JAKARTA – Pendekatan komprehensif pada beberapa aspek dibutuhkan sebagai upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Aspek yang saling terkait dalam PRB tersebut yaitu tata ruang, lingkungan hidup dan infrastruktur. Pendekatan komprehensif pada ketiga hal ini akan mampu untuk mengurangi atau mencegah dampak bencana yang lebih besar.
Belajar dari bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi pada 2018 lalu, kesiapsiagaan tidaklah cukup. Aspek tata ruang, lingkungan hidup dan infrastruktur sudah seharusnya saling terjalin dan beririsan satu dengan yang lain. “Bencana dengan dampak yang hebat dapat terjadi manakala ketiga aspek ini gagal melindungi warga dari ancaman bencana,” kata Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, di Graha BNPB, Jakarta Timur, pada Rabu 29 Mei 2019.
Menurut Doni, aspek tata ruang, lingkungan hidup, dan infrastruktur dapat memperhebat dampak dari suatu kejadian bencana. “Namun, aspek-aspek tersebut juga dapat mencegah dampak yang lebih parah dari suatu kejadian bencana,” tambah Doni.
Tata ruang menjadi kunci penting dalam pengendalian pembangunan, khususnya yang berada di daerah rawan bencana. Di sisi lain, lingkungan alam yang lestari akan menghindarkan kita dari bencana. “Oleh karena itu, jika kita jaga alam, maka alam akan menjaga kita. Adapun aspek infrastruktur yang inklusif dapat menghindarkan masyarakat dari berbagai kejadian bencana,” ujar Doni.
Strategi PRB tidak hanya berfokus pada kesiapsiagaan tetapi aspek lain dengan pendekatan komprehensif. Hal tersebut dapat mengoptimalkan perlindungan warga terhadap keterpaparan terhadap bencana. Doni menyebutkan bahwa hasil akhirnya adalah tercapainya visi bersama yaitu ketangguhan bangsa yang berkelanjutan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, Utusan Khusus PBB untuk PRB atau Special Representative of the United Nations Secretary General for Disaster Risk Reduction, Mami Mizutori menyampaikan bahwa Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam penanggulangan bencana. “Pemerintah Indonesia telah mengambil upaya-upaya untuk meminimalkan risiko bencana, memperkuat kesiapsiagaan dan meningkatkan kesadaran publik,” tambah Mami.
Mami berpesan bahwa sistem peringatan dini juga perlu menjadi perhatian, khususnya pada fase krisis dimana pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat berisiko dapat kemudian ditindaklanjuti oleh mereka secara tepat.
Dalam konteks tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan kerja sama dengan United Nations for Disaster Risk Reduction (UNDRR) untuk menyelenggarakan lokakarya dengan fokus PRB dan sistem peringatan dini di Indonesia. Hadir narasumber dari Kementerian LHK, Kementerian ATR-BPN, Kepala BMKG, Kepala BNPB, LIPI, AHA-Centre, dan UNESCO. Salah satu moderator acara ini yaitu Kepala UNDRR untuk kawasan Asia Pasifik, Loretta Hieber Girardet.
Di samping itu, BNPB dan UNDRR menandatangani Deklarasi Kerja Sama dalam Pengelolaan Risiko Bencana. Kedua pihak sepakat untuk membangun kerja sama yang lebih erat dalam bidang pengelolaan risiko bencana. Selain itu, kerja sama ini dimaksudkan untuk (1) meningkatkan kapasitas dalam membangun strategi di tingkat nasional dan lokal; (2) mendorong penelitian, peningkatan ilmu pengetahuan, dan penerapan teknologi; (3) serta mempromosikan kerja sama di tingkat regional dan internasional dalam pengelolaan risiko bencana.
Sudah menjadi keniscayaan bahwa wilayah Indonesia terletak di daerah yang rawan bencana. Namun, kita tidak boleh berpangku tangan dan pasrah pada nasib. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi bencana. Kendati masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan dan mencapai ketangguhan bangsa menghadapi bencana, tetapi pengalaman dari Indonesia dalam menanggulangi bencana juga sangat bermanfaat bagi dunia.
Ancaman bencana akan terus terjadi di seluruh penjuru dunia, diperlukan kerja sama dan berbagi pengetahuan para pelaku penanggulangan bencana agar korban dan kerugian akibat bencana dapat dikurangi dan manusia dapat hidup harmoni dengan bencana.
(wal)