SURYA.co.id - Sejak akhir 2016, banyak terjadi bencana tanah longsor di Jawa Timur. Ini karena intensitas hujan yang sangat tinggi.
Longsor itu akibat gerak benda di bidang miring. Jadi longsor sangat bergantung berat di bidang itu, gaya geser tanah, dan sudut kemiringan lereng.
Selama ini, tanah di lereng bisa menempel karena ada hutan. Akar pohon dihutan mengikat tanah itu.
Penebangan hutan yang cukup masif mulai 1998, atau bahkan lama sebelumnya, membuat ketidakstabilan tanah di lereng.
Ditambah lagi dengan dipakainya lahan bawah lereng untuk jalan dan rumah-rumah. Itu juga yang membuat tambahan sudut kemiringan lereng.
Sementara di sisi lain, daya ikat lereng sudah hilang karena hilangnya pohon.
Dengan kondisi demikian, tanah di lereng itu statusnya kritis. Tinggal menunggu pemicu. Sejak 2016, hujan terjadi itu sepanjang tahun. Itu membuat penambahan berat air di lereng.
Tidak adanya pohon membuat kohesi atau daya ikat tanah menjadi nol alias hilang. Akbiatnya, lereng menjadi berat, semakin berat, dan ambrol.
Longsor sebenarnya proses alam biasa. Tapi, manusia mempercepat proses itu.
Contoh, bisa lihat jalur lingkar selatan yang belum ada dua tahun tapi sudah mulai berlongsoran lereng-lerengnya.
Intinya, tanah di gunung merupakan fungsi dari pohon. Kalau pohon dicabut, tanah akan longsor.
Supaya tidak habis, solusinya adalah dihutankan kembali. Agar tidak memakan waktu lama, bisa dengan rekayasa vegetasi. Jadi pohon yang ditanam 2/3 masuk tanah, sisanya di atas tanah. Diharapkan 2/3 batang pohon akan memunculkan akar yang mengikat.
Jadi, kalau misalkan pohon itu tingginya tiga meter, dua meternya harus masuk ke tanah. Jenis pohonya bisa sembarang saja. Kalau dengan rekayasa itu setahun akar sudah bisa keluar.
Selain itu, warga diharapkan membetuk satgas siaga bencana. Mereka bisa berkumpul, bercerita, dan berdiskusi soal longsor. Saat memasuki musim penghujan, mereka harus melihat kondisi ke atas bukit.
Kalau mucul retakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menutup retakan dengan tanah dan memadatkannya supaya tidak termasuki air. Kalau termasuki air, tanah di lereng jadi semakin berat.
Setelah itu, air juga harus dialirkan ke bawah lereng dengan cepat, misalnya dengan memberi pipa tambahan atau sebagainya.
Sebenarnya, kawasan rawan tanah longsor sudah dipetakan oleh Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Mereka selalu merilis kawasan yang rawan, sangat rawan dan lain-lain.
Karena peta dan rilis sudah ada, pihak pemerintah derah mestinya melihat kondisi ke lapangan.
Jika ada tanda-tanda mau longsor, misalnya, retakan tanah, pohon miring, atau rumah retak, mereka harus segera mengambil langkah. (Samsul Hadi/Aflahul Abidin)