Liputan6.com, Jakarta - Letak Indonesia di wilayah lingkaran api atau Ring of Fire tak ayal membuat sejumlah bencana alam kerap melanda. Gempa bumi dan tsunami belakangan menjadi perhatian publik lantaran kerap terjadi di Tanah Air dalam setahun terakhir.
6 Agustus 2018, gempa tektonik magnitudo 7 mengguncang wilayah Lombok dan sekitarnya. Kejadian serupa disertai hantaman tsunami juga meratakan Palu dan Donggala sebulan kemudian, tepatnya 28 September 2018.
Belum lagi material longsor dari aktivitas Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018, menimbulkan gelombang tsunami di Selat Sunda. Sejumlah wilayah di Lampung dan Banten porak-poranda.
Deretan bencana alam ini berdampak ke segala bidang di pemerintahan, termasuk juga persoalan penurunan pemasukan negara. Dalam hal ini, sektor pariwisata.
Menteri Pariwisata Arief Yahya pun mengakui, bencana alam memberikan dampak kurang baik untuk sektor pariwisata di Indonesia. Kerugian akibat peristiwa tersebut juga ditaksir tidak sedikit.
Dia menyoroti kondisi Bali yang disebut akan menghasilkan sumber devisa negara terbesar di Indonesia. Namun, peringatan status bencana terkait erupsi Gunung Agung dinilai menghambat perwujudan harapan itu.
"Begitu pemerintah daerah menetapkan status darurat, apa yang terjadi? Negara-negara di seluruh dunia mengeluarkan travel warning atau travel advisor tidak boleh berkunjung ke daerah itu," ungkapnya di Hotel Aone, Jakarta, Rabu (27/02/2019).
Persepsi demikian membuat masyarakat enggan berkunjung ke Pulau Dewata. Arief menilai, kondisi darurat yang ditengarai bisa menghalangi turis masuk ke daerah pariwisata perlu segera dicabut, namun tetap tak mengurangi tingkat kewaspadaan terhadap potensi bencana.
"Permintaan saya cuma satu, cabut itu. Ada surat dari PHRI Bali, bahwa daerah ini sudah lumpuh. Kondisi Bali sudah kurang baik. Segera cabut kondisi darurat, jangan memprediksi sesuatu yang kemungkinan kecil terjadi," tungkasnya.
Menurutnya, turis lokal maupun mancanegara tak perlu takut selama berada di luar radius berbahaya. Tidak diperbolehkan memasuki kawasan berbahaya di dalam radius itu.
"Status awas dan siaga hanya ada di dalam radius itu. Di luar radius itu aman, saya nyatakan aman," tegasnya di Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (27/02/2019).
Sutopo menjelaskan, penting untuk melakukan mitigasi setelah mengetahui potensi bencana di daerah tertentu. Tak perlu menunggu pemerintah, katanya, warga lokal juga bisa berinisiasi menciptakan peringatan dini bersifat persuasif.
Jika budaya ini terus dijalankan, lanjut Sutopo, korban akibat bencana bisa diminimalisir. Pariwisata pun akan mengalami perkembangan signifikan.
"Mitigasi bencana di sektor pariwisata di Indonesia masih sedikit, kita harus akui. Kita siapkan hotel-hotel yang tahan gempa. Rambu-rambu evakuasi disiapkan. Kalau semua mengandalkan pemerintah, itu tidak mungkin," kata Sutopo.
Minimnya mitigasi tak lepas dari publikasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar daerah rawan bencana. Kata Sutopo, masyarakat perlu mendapat informasi lengkap terkait kegiatan pencegahan bencana, terlebih warga sipil terlibat langsung dalam program ini.
"Jangan menunggu data sempurna. Kita sampaikan ke publik, jangan menakut-nakuti, kita sampaikan secara soft agar masyarakat tetap tenang," imbuh pria yang juga akademisi ni.
Tak hanya masyarakat dan BNPB, mitigasi juga perlu diinisiasi oleh berbagai elemen dalam kewarganegaraan. Jika integrasi terus terjalin, tentu pekerjaan akan menjadi lebih ringan dilakukan.
Langkah Mitigasi Bencana
Kabag Divisi Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Taufan Maulana mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan BNPB dan PVMBG terkait langkah konkrit mitigasi bencana.
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir sejumlah bencana yang bisa terjadi. Namun, Taufan mengimbau agar masyarakat tetap waspada karena belum ada inovasi termutakhir untuk memprediksi terjadinya bencana alam.
"Ini yang diharapkan kedepan memiliki SOP yang dikombinasikan oleh BNPB dan PVMBG. Kita lajukan simulasi, terkadang ini berguna kalau bahaya terjadi dan masyarakat panik.
Terkadang itu bisa membuat korban bencana lebih banyak lagi, di samping bencana itu sendiri," ujar Taufan di Jakarta, Rabu (2/02/2019).
Sinergitas antara lembaga pemerintah juga dinilai belum maksimal. Pelaku usaha di bidang perhotelan dan pariwisata, kata Taufan, selayaknya melakukan hal serupa guna mengantisipasi kepanikan saat bencana datang.
"Pelaku usaha di perhotelan juga bisa memerhatian dan turut bersinergi dengan BMKG, PVMBG dan lain lain. Jangan panik. Kalau sudah panik, pasti bubar. Sehebat apapun persiapannya, kalau udah panik, pasti akan bubar. Mitigasi adalah kunci yang paling dibutuhkan untuk di negara kita," ucapnya menandasi.
Kendati demikian, masyarakat dinilai perlu selektif dalam menentukan penginapan di daerah rawan bencana. Karenanya, Taufan menyarankan untuk menempati hotel yang telah tervalidasi.
"Kita harus memilih hotel yang strategis, berkualitas. dan bersertifikasi, serta tervalidasi," pungkasnya.
Rifqi Aufal Autisna