JAKARTA - Letak Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera dinilai rentan terhadap ancaman terjadinya bahaya alam.
Namun, kenyataan itu dinilai tidak dibarengi dengan kesadaran dan kepekaan berbagai pihak, termasuk pemerintah terhadap risiko bencana.
"Indonesia mengalami risiko ancaman bahaya alam yang cukup besar," kata Anggota Komisi V DPR, Yoseph Umarhadi kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/1/2018).
Menurut dia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (MKG) belum dipahami secara baik.
Padahal, sambung Yoseph, UU tersebut sangat penting sebagai acuan pemerintah mengambil kebijakan. Dia menyarankan pejabat pemerintah membaca kembali dan memahami UU tentang MKG.
"UU ini.semakin relevan jika melihat trend bencana alam yang meningkat. UU ini menjadi acuan," ujarnya.
Dia mengatakan, pejabat pemerintah penting membaca dan menguasai UU Nomor 31 Tentang MKG. "Ini sudah lama, yang dulu inisiatif DPR," katanya.
Menurut Yoseph, risiko bencana diakibatkan alam atau faktor hydrometerologi seperti banjir, puting beliung, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran, dan faktor geologi misalnya gempa bumi, vulkanologi dan tanah longsor.
Bencana dikatakannya juga bisa diakibatkan faktor manusia, yakni pencemaran, ledakan, kebakaran hutan.
Untuk mengurangi risiko bencana atau mitigasi, Yoseph mengatakan pentingnya memperkuat kapasitas kemampuan penguasaan terhadap sumber daya, teknologi yang memungkinkan masyarakat mempersiapkan diri, baik mencegah maupun menanggulangi.
"Masyarakat harus kuat, pandai dan terlatih menghadapi mitigasi," kata Yoseph.
Kalau tidak, kata dia, masyarakat harus memiliki kemampuan untuk menghadapi resiko bencana. Dalam kaitan ini, lanjut dia, lembaga pemerintah dan nonpemerintah wajib membantu sarana, prasarana, teknologi, pemahaman, informasi, strategi sesuai fungsinya masing-masing.
"Tidak cukup hanya BMKG," katanya seraya mengatakan butuh banyak anggaran untuk upaya mengurangi risiko bencana.