Jakarta: Deputi Pengendalian Kerusakan Lahan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, Arif Yuwono menyatakan bahwa Indonesia tidak memerlukan Undang-Undang (UU) baru tersendiri terkait manajemen perubahan iklim seperti yang dituntut beberapa organisasi lingkungan nonpemerintahan.
Ratifikasi berbagai hasil konvensi internasional terkait perubahan iklim, UU, serta Peraturan Pemerintah yang ada saat ini sudah lebih dari cukup untuk memanajemen dampak perubahan iklim di Indonesia.
"Secara tataran hukum Indonesia sudah meratifikasi Protocol Kyoto yang isinya terkait penurunan emisi dengan reboisasi. Juga Protocol Nagoya terkait biodiversity yang saat ini tengah dalam proses," ujar Arief saat dihubungi Minggu (3/2).
Selain itu, lanjut Arief Indonesia juga telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 di Bab X Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dengan berbagai turunanya. "Belum lagi UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 terkairt Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca," tukas Arief.
Semua pijakan hukum tersebut menurut Arif lebih dari cukup sebgai dasar penegakkan hukum lingkungan di Indonesia. "Tantanganya saat ini sumber daya manusia untuk mengimplementasikan berbagai dasar hukum tersebut," tegas Arief.
Setelah implementasi, lanjut Arif juga bagaimana menyusun langkah-langkah evaluasi juga mensinergikannya dengan setiap elemen pemangku kepentingan yang ada seperti Kementerian Kehutanan, Dewan Nasional Perubahan Iklim, masyarakat adat, juga organisasi lingkungan.
"Selanjutnya bagaimana kita meyakinkan publik agar mampu berjalan bersama dan mengkampanyekan strategi kita," papar Arif.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) beserta berbagai organisasi pro lingkungan lainnya menuntut agar pemerintah memberlakukan UU khusus terkait perubahan iklim karena merasa dasar hukum yang ada saat ini tak bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat, terutama masyarakat adat