JAKARTA, PKMK -- Perkembangan teleradiologi di Indonesia saat ini bisa dikatakan belum banyak. Sebab sejumlah faktor menghambat perkembangan tersebut. Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Profesor Johan Harlan, mengatakan hal itu di Jakarta hari ini (Rabu, 27 Maret).
Johan mengatakan, salah satu bentuk hambatan itu adalah persoalan biaya yang terlalu mahal. Di Indonesia ataupun luar negeri, saat ini cara konvensional masih lebih murah daripada teleradiologi. Dalam arti, masih lebih murah bila dokter spesialis radiologi datang ke rumah sakit ataupun klinik untuk membaca hasil pencitraan radiologi. Itu karena jumlah pengguna yang belum banyak. "Padahal, teleradiologi ataupun telemedicine yang lain baru bisa murah kalau digunakan dalam jumlah banyak sehingga mencapai skala ekonomis," kata Johan.
Hambatan berikutnya, Johan menambahkan, adalah pada kejelasan regulasi. Saat ini, izin praktek dokter di Indonesia berdasarkan wilayah. "Padahal, kalau seorang dokter spesialis radiologi di Jakarta membaca hasil pencitraan dari satu rumah sakit di Kalimantan, ia sudah berpraktek lintas-wilayah, bukan?" kata dia.
Sebenarnya, kata Johan lagi, teleradiologi bisa berperan penting mengingat jumlah dokter spesialis radiologi di Indonesia masih sedikit dibandingkan kebutuhan.
Saat ini, beberapa rumah sakit di Jakarta telah menjalankan teleradiologi untuk internal. Sebuah rumah sakit di Jakarta Utara menggunakan teleradiologi sehingga dokter spesialis radiologi bisa membaca gambar pencitraan dari jarak jauh. Kemudian, sebuah rumah sakit besar milik Pemerintah Indonesia menggunakan teleradiologi dalam intranet. "Rumah sakit besar itu juga menggunakan teleradiologi dalam pendidikan kepada mahasiswa sebuah fakultas kedokteran di Kalimantan," kata Johan.