Harianjogja.com, SLEMAN- Seluruh wilayah Indonesia rawan terjadi bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menargetkan penurunan indeks risiko bencana hingga 30% pada tahun depan. Salah satu hal yang perlu dilakukan agar target tersebut tercapai adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana.
Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB Raditya Jati mengatakan, jumlah bencana alam di Indonesia selalu meningkat. 80% bencana alam di negeri ini disebabkan oleh hidrometeorologi. Sementara sisanya bersifat geologi.
Meski jumlah bencana yang bersifat geologi lebih sedikit, tapi Jati menyebut dampaknya lebih besar dari bencana yang disebabkan hidrometrologi. Salah satu contoh paling baru adalah gempa bumi yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.
"Kalau kita lihat persentase kejadian geologi, gempa bumi persentasenya cukup besar, kejadian bencana geologi lebih tinggi dan lebih merusak," ujar Jati pada Seminar Nasional Kebumian Ke-11 bertema Perspektif Ilmu Kebumian dalam Kajian Bencana Geologi di Indonesia, Rabu (5/9/2018). Seminar Nasional Kebumian diselenggarakan Departemen Teknik Geologi UGM.
BNPB, kata Jati, saat ini sedang berupaya melakukan labelling bangunan yang sifatnya tidak kuat terhadap gempa. Hal ini penting dilakukan karena membunuh manusia bukanlah gempanya itu sendiri, melainkan bangunan-bangunan yang roboh ketika bumi bergoncang.
Langkah prioritas yang dilakukan dalam menghadapi bencana, kata Jati, adalah memberikan pemahaman mengenai risiko bencana. "Yang paling penting adalah meningkatkan kapasitas masyarakat, pemerintah. Risiko bencana bisa turun kalau kita meningkatkan kapasitas."
"Yang harus dilakukan pertama adalah pengurangan risiko bencana harus masuk ke dalam lini-lini kementerian dan lembaga yang lain, tidak bisa BNPB berdiri sendiri, namun perlu juga dukungan lembaga lain," lanjut Jati.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG Sri Hidayati mengatakan, ilmu kebumian berperan penting dalam mitigasi bencana geologi melalui analisis yang dilakukan dari perspektif sumber dan dampak. Hal ini kemudiam bisa digunakan untuk menyusun peta mitigasi bencana.
Ia mengambil contoh kasus letusan Gunung Agung, Bali. Analisis dilakukan melalui penginderaan jauh untuk melihat sebaran abu dan material vulkanis. Output yang dihasilkan dari analisis tersebut berupa peta mitigasi bencana untuk meminimalisir dampak letusan gunung tersebut.
"Dalam mitigasi gerakan tanah, metode penginderaan jauh diaplikasikan untuk memetakan kerentanan tanah sebelum dilakukan penelitian lapangan. Ancaman bencana geologi harus diterima dengan lapang dada sebagai konsekuensi dari kondisi geologi wilayah Indonesia," jelasnya.