Jakarta, PKMK. Manajemen penanganan bencana di Indonesia harus lebih dikoordinasikan. Selama ini, langkah yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial, masih saling terpisah. Sementara, dengan koordinasi yang lebih erat, penggunaan anggaran penanggulangan bencana bisa lebih efisien. Demikian dikatakan oleh Sumaryati Ariyoso, Anggota Komisi VIII DPR RI, dalam rapat dengan BNPB di Jakarta (2/6/2013).
Dalam hal pengadaan relawan penanganan bencana, koordinasi tersebut perlu lebih erat. Kementerian Sosial saat ini mempunyai relawan tersendiri, demikian pula lembaga yang lain. Kemudian, dalam penanganan bencana, posisi Puskesmas se-Indonesia di bawah Kementerian Kesehatan. Maka, semua hal tersebut perlu lebih dikoordinasikan. Lebih lanjut, Sumaryati meminta agar BNPB lebih berinovasi dalam merancang program penanganan bencana. Hal yang akan dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bisa menjadi contoh. Fungsi waduk di Pluit hendak dinormalkan untuk mengurangi bencana banjir di sana. Dengan demikian, di waktu berikutnya, anggaran penanggulangan bencana di kawasan Pluit bisa lebih sedikit
Adapun Raihan Iskandar, Anggota Komisi VIII DPR RI mengatakan, keberhasilan BNPB untuk memenuhi 11 target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, patut diapresiasi. Di sisi lain, pagu indikatif BNPB untuk tahun 2014 turun dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 666 miliar. Sementara, kebutuhan dana penanganan bencana sudah pasti semakin besar. "Apa sebenarnya penyebab penurunan pagu indikatif tersebut? Ini perlu kita cari tahu?" ucap Raihan. Jumlah relawan penanganan bencana di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu lebih ditingkatkan. Tahun 2013, Nanggroe Aceh Darussalam hanya memiliki 55 orang relawan, turun daripada di tahun sebelumnya. Padahal, Nanggroe Aceh Darussalam merupakan propinsi rawan bencana dan sempat mengalami tsunami dahsyat di tahun 2004.