Sepanjang tahun 2018, lebih dari lima bencana alam besar menimpa Indonesia. Sejumlah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, hingga fenomena likuifaksi, menelan banyak korban.
Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik atau Pacific Ring of Fire memang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Berada di gugusan gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempengan bumi membuat Indonesia rawan diterpa amukan alam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga 14 Desember 2018 -sepekan sebelum bencana tsunami di Selat Sunda menerjang- telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia.
Secara umum, tren bencana meningkat selama satu dekade terakhir, dan didominasi oleh bencana banjir, longsor, dan puting beliung.
Meski demikian, bencana paling mematikan disebabkan gempa bumi dan tsunami.
Berdasarkan data BNPB, kejadian gempa bumi sendiri menyebabkan 572 nyawa melayang tahun ini. Sementara untuk kejadian gempa bumi yang diikuti tsunami, hingga 14 Desember lalu -sebelum tsunami Selat Sunda- memakan korban jiwa sebanyak 3.397.
Dibandingkan dengan tahun-tahun lain selama satu dekade terakhir, jumlah korban jiwa akibat bencana alam di tahun 2018 adalah yang terbanyak.
BBC News Indonesia merangkum beberapa bencana alam paling mematikan di Indonesia di tahun 2018.
Longsor di Brebes, Jawa Tengah
Para petani di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa tengah, dikejutkan longsoran tanah dari bukit di tepi sawah tempat mereka bekerja 22 Februari lalu.
Dalam video yang saat itu beredar, gelombang tanah tampak bergulung ambruk menuruni lereng bukit dan menerjang sawah di bawahnya.
Sebagian orang tak sempat menyelamatkan diri dari terjangan longsor. Akhirnya, sebelas orang dinyatakan tewas tertimbun logsor dalam peristiwa itu, sementara tujuh lainnya hilang, dan 14 orang luka-luka.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), longsor yang terjadi di area hutan produksi milik perhutani BKPH Salem tersebut, disebabkan oleh beban air tanah yang bertambah akibat hujan deras yang melanda kawasan tersebut.
Gempa bumi di Lombok, NTB
Memasuki paruh kedua tahun 2018, sejumlah gempa bumi dahsyat menyergap Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pada tanggal 29 Juli 2018, gempa berkekuatan 6,4 Magnitudo melanda pulau seribu masjid. Getarannya terasa di seantero Pulau Lombok, Bali, hingga Pulau Sumbawa.
Akibatnya, belasan orang tewas, termasuk seorang wisatawan asal Malaysia. Selain itu, 400-an orang terluka, dan ribuan bangunan hancur berantakan. Ratusan pendaki dari berbagai negara di Taman Nasional Gunung Rinjani juga sempat terjebak sebelum akhirnya dievakuasi.
Nahas, belum selesai pemerintah menanggulangi dampak gempa tersebut, gempa lebih besar mengguncang Lombok sepekan kemudian, tepatnya pada 5 Agustus 2018.
Berpusat di Kabupaten Lombok Utara, gempa berkekuatan 7 Magnitudo itu terasa hingga ke Pulau Jawa dan Madura. Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika (BMKG) pun sempat mengeluarkan peringatan potensi tsunami, meski akhirnya tidak terjadi.
Ribuan bangunan roboh, termasuk yang sebelumnya telah rapuh akibat gempa awal. Lebih banyak korban jatuh.
BNPB mencatat 564 orang meninggal dunia akibat gempa tersebut. Hampir 1600 lainnya terluka, dan lebih dari 445 ribu orang harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggal.
Meski sebagian pihak menilai skala kerusakan di Lombok tergolong parah, pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional. Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan Instruksi Presiden berisi perintah percepatan penanganan bencana untuk segera memulihkan kondisi di sana.
"Kalau kita nyatakan bencana nasional, berarti bencana itu adalah seluruh Republik Indonesia. Dan itu menjadi travel warning semua negara-negara bukan hanya ke Lombok, bisa ke Bali. Dampaknya luar biasa, yang tidak diketahui publik," ungkap Sekretaris Kabinet Pramono Anung kala itu.
Gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah
Belum hilang dari ingatan suasana mencekam dan kepanikan warga saat gempa Lombok terjadi, bencana kembali datang menghantam bumi Sulawesi.
Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo mengguncang Donggala dan Palu Jumat sore, 28 September 2018 lalu. Tak berapa lama, BMKG mengeluarkan peringatan tsunami setinggi 0,5 hingga tiga meter.
Antara tiga hingga enam menit kemudian, gelombang setinggi enam meter menerjang habis sebagian kota Palu yang terletak di ujung Teluk Palu. Saat itu semua terjadi, masyarakat tengah menyambut malam peringatan ulang tahun Kota Palu dengan menggelar festival di pantai.
Tapi bencana tak berhenti sampai di situ. Di sisi lain kota Palu, di Kelurahan Petobo, tanah berubah seperti lumpur hisap, menelan segala sesuatu yang ada di atasnya: bangunan, kendaraan, pepohonan, dan manusia.
Fenomena alam yang disebut likuifaksi itu muncul pasca-gempa dan menenggelamkan kurang lebih 1.700 rumah di kawasan perumahan padat penduduk. Ratusan bahkan ribuan orang diperkirakan ikut ditelan bumi di lokasi tersebut.
BNPB mencatat 2.101 orang tewas, 1.373 orang hilang, dan 206.219 orang harus mengungsi akibat bencana alam itu.
Melihat skala kerusakan yang terjadi, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membuka keran bantuan dari dunia internasional. Sejumlah negara menawarkan bantuan dalam bentuk uang tunai maupun barang.
Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik dari dalam maupun luar negeri, ikut serta dalam proses penyaluran bantuan.
Banjir bandang di Mandailing Natal, Sumatera Utara
Jumat sore 12 Oktober 2018 lalu menjadi malapetaka bagi warga di bantaran Sungai Aek Saladi di sembilan kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Air bah disertai gelondongan kayu dan bebatuan menerjang rumah warga yang berada di sisi sungai.
Banyaknya sampah berukuran besar yang turut hanyut dan menghalangi jalan sempat menghambat proses evakuasi korban.
BNPB mencatat 17 orang korban meninggal dunia, di mana 12 di antaranya adalah siswa SD yang tengah mengikuti kegiatan belajar bersama guru mereka. Sementara itu, dua orang dinyatakan hilang, dan 534 lainnya mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal mereka.
Banjir bandang sendiri disebabkan oleh sungai yang tak mampu menampung debit air yang besar, seperti dikutip dari Kompas.com.
Tsunami Selat Sunda
Di penghujung tahun, tanpa peringatan, gelombang tsunami meluluhlantakkan pesisir barat Pulau Jawa dan ujung selatan Pulau Sumatera. Gelombang itu menghantam Sabtu lalu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.30 WIB.
Hingga Kamis (27/12), 430 orang dinyatakan meninggal dunia, 159 lainnya hilang, hampir 1.500 orang terluka, sementara hampir 22 ribu warga mengungsi.
Di antara para korban tewas adalah tiga personel grup band Seventeen yang saat kejadian tengah tampil di atas panggung dalam acara family gathering PLN di Tanjung Lesung Beach Resort, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Hal yang menjadi polemik dari bencana tersebut adalah tidak adanya peringatan dini yang diberikan kepada warga akan bahaya tsunami. Hal itu menyebabkan tak ada korban yang sempat menyelamatkan diri menjelang tsunami datang.
BMKG sendiri bahkan sempat menyatakan gelombang yang menerjang sebagai ombak pasang akibat fenomena bulan purnama, sebelum akhirnya mengoreksi pernyataan itu dan mengonfirmasi terjadinya tsunami.
Menurut BMKG yang bekerjasama dengan Badan Geologi, tsunami terjadi akibat adanya longsor di Gunung Anak Krakatau setelah gunung api tersebut erupsi Sabtu (22/12) malam.
Ketiadaan peringataan dini sendiri diakui BMKG diakibatkan oleh tidak adanya early warning system yang dipicu aktivitas vulkanik. Mereka mengaku bahwa sistem peringatan dini yang kini dimiliki baru sebatas yang dipicu oleh aktivitas seismik.
Sementara itu, jaringan buoy tsunami di perairan Indonesia sendiri diakui Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, sudah tak beroperasi sejak 2012.
"Vandalisme, terbatasnya anggaran, kerusakan teknis menyebabkan tidak ada tsunami buoy saat ini. Perlu dibangun kembali untuk memperkuat Indonesia Tsunami Early Warning System," ungkap Sutopo dalam akun Twitternya.