SLEMAN - Saat terjadi bencana alam, tidak semua kaum disabilitas dan anak berkebutuhan khusus mampu melayani kebutuhannya sendiri. Dibutuhkan peran keluarga atau tetangga yang rela mendampinginya. Hal itu terlihat saat digelar simulasi bencana oleh Arbeiter Samariter Bund (ASB) Indonesia di Dusun Negmplak 2, Umbulmartani, Ngemplak kemarin (5/12).
BSD adalah lembaga yang bergerak dalam bidang pengurangan risiko bencana (PRB).Sedikitnya 10 anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas dilibatkan dalam kegiatan ini. Termasuk juga keluarga dan tetangga.
Purnomo, salah seorang peserta mengungkapkan, kesulitan utama proses penyelamatan diri lantaran minim aksesibilitas dan masalah ketersediaan kendaraan modifikasi. Itu khusus bagi penyandang tuna daksa. Faktor lain hampir sama dengan orang awam pada umumnya, yakni seputar mitos, rendahnya tingkat pendidikan, dan usia lanjut. “Itu menjadi hal penyulit keadaan untuk evakuasi korban,” jelas korban erupsi Merapi 2010 asal Garongan, Wonokerto, Turi.Melalui kegiatan simulasi ini, yang menjadi sasaran utama adalah penyampaian informasi kepada kaum disabilitas dan anak berkebutuhan khusus tentang upaya penyelamatan bencana. ’’Itulah mengapa sangat dibutuhkan peran keluarga dan orang lain,” sahut Putut Sulastomo, koordinator PRG ASB.
Simulasi ditujukan bagi kaum disabilitas dan keluarga sebenarnya telah digelar sejak 2010. Namun dianggap kurang tersosialisasi.Country Director ASB Indonesia Dr Alex Robinson menambahkan, ada dua hal penting dalam simulasi, yakni mengenai akses informasi dan mobilitas kaum disabilitas. Maksudnya, sebisa mungkin orang yang memiliki keterbatasan fisik mengakses evakuasi secara mandiri. Jika tidak memungkinkan, maka butuh pendampingan dari orang lain.’’Kasusnya beragam. Jika kaum disabilitas tidak bisa mandiri, maka dibutuhkan rencana aksi pihak keluarga,” jelas pria asal Inggris Raya ini. Rencana aksi meliputi siapa paling berwenang melindungi kaum disabilitas, ketersediaan peralatan perlindungan, dan teknik penyelamatan diri, serta tak boleh tergesa-gesa.
Tampak pada simulasi betapa sulitnya memapah seorang tuna netra. Pengguna kursi roda pun tak mampu melewati jalan berbatu nan licin. Sementara tuna rungu tak mampu mendengar sirine tanda bahaya, sehingga harus ada yang member kode. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sleman Urip Bahagia mengakui bahwa hal tersebut butuh perhatian khusus dari pemerintah. Tidak hanya sebatas kebijakan, tapi juga penganggaran, penyediaan aksesibilitas, dan pelatihan petugas. “Memang seharusnya ada perlakuan khusus,” katanya