Jakarta - Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Hal ini terbukti dari berbagai hasil penilaian tentang resiko bencana, seperti Maplecroft (2010) menempatkan Indonesia sebagai negara yang berisiko ekstrim peringkat 2 setelah Bangladesh, disamping juga masih ada indeks resiko yang dibuat oleh UN University dan UNDP. Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat kondisi geografi dan geologi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng raksasa Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik, serta berada pada "Ring of Fire".
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, potensi penyebab bencana di Indonesia dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/ lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, waba kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa.
Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
Bencana hampir selalu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan hanya korban jiwa tetapi juga kerusakan dan kerugian ekonomi yang akhirnya memerosotkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Situs resmi Badan Penanggulangan Bencana Nasional menyebutkan bahwa telah terjadi 1.093 bencana alam baik bencana hidrometeorologi maupun non-hidrometeorologi di sepanjang tahun 2002 hingga awal tahun 2014. Dari jumlah bencana tersebut, korban meninggal dunia mencapai 190.375 jiwa. Jumlah yang terhitung besar itu belum termasuk dari warga yang hilang.
Spriritualitas
Membangun spiritualitas tanggap bencana merupakan sebuah upaya untuk mengurangi dampak/kerugian akibat bencana di tanah air. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), spiritual adalah kehidupan manusia yang dijalani sesuai dengan hakikat spiritualnya dan karunia rahmat. Kehidupan manusia tidaklah terdiri atas kegiatan alami seperti pengadaan keturunan dan penyediaan makan saja, melainkan terdiri atas kegiatan spiritual, seperti pengetahuan, cinta, keputusan bebas, kontemplasi, atau perenungan, karya belas kasih, dan pengampunan.
Manusia adalah penguasa kehidupan alaminya sekaligus menguasai tindakan-tindakannya, bahkan tujuan hidupnya dengan pikiran dan pilihan bebasnya. Lebih dari itu, ia mampu merenung kegiatannya kembali. Kehidupan manusia adalah kehidupan dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu manusia adalah pribadi yang dikarunia tanggung jawab dan kemampuan kreatif.
Manusia hidup tidak hanya pekerjaan dan teknologi melainkan juga dari budaya, seni, keahlian, ilmu pengetahuan, cara berpikir,ekspresi diri, dan simbolisme yang mendorong dan menyalurkan energi jiwanya yang selalu hidup. Walaupun begitu, kehidupan spiritual manusia manusia adalah suatu hal yang lebih tinggi dan lebih penuh misteri daripada cinta akan suatu studi, filsafat, dan seni. Spritualitas adalah lebih dari peradaban. Melalui kehidupan spiritual manusia memasuki dunia pengetahuan dan cinta yang melebihi kodrat. Berpikir dan bertindak tidak atas dasar budaya dan nalar, melainkan atas dasar iman kepada Tuhan.
Ada tiga tahapan dalam membangun peradaban tanggap bencana , pertama, spritualitas pencegahan bencana. Dalam Al Qur ‘an, Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 11-12. Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Dalam ayat Tuhan di atas terdapat larangan secara tegas bagi penghuni bumi untuk membuat kerusakan atau bencana di bumi. Ironisnya, cukup banyak bencana alam yang terjadi karena ulah manusia. Seperti bencana asap yang pada awal September 2015 menutupi 80 persen wilayah Sumatera. Kuat dugaan bencana alam ini 99 persen merupakan unsur kesengajaan. Menurut data KLHK, 99 persen kebakaran lahan kali ini disebabkab oleh perbuatan manusia. Yakni membakar lahan. Baik pembukaan lahan pemukiman maupun pertanian atau perkebunan.
Bencana kabut asap ini dalam dua hari telah mengakibatkan 12.633 orang terserang ISPA, 22,6 juta warga terdampak. Komisi VIII DPR mendesak aparat kepolisian segera menangkap oknum-oknum yang diduga sebagai dalang pembakaran hutan. Saleh Daulay, Ketua Komisi VIII meyakini bahwa oknum-oknum tersebut akan kembali ke lahan yang dibakar. Sebab modus pembakaran adalah komersial. Kalau tujuannya untuk memperluas perkebunan mereka pasti kembali. Aparat bisa dengan mudah menyelidiki keterlibatan mereka.
Adanya oknum yang suka menebar bencana merupakan suatu indikator bahwa negeri ini sangat kering dari nuansa spiritual. Spiritualitas baru dipahami sebatas pengakuan untuk mengisi kolom agama di KTP. Mengaku beragama tetapi sangat kering dari nuansa spiritualitas inilah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.
Masjid, gereja, pura, Vihara, dan klenteng merupakan lahan subur untuk menanamkan spiritualitas pencegahan bencana ini. Tanggal 1 Maret 2014, Umat Hindu di Bali pernah melaksanakan ritual "Permintaan Maaf" sebagaimana diberitakan oleh balebengong.net. Upacara Pemlepeh Jagat ini akan dihelat di Pura Agung Kentel Gumi, Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung.
Upacara ini bertepatan dengan Tilem Sasih Kaulu, puncak bulan gelap pada bulan kedelapan dalam Kalender Bali. Saat itu ada banyak bencana dan kejadian yang aneh-aneh. Menurut I Ketut Sumarta, Sekjen Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali perlu perenungan dan minta maaf, mohon ampun ngaturang guru piduka atau Pemlepeh Jagat. Karena itu, MUDP mengajak umat Hindu untuk memohon keselamatan dan keharmonisan alam beserta isinya dalam bentuk kegiatan upacara agama disertai doa dan persembahyangan bersama.
Namun, upacara, doa, dan sembahyang saja tak cukup. Perlu pula ada aksi nyata. Selain secara ritual, pelestrian lingkungan juga harus dilakukan secara nyata. Misalnya investasi harus sesuai dengan tata ruang desa. Investasi masuk harus koordinasi dengan jajaran adat. Aturannya ada tapi kenyataannya tidak terjadi, setelah ada masalah baru minta bantuan pengurus adat.
Kedua, spiritualitas tanggap bencana. Berita kitab suci menyebutkan bahwa Nabi Nuh merupakan aktor tanggap bencana yang sangat ulung. Bersumber dari wahyu Allah, Nabi Nuh mengetahui bahwa akan datang bencana banjir yang sangat dahsyat di negeri itu. Bencana akan datang ketika para penghuni negeri banyak melanggar larangan Tuhan dengan membuat bencana sosial dan lingkungan.
Ironisnya, rezim yang berkuasa di negeri Nuh saat itu tak mempercayai berita bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Mereka bahkan dengan pongah dan takabur melecehkan aksi tanggap bencana yang dilakukan Nuh. Aksi tanggap bencana Nuh dan pengikutnya yang sedang membuat kapal bagi mereka adalah aksi komedi yang tidak lucu.
Bencana pun akhirnya tiba. Nuh beserta kaumnya naik ke kapal yang sudah dilengkapi dengan logistik untuk keperluan berhari-hari. Bahkan, kapal ini juga mengangkut sepasang hewan yang ada pada masa itu sebagai bentuk langkah untuk melestarikan kehidupan satwa.
Di masa kini, Jepang merupakan contoh sebuah negara yang sangat tanggap bencana. Muhammad Joe Sekigawa (2009) menuliskan di blog pribadinya bahwa masyarakat Jepang rajin melakukan pelatihan bencana. Di dekat pintu, mereka mempersiapkan ransel yang berisi air botolan, makanan kering atau makanan kalengan, obat-obatan P3K, uang tunai, pakaian kering, radio, senter, dan beberapa baterai pengganti. Masyarakat bisa menambahkan suplemen, kacamata, obat-obatan khusus, atau makanan bayi dalam tas khusus mereka. Alat-alat penyelamatan gempa bahkan dijual di supermarket.
Pelatihan menghadapi bencana dilakukan secara rutin, bahkan dijadikan
mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah dasar. Masyarakat Jepang tahu mereka harus melindungi kepala dengan meja yang kuat, agar tidak kejatuhan benda-benda keras. Penduduk Jepang dianjurkan menyimpan sepatu di bawah tempat tidur dan sepeda di halaman. Sepatu untuk mengamankan kaki dari pecahan kaca. Sedangkan sepeda adalah alat transportasi yang paling tepat saat gempa.
Apa rahasia Jepang sehingga bisa menjadi Negara yang tanggap bencana ? Spiritualitas adalah jawabannya. Jepang terkenal memiliki sikap spiritualitas yang terkenal dengan Budhisme Zen. Buddha Zen masuk di Jepang pada tahun 1191. Waktu itu Ei-Sai membawanya dari Cina. Ajaran inti Zen ini bertujuan pada kesempurnaan kepribadian.
Indonesia punya modal yang cukup besar untuk mengikuti Jepang dalam membangun spiritualitas tanggap bencana. Kehidupan spiritual di tanah air jauh lebih beragam daripada negeri matahari terbit. Ini bisa dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah maupun luar sekolah. Tinggal menunggu niat baik pemerintah untuk mewujudkan tujuan mulia ini.
Ketiga, spiritualitas pasca (sesudah) bencana. Umar Bin Khattab merupakan manusia dengan dosis spiritualitas yang tinggi. Beliau mengaplikasikan dalam segala bidang kehidupan termasuk dalam menghadapi bencana. Saat itu paceklik melanda jazirah Arab. Ini ditandai dengan peristiwa gagal panen di lembah Sungai Euprat,Tigris dan Nil. Akibatnya, berbagai kabilah Arab dari berbagai wilayah yang luas itu membanjiri ibu kota Madinah untuk minta bantuan pemerintah pusat. .
Muhammad Nurdin (2011) menuliskan bahwa Khalifah Umar bin Khattab segera membentuk Tim Sosial yang bertugas untuk memberikan bantuan pangan kepada korban. Tim ini terdiri dari Yazid bin Ukhtinnamur, Miswar bin Makhramah, Abdurrahman bin Abdul Qari dan Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Setiap sore mereka berkumpul di kediaman Khalifah Umar bin Khattab untuk melaporkan berbagai aktifitas mereka sehari-hari. Selain itu, juga merencanakan program kerja untuk hari selanjutnya. .
Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab berkata, "Hitunglah orang -orang yang makan malam di tempat ini". Setelah dihitung dengan sangat cermat ternyata jumlahnya tujuh ribu orang. Selanjutnya Khalifah Umar bin Khattab berkata lagi "Hitunglah jumlah keluarga yang tidak mampu datang kemari !". Tim Sosial segera menghitungnya dengan cermat, ternyata jumlahnya ada empat puluh ribu orang.
Ketika musim paceklik usai, maka segera Khalifah Umar Bin Khattab mengintruksikan Tim Sosial untuk mengantarkan keberangkatan para pengungsi ke tempat tinggal masing-masing. Dan setiap rombongan pengungsi diberi perbekalan bahan makanan secukupnya.
Spiritualitas dalam menangani bencana seperti Khalifah Umar ini harus menjadi kaca benggala bagi pemerintah. Saat ini pemerintah berada dalam jalur yang benar untuk melakukan kloning model penanganan bencana. Hal ini ditandai dengan berdirinya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 468 provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini hanya 52 kabupaten dan 22 kota yang belum memiliki BPBD.
BPBD bisa diperankan untuk menanamkan spiritualitas tanggap bencana di tanah air. Sehingga untuk bekerja tak perlu menunggu bencana datang. Sekolah menjadi lahan paling subur untuk menyebarluaskan kesadaran tanggap bencana sebagaimana diajarkan di sekolahnya Upin dan Ipin melalui latihan tanggap bencana.(*)
sumber: KabarIndonesia