Menurut dia, saat ini diperkirakan terdapat 250.000 sekolah yang berada di wilayah rawan bencana. Pemberian edukasi mitigasi bencana, kata dia, dengan memperhatikan karakteristik daerah, sehingga tidak semua materi kebencanaan dikenalkan.
"[Kondisi] bencana ini tidak sama, ada yang daerah rawan tsunami, banjir longsor. Penangannya beda-beda," ujar dia ditemui di Kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).
BNPB, kata dia, juga akan menambahkan materi muatan lokal pendidikan mitigasi bencana pada ekstrakulikuler untuk mendorong siswa agar mengikuti.
Lilik juga menuturkan, BNPN dan Kemendikbud, mengacu 3 konsep edukasi mitigasi bencana. Dimulai dari pemetaan sekolah rawan bencana.
"Itu kemudian kami lihat fasilitasnya sudah cukup belum? Dia [pengurus] harus memperkuat struktur sekolahnya, termasuk kami lihat betul pintunya berapa, menghadap ke mana, sehingga anak-anak kita kalau ada bencana, dia bisa cepat keluar ke tempat yang aman," ucap Lilik.
Lilik juga mengatakan, perlu pengetahuan manajemen penanggulangan bencana di sekolah tersebut agar guru dan murid mengetahui lokasi yang aman di sekolah.
"Mereka harus betul paham baik guru murid pekerja, di mana tempat yang aman di sekolah mereka. Titik kumpul ada di situ, jalur-jalur evakuasi harus dibuat di situ," kata dia.
Program ini, kata dia, bakal menggandeng Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Pendidikan setempat, karena pendidikan mitigasi bencana telah jadi muatan lokal.
"Ini yang harus ditekankan sekarang, kalau di daerah yang betul-betul rawan tsunami misalnya, muatan lokal ini harus ada di situ walaupun tidak [ada] program nasional tapi juga ada di daerah itu yang khusus ada di karakteristik ancaman," kata Lilik