VIVA – Sebelah rumah papan milik Juhur miring ke kanan menyentuh tanah bercampur lumpur. Di antara teratak atap terasnya, sepotong kayu sebesar paha sengaja dipasang menahan tulangnya. Kayu itu menjadi tumpuan agar rumah besar itu tak terbalik dan menimpa rumah tetangga.
"Saya berenang sekuat tenaga ke depan rumah dan lari ke bukit. Waktu itu airnya sudah lebih dari sepaha," kenang Juhur dengan muka kuyu dan rambut yang kusut masai. Bekas lumpur kering terlihat masih menempel di tangan dan kakinya. "Waktu itu saya baru pulang acara minta doa menjelang puasa di desa."
Juhur ingat persis waktu itu jam baru menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika gelombang air berwarna cokelat pekat setinggi lebih dari 5 meter mengempas desanya. Lidah air itu melumat apa saja yang ada di depannya tanpa ampun. "Kami semua bertahan di atas bukit," tambah warga lainnya.
Desa Genting yang didiami Juhur beserta 107 kepala keluarga lainnya, terletak di tepian Sungai Lemau. Dahulu akses satu-satunya ke desa tua ini hanya bisa lewat sampan dengan menyeberangi Sungai Lemau.
Mayoritas warga di sini hidup cukup sejahtera. Ini terlihat dari bangunan rumah mereka yang sebagian besarnya permanen. Jika pun ada rumah panggung, itu cuma segelintir. Warga setempat, bekerja sebagai petani sawit, baik itu sebagai pemilik atau sebagai buruh di perusahaan milik PT Bio Nusantara Teknologi, Femina Group yang telah berdiri sejak tahun 1997.
Namun demikian, semuanya kini berubah ketika pekan lalu banjir maha dahsyat menyapu desa ini. Air dan lumpur menggenang sampai ke atap rumah. Beberapa rumah panggung yang tak kuat menahan laju air bahkan ada yang sampai terseret.
Seketika desa ini menjadi sepi. Orang-orang ketakutan dan berlindung di atas bukit di pinggir desa. "Terakhir banjir besar terjadi 1989. Tapi tahun ini jauh lebih besar dan menakutkan," tutur Juhur.
Dan yang lebih membuat miris lagi. Bencana ini terjadi menjelang bulan puasa. Ketika harga-harga bahan pokok dikerek para tengkulak dan masa di mana mendekam di rumah dan beribadah lebih banyak.
"Entah bagaimana kami di bulan puasa nanti. Ternak hanyut, kebun rusak dan rumah hancur," tambah Samara Dewi (65), warga Desa Genting lainnya.
Muasal bencana yang terabaikan
Bencana banjir dan longsor yang menimpa Provinsi Bengkulu sepekan lalu, Jumat, 26 April 2019, terjadi serentak di 10 kabupaten dan kota. Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah terakhir, total 24 orang meninggal dunia dan empat lainnya masih dalam pencarian.
Termasuk juga sebanyak 12 ribu orang terpaksa mengungsi dan sejumlah infrastruktur yang kini luluh lantak. Total kerugian tertaksir mencapai Rp144 miliar. Sebuah harga yang mahal untuk ditebus kembali.
Menurut kesaksian sejumlah warga, bencana banjir tahun ini terasa lebih besar dibanding 30 tahun lalu. "Terakhir tahun 1989 yang besar. Tapi tahun ini lebih besar rasanya," ujar Rohaini, warga Kota Bengkulu.
Amukan hujan yang kemudian memicu banjir tersebar mulai dari Kabupaten Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Seluma, Bengkulu Selatan, Kepahiang, Kaur, Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. Dari itu, jumlah korban jiwa terbanyak ada di Kabupaten Bengkulu Tengah, mencapai 19 orang. Sisanya di Kota Bengkulu tiga orang dan dua lainnya dari Kabupaten Kepahiang.
Terkhusus Bengkulu Tengah, banyak lembaga pemerhati lingkungan segera mengeluarkan analisis mereka bahwa bencana ini lebih ditengarai oleh aktivitas pertambangan. Catatan mereka setidaknya ada delapan tambang dan dua perusahaan perkebunan yang bercokol di hulu sungai.
"Kawasan hutan sudah kehilangan fungsi ekologisnya," ujar Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar seperti dikutip dalam siaran persnya.
Namun demikian, sorotan muasal bencana itu sayangnya hanya tersudut ke Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu, yang membentang sepanjang 95 kilometer mulai dari Kecamatan Taba Penanjung, lalu Karang Tinggi, Pondok Kelapa, dan Talang Empat, lalu bermuara di Kota Bengkulu.
Diakui sejak lama, DAS Air Bengkulu memang bermasalah. Mulai dari pendangkalan akibat sedimentasi aktivitas penambangan, hingga ke kualitas air yang telah menurun jauh dan hilangnya rawa penampung muntahan air yang kini telah jadi permukiman warga di Kota Bengkulu, yakni Kelurahan Rawa Makmur.
Karena, itu banyak warga Kota Bengkulu, khususnya yang berada di sepanjang aliran sungai Air Bengkulu mengakui jika bencana banjir yang menimpa mereka tak terkejut lagi. "Sudah biasa banjir. Cuma pilihannya besar atau tidak saja," ujar Andri, warga Kelurahan Bentiring.
Sampai kemudian bencana banjir besar pada sepekan lalu. Dengan total korban jiwa mencapai 24 orang, fakta terunjuk Kabupaten Bengkulu Tengah memang menjadi daerah paling terparah terdampak banjir. Jumlah korban jiwanya pun mencapai 19 orang akibat tersapu banjir mah adahsyat.
Namun ada satu hal yang mengejutkan. Keseluruhan korban itu, malah bukan berada di DAS Air Bengkulu, tapi justru berada di sepanjang aliran DAS Lemau, dan jauh dari aktivitas pertambangan batu bara. "Kebanyakan korban petani kopi yang terjebak di areal kebun mereka," ujar seorang petugas Badan SAR Nasional yang terlibat pencarian korban.
Diketahui, DAS Lemau memiliki luas hingga 51.492 hektare dan membentang melintasi 9 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Tengah, yakni Kecamatan Bang Haji (8.623 Ha), Pagar Jati (4.816 Ha), Merigi Sakti (11.732 Ha), Merigi Kelindang (6.316 Ha).
Lalu, Kecamatan Taba Penanjung (628 Ha), Karang Tinggi (254 Ha), Pematang Tiga (11.174 Ha), Pondok Kubang (94 Ha), dan Pondok Kelapa (7.852 Ha). Seluruh kecamatan inilah yang menjadi wilayah terparah ketika banjir menyapu.
Fakta ini pun sejalan dengan hasil analisis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang melihat bahwa ada 80 persen daerah tangkapan air yang semestinya bisa menahan limpasan air, kini telah mengalami kerusakan akibat lahan pertanian kering campur yang mencapai 37.858 hektare.
"Tambang hanya sekitar 2,24 persen atau 1.053,5 hektare. Dominan pertanian lahan kering. Jadi tidak bisa juga bilang rusak karena tambang," ujar seorang penjabat Kementerian LHK dalam sebuah wawancara.
"Intinya adalah peralihan fungsi lahan yang tadinya hutan konservasi atau hutan lindung berubah alih fungsi," tambah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo.
Singkatnya, bencana banjir yang kini telah melumpuhkan sebagian Bengkulu itu. Ternyata juga ditengarai oleh aktivitas perkebunan milik warga dan mungkin juga perusahaan yang cenderung monokultur dan tidak memperhatikan kaidah konservasi.
"Lebih dari 76,9 persen penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering bercampur semak," seperti dikutip dalam laporan riset milik Kanang Setyo Hindarto, dkk yang diterbitkan pada tahun 2013.
Kesusahan pengungsi
Di luar itu, usai Bengkulu mencabut masa tanggap darurat mereka dan seluruh proses pencarian korban banjir dihentikan. Kini para pengungsi, masih banyak yang bertahan di tenda-tenda.
Salah satunya Juhur, warga Desa Genting, yang rumahnya terguling disapu banjir. Meski tenda pengungsian tak jauh dari desa mereka. Namun kondisinya masih jauh dari layak.
Pemerintah setempat terlihat belum maksimal mempercepat penanganan pemulihan desa Juhur. "Makanan cukup. Tapi ini kan bulan puasa, kami berharap bisa secepatnya pulang," ujar Ramli, warga Genting lainnya. Puasa tahun ini akhirnya terasa jauh lebih berat dihadapi Juhur dan mereka yang tertimpa banjir. (ren)