Jakarta - Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan telah diperkirakan terjadi di 90% wilayah Indonesia. Selain topografi alami di suatu wilayah, potensi bencana ekologis Indonesia turut disebabkan maraknya deforestasi, praktik pertambangan, dan monokultur seperti perkebunan sawit di Indonesia.
"Seiiring dengan berkembangnya bisnis dan investasi penjualan lingkungan di Indonesia, kami menemukan semakin bertambah pula potensi bencana ekologis di Indonesia," ujar Manajer Desk Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Mukri Friatna di Jakarta, Selasa (22/1).
Mukri merujuk data riset yang dilakukan walhi pada 2007 yang memperkirakan potensi bencana ekologis di Indonesia sebesar 83%. Namun, angka tersebut melonjak drastis pada penelitian lima tahun kemudian yakni pada 2012, di mana angka potensi bencana tersebut meningkat menjadi 90%.
"Kondisi wilayah dengan potensi bencana ekologis terparah yakni Banten 62,5% dari keseluruhan luas wilayahnya, kemudian DKI Jakarta dengan 51,9%, lalu Jawa Barat dengan 48,0%," papar Mukri.
Kondisi tersebut lanjut Mukri dipengaruhi oleh model pembangunan dan perencanaan yang masih meletakan lingkungan bukan sebagai faktor utama yang harus diperhatikan melainkan hanya sebagai aset bisnis semata. Pertambangan pasir di sepanjang sungai di Banten dan Jawa Barat selain juga penebangan hutan untuk dikonversi menjadi pemukiman, tempat wisata, dan pusat bisnis, menurut Mukri, menjadi penyebab banjir dan tanah longsor yang juga melanda Jakarta saat ini. "Kita kalau di Jakarta bilangnya banjir kiriman, sementara di Banten sendiri menuding akibat sungai meluap," ujar Mukri.
Penyebab yang hampir sama juga terjadi di wilayah lainnya. "Kalau di Sumatra potensi bencana terbesar ada di Aceh dan Sumatra Barat. Selain topografi kedua wilayah ini berbukit-bukit keduanya juga jadi sasaran konversi hutan untuk perkebunan sawit dan konsesi pertambangan," ujar Mukri.
Salah satu bencana ekologis terbesaar dialami Aceh, lanjut Mukri, yakni kebakaran hutan yang akrab dengan sebutan Rawa Tripa. "Kasus Rawa Tripa misalnya, pembakaran lahan konservasi gambut di Aceh Tengah itu jelas-jelas karena sawit," tegas Mukri.
Untuk wilayah Kalimantan, lanjut Mukri, yang paling berpotensi yakni Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. "Kaltim sangat rentan longsor karena topografinya. Sedangkan Kalsel yang landai rentan dilanda banjir dan kebakaran hutan," jelas Mukri. Sedangkan Sulawesi, tambah Mukri, rentan dilanda lonsot dan banjir karena topografi juga trend deforestasinya, terutama di Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara.
"Untuk wilayah Bali kecendrungannya longsor dan banjir karena alih guna lahan, lalu di Nusa Tenggara yang lazim yakni kecenderungan bencana kekeringan," ujar Mukri.
Untuk wilayah Papua, ujar Mukri, relatif aman, karena meskipun curah hujan cukup tinggi dan dataran tempat tersebut tidak terlalu banyak penduduknya.
Dengan berbagai paparan tersebut, Direktur Walhi Eksekutif Nasional Abetnego Tarigan menegaskan, semestinya pemerintah sadar nilai investasi yang selama ini diberikan untuk merambah hutan dan dan mengeksploitasi habis sumber daya alam Indonesia tidak sebanding dengan kerugian yang diderita akibat bencana. "Banjir Jakarta saja yang paling dekat misalnya bisa dijadikan pelajaran bahwasanya alih guna lahan tanpa mengindahkan dampak terhadap lingkungan akan berakibat kerugian yang lebih banyak lagi baik fisik maupun materi," tegas Abetnego. (YA/OL-04)
(sumber: www.metrotvnews.com)