Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif mengatakan BNPB akan membangun shelter atau bangunan yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap warga yang lokasi tempat tinggal atau wilayahnya terkena bancana di wilayah-wilayah rawan bencana.
Beberapa wilayah yang akan menjadi tempat dibangunnya shelter antara lain di wilayah pantai Sumatra dan wilayah Sulawesi. Sementara untuk Pulau Jawa akan dibangun di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pantai seperti Cilacap, Banyuwangi dan Jember. Shelter ini merupakan bagian dari rantai peringatan dini yaitu mempersiapkan sistem early warning mulai dari penyiapan peralatan, masuk ke masyarakat hingga ke penanggulangan.
Luas sebuah shelter disesuaikan dengan banyaknya jumlah penduduk. Dengan asumsi 1 m untuk tiga orang maka sekurang-kurangnya luas shelter yang akan dibangun adalah sebesar 500 m persegi. Shelter akan dilengkapi dengan fasilitas standar seperti kamar mandi. Radius setiap shelter dengan shelter lainnya direncanakan berjarak 500 m dan letaknya harus mudah dijangkau warga masyarakat. Keberadaan shelter ini akan melengkapi bangunan yang selama ini sudah dijadikan shelter bagi masyarakat seperti rumah ibadah dan sekolah.
Pembangunan shelter akan menggunakan anggaran sebesar Rp1 triliun. Khusus untuk Padang, pembangunannya akan menelan biaya sebesar Rp400 miliar.
Dengan asumsi satu shelter seharga Rp4 miliar maka diperkirakan akan terdapat 100 buah shelter baru di wilayah ini. Sementara Rp600 miliar akan digunakan untuk membangun shelter di wilayah lainnya.
Syamsul yang memberikan keterangan di sela Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seluruh Indonesia ini pada Selasa (5/2) mengungkapkan selain pembangunan shelter, sistem early warning di setiap daerah akan di evaluasi apakah sudah sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal masyarakat setempat.
“Di beberapa daerah, penggunaan sirene justru membuat warga panik. Kami merasa perlu melakukan evaluasi bagaimana peringatan justru tidak membuat mereka panik,” urai Syamsul. Peringatan dini sangat penting mengingat golden time atau masa emas penyelamatan hanya berlangsung selama 35 sampai 40 menit. Sirene, sebut Syamsul, akan efektif didengar dari jarak 2 m.
Selain itu BNPB melalui BPBD daerah akan memberikan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat selama ini sudah dilakukan. Namun Syamsul mengakui hasilnya masih kurang efektif.
“warga yang sudah diberikan pelatihan ternyata tetap panik saat bencana berlangsung. Warga biasanya masih terpaku pada satu titik untuk dituju saat itu,” jelasnya.
Ia mencontohkan di Padang, sistem early warning yang menggunakan masjid masih meneriakkan satu titik untuk dituju saat bencana terjadi. Akibatnya titik tersebut sangat padat. Padahal prinsipnya jika terjadi gempa, warga hendaknya mencari tempat lapang. Sementara saat terjadi Tsunami, warga harus menuju daerah yang lebih tinggi.
Edukasi untuk memelihara alat dan fasilitas terkait kebencanaan juga akan dilakukan mengingat di beberapa daerah terjadi vandalism atau pengrusakan terhadap alat-alat dan fasilitas itu. “Alat-alat kami ada yang sudah dijadikan jemuran dan berpindah tempat,” jelas Syamsul.
Terkait koordinasi, BNPB juga melakukan penandatangan nota kesepahaman atau MoU dengan institusi pemerintah yaitu Kementerian dan lembaga-lembaga. Institusi itu adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU), kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Geologi.
Sebelumnya BNPB juga sudah melakukan kerja sama dengan 23 institusi lain seperti lembaga perguruan tinggi dan lembaga internasional.
“Tujuan kerja sama ini adalah untuk mempermudah koordinasi dalam hal anggaran dan untuk pertanggung jawaban juga lebih mudah,” ungkapnya.
sumber: metrotvnews.com