JAKARTA — Memiliki gunung api terbanyak di dunia, Indonesia tengah meningkatkan kapasitas pemantauannya, dengan meremajakan sistem pengamatan gunung berapi dan sebaran abu vulkanik. Diharapkan Indonesia menjadi Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC), khususnya di wilayah Asia Tenggara.
Demikian rangkuman penjelasan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono, dan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Sri Woro B Harijono di sela-sela acara Workshop International Expert on Volcanic Ash Modeling, di Pusdiklat BMKG Citeko, Bogor, Kamis (14/3/2013).
Lokakarya keenam Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang diadakan BMKG berlangsung hingga Jumat (15/3/2013). Hadir dalam lokakarya, 40 ahli dan praktisi dari 17 negara di dunia.
Untuk meningkatkan kemampuan pemantauan gunung api aktif di Indonesia yang jumlahnya 127, jelas Surono, PVMBG tengah mengganti seluruh alat pemantau utama gunung api buatan tahun 1982 yang telah usang.
"Saat ini, 70 persen sistem lama telah diganti. Tahun depan seluruhnya akan selesai diremajakan," ujarnya.
Sistem pemantau yang diperbarui itu meliputi seismograf, pengukur suhu, dan deformasi gunung. Beberapa gunung juga dilengkapi dengan pengukur emisi gas beracun.
Selain memantau erupsi, sebaran abu gunung api pun diamati. "Debu gunung berapi dapat membahayakan penerbangan karena dapat mengurangi jarak pandang pilot dan dapat masuk dalam mesin pesawat sehingga mematikan mesin," ujar Sri Woro.
Masalah tersebut, ungkap Surono, pernah dialami pesawat British Airways, yang mendarat darurat di Jakarta akibat terkena abu Gunung Galunggung yang meletus tahun 1982.
Ancaman keselamatan penerbangan akibat sebaran debu vulkanik, belakangan ini meningkat. Dalam 34 tahun hingga 2013, paling tidak ada 11 gunung yang mengeluarkan asap hingga meletus. "Karena itulah pengamatan perlu ditingkatkan," tegasnya.
Ia menyebutkan, banyak bandara domestik dan internasional berdekatan dengan gunung api aktif. Gunung Gede, misalnya, kemungkinan dapat berpengaruh pada Bandara Soekarno Hatta, Halim Perdanakusuma, dan Bandara Husein Sastranegara.
Peningkatan pengamatan dan percepatan penyampaian informasi tentang penyebaran abu vulkanik, kini melibatkan tiga instansi terkait, yaitu PVMBG, BMKG, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Informasi tentang aktivitas vulkanik dan meteorologi yang diterima Ditjen Perhubungan Udara, selanjutnya diteruskan ke ATC (air traffice control), dan operator pesawat terbang.
Sesuai dengan rekomendasi WMO, BMKG harus membuat Significant Meteorological Information (Sigmet). Informasi yang disampaikan kantor pengamat meteor ini harus berbasis pada informasi yang diberikan oleh VAAC, yang saat ini berlokasi di Darwin, Australia.
"Lokakarya ini diharapkan dapat membangun kemampun untuk mendirikan VAAC di Indonesia," tambah Sri Woro.
Keberadaan VAAC di Indonesia sangat diperlukan karena besarnya ancaman bencana tersebut. Untuk menghasilkan pengamatan tersebut, BMKG menerapkan model baru yaitu Hysplit (Hybrid Single Particle Lafrangian Integrated Trajectory).
"Model ini digunakan untuk menghitung dispersi dan deposisi debu," jelas Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
Sebelumnya, model yang digunakan adalah The Air Polution Model (TAPM), yang cakupannya dalam lingkup lokal. Hysplit dapat memantau dispersi lebih luas dalam radius hingga ratusan kilometer.
Pertemuan ini membahas kemajuan ilmiah dan operasional yang dilaksanakan oleh International Airways Volcano Watch, di bidang teknologi satelit penginderaan jauh, pengukuran ketinggian awan, pemodelan dispersi, pendeteksian erupsi melalui petir, infrasonik, dan jarigan seismograf.
sumber: kompas.com