Gunung Sinabung meletus beberapa waktu lalu, Raung dan Gamalama juga masih terus menyemburkan lahar panas. Selain aktivitas gunung api, 21 Juli lalu tebing air terjun Seduso di Nganjuk, Jawa Timur longsor. Tiga orang tewas dan 12 luka-luka. Lalu, ketika di beberapa wilayah Indonesia kekeringan karena kemarau panjang, Aceh justru kebanjiran di pertengahan Juli lalu.
Dengan berbagai bencana yang terus mengintai, lazimlah jika Indonesia disebut sebagai laboratorium bencana. Posisi Indonesia yang berada di antara garis lempeng membuat rentan dari bahaya gempa dan tsunami. Juga jalur gunung api yang melintas wilayah-wilayah di Indonesia memperkuat kondisi rawan bencana.
Bencana juga mengintai Indonesia karena perubahan iklim yang kian tak terduga. Kejadian seperti kebakaran hutan, kekeringan dan banjir kerap terjadi tiap tahun. Sementara di masa mendatang, serangan hawa panas yang mematikan bukan tak mungkin menerpa Indonesia, yang berada di iklim tropis.
Hal tersebut terbukti dari catatan terakhir yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurut catatan BNPB, pada semester pertama tahun 2014 saja, sudah ada 1.559 bencana terjadi di Indonesia. Di antara ribuan bencana tersebut setidaknya ada 490 orang tewas, sementara ribuan lain harus mengungsi dan banyak dari mereka harus kehilangan keluarga, rumah dan harta benda.
Dengan berbagai macam bencana, yang paling rentan terdampak adalah anak-anak dan kaum perempuan. Badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNFPA mengklasifikasi tingkat kerentanan perempuan, anak perempuan dan remaja meningkat dalam situasi bencana. Bukan hanya saat bencana, juga ketika bencana itu sudah berlalu. Mereka yang kehilangan orang tua dan suami berisiko menghadapi pelecehan seksual dan perdagangan manusia.
Menurut catatan UNFPA lebih dari 50 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat adanya konflik dan bencana alam di dunia. Tiga per empat dari total angka tersebut adalah kelompok perempuan, anak perempuan dan remaja.
Banjir
Pada kasus bencana banjir di Jakarta, perempuan dan anak-anak terbukti sebagai korban yang paling rentan. Seperti ketika terjadi banjir besar pada 2002 ratusan anak-anak harus menginap di pinggir-pinggir jalan, tanpa alas tidur dan atap pelindung. Banjir besar yang kemudian makin kerap berkunjung di tahun-tahun berikutnya memperlihatkan kondisi yang tak banyak berubah.
Pada banjir 2006, bahkan pernah ada kejadian perahu milik Mapala UI yang terbalik di daerah Jakarta Barat yang berisi anak-anak dan perempuan. Penyebab terbaliknya lantaran perempuan dan anak-anak yang di dalamnya tak mengerti apa yang harus dilakukan, saat berada di dalam perahu evakuasi.
Oktora Hartanto, kapten kapal yang saat itu membawa perahu karet mengatakan kejadian itu begitu cepat, karena arus yang terlalu kencang dan berada di gang-gang sempit membuat perahu tiba-tiba menjadi oleng.
“Perempuan dan anak-anak yang berada di dalam perahu tak bisa diam mereka terus bergerak karena merasa takut. Ditambah arus kencang membuat laju perahu jadi tak terkendalikan,” urai Oktora saat itu.
Itu baru satu kejadian, di banyak peristiwa bencana anak-anak juga menjadi kelompok yang paling rentan terkena penyakit saat harus mengungsi karena banjir. Kondisi tubuh yang tak sehat, serta pasokan makanan yang tak pasti, membuat kesehatan anak-anak menjadi sangat lemah.
Letusan Gunung Api
Saat letusan gunung api Merapi pada 2004, anak-anak harus menjadi bagian paling menderita, lantaran kehilangan orang tua dan kesehatan yang memburuk karena menghisap abu vulkanik. Sriyono, seorang anak yang pernah mengungsi karena mengatakan ia harus menjauh dari rumahnya di kaki gunung Merbabu, karena debu vulkanik Merapi terlalu tebal.
“Sayangnya apa yang diajarkan saat di sekolah tentang evakuasi sangat jauh berbeda dengan kenyataan sebenarnya,” urai Sriyono, yang ditemui akhir pekan pertama Juli 2015.
Ia juga merasa tak sreg dengan apa yang diajarkan guru-guru mengenai letusan gunung api. Menurutnya semua yang diajarkan seperti tak sesuai dengan kenyataan saat ini. Seperti tanda-tanda gunung akan meletus, para guru mengatakan akan banyak satwa yang akan turun gunung. Tapi kenyataannya saat ini satwa di gunung-gunung sudah hampir tak ada, sehingga pertanda melalui satwa tersebut sebenarnya sudah tak sesuai dengan perubahan yang ada.
Menurutnya pula apa yang pernah dilakukan untuk menyelamatkan diri, lebih banyak berupa insting saja. Sudah jelas yang terbaik yang bisa dilakukan saat gunung akan meletus adalah bergerak sejauh-jauhnya menghindari lokasi terdampak letusan.
Indonesia harus tepat dalam mengambil tindakan ketika bencana melanda. Perlindungan terhadap kaum perempuan, anak dan remaja harus menjadi perhatian utama. Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Andi ZA Dulung, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi kelompok penduduk rentan. Ketika krisis terjadi, bantuan kemanusiaan harus cepat dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi korban. Di samping itu, perempuan, anak dan remaja memerlukan bantuan khusus. Bantuan tersebut harus dilakukan sejak awal terjadinya bencana sampai masa pemulihan.