergency Fund (SEARHEF). Dana ini bisa dimanfaatkan oleh negara-negara yang membutuhkan dan sampai saat ini telah dimaanfatkan dalam 13 keadaan gawat darurat sejak tahun 2008.