REPUBLIKA.CO.ID, SORONG -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berencana mendirikan politeknik yang menghasilkan sarjana terapan dalam bidang penanggulangan bencana. Pendirian politeknik ini untuk menjawab masalah kekurangan sumber daya manusia yang ahli dalam kebencanaan.
Kepala BNPB Willem Rampangilei mengakui kualitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang merupakan penanggungjawab pertama dalam penanggulangan bencana masih jauh di bawah standar. Hal ini karena BPBD kerap tidak memiliki SDM yang berbekal pendidikan formal. Namun, untuk merekrut SDM yang ahli tersebut terkendala ketiadaan sekolah.
"Saya mau merekrut orang yang ahli dalam penanggulangan bencana, nggak dapat, karena tidak ada sekolahnya. Jadi kami berinisiatif untuk mendirikan politeknik untuk sarjana terapan dalam bidang penanggulangan bencana untuk jawab itu," ujar Willem seusai membuka peringatan bulan pengurangan risiko bencana di Sorong, Papua Barat, Senin (23/10).
Menurutnya, BNPB telah bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi untuk pendirian politeknik tersebut. Akhir tahun ini, pendirian politeknik ditargetkan selesai. Sehingga, penerimaan mahasiswa baru bisa dilakukan mulai tahun depan.
Dengan kehadiran politeknik tersebut, dia menargetkan setidaknya ada satu ahli bidang penanggulangan bencana di setiap BPBD. Sehingga, setidaknya butuh 514 ahli bidang penanggulangan bencana di BPBD seluruh Indonesia ditambah 34 ahli di tingkat provinsi. Dengan begitu, dia menarget bisa meningkatkan standar BPBD dalam penanggulangan bencana.
Kualitas BPBD tersebut dinilai mendesak ditingkatkan untuk menurunkan indeks risiko bencana. Pada 2016, BNPB mencatat indeks risiko bencana turun sebesar 15,98 persen. Indeks ini ditarget bisa turun hingga 30 persen pada 2019.
Selain itu, Indonesia memiliki banyak wilayah rawan bencana. Saat ini, 150 juta orang Indonesia tinggal di daerah rawan bencana, di mana 60 juta orang tinggal di daerah rawan banjir, 40 juta orang di wilayah rawan longsor, dan 1,1 juta orang tinggal di daerah rawan erupsi gunung berapi.