Salah seorang putra terbaik Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho (Boyolali, 7 Oktober 1969–7 Juli 2019), Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meninggal Minggu (7/7/). Kanker paru-paru merenggut nyawa peraih anugrah Asian Of The Year 2018 tersebut. Dia telah berjuang keras untuk mengobati penyakitnya tanpa lelah di tengah kesibukan kerjanya.
Kepergian Sutopo yang “mengawal” patroli penyelamatan manusia dari bencana alam, meninggalkan duka mendalam. Dengan keberanian dan kerja kerasnya, para korban bencana alam merasa terbantu dan tertolong. Pemerintah juga berterima kasih kepadanya karena tak kenal lelah menyajikan data dan analisis bencana serta penanggulangannya.
Kematian Sutopo seakan mengingatkan, betapa bencana alam Indonesia dan seluruh dunia, terus bergerak sejalan dengan aktivitas manusia yang merusak alam. Pembangunan yang bertumpu pada anthroposentrisme (manusia), telah mengabaikan daya dukung ekosistem alam. Ini membuat manusia seakan sedang “membangun” habitatnya. Hakikatnya sedang “merusak” kelanjutan hidupnya. Itulah ironi pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam dan memutus rantai ekosistem bumi serta kehidupannya.
David Suzuki, environmentalist Kanada, bertanya adakah manusia yang mampu menyetop aliran udara, menghambat deraan cahaya ultraviolet, menutup atmosfir bumi dari gebrakan gas rumah kaca, dan menghentikan arus laut yang membawa polusi? Tak ada! Karena itu, berbuatlah sesuatu untuk memperbaiki kerusakan Bumi. Sekecil apa pun yang kita perbuat – mungkin hanya menyelamatkan seekor burung kutilang yang kelaparan – itu sama saja ikut menyelamatkan planet bumi dari kehancuran.
Kerusakan planet bumi akibat nafsu angkara manusia mungkin penyebabnya amat sederhana karena orang bebal membunuh seekor siamang di hutan Kalimantan, tanpa memikirkan akibatnya terhadap kehancuran hutan. Dia tidak tahu siamang adalah “penyebar” biodiversitas paling efektif di hutan tropis melalui kotoran-kotorannya yang berserakan di mana-mana.
Tanpa siamang, hutan akan kehilangan biodiversitas, yang selanjutnya, dalam jangka panjang, hutan kehilangan kesuburan dan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Jika itu terjadi, degradasi akan menimpa hutan tropis yang kaya keanekaragaman jenis tersebut.
Itulah sebabnya, Suzuki punya motto hidup act locally, think globally. Kita berbuat baik terhadap alam di sini. Ini sama artinya memperbaiki alam di seluruh bumi. Tanamlah pohon duwet di pekarangan, sebagai berkontribusi menyelamatkan dunia. Ini persis seperti firman Tuhan, jika kita membunuh manusia tak bersalah, dosa sama dengan membunuh seluruh umat manusia.
Hal yang sama, jika kita menyelamatkan kehidupan seorang manusia, pahalanya sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia. Ayat ini menggambarkan kondisi networking era cyberhumanism abad ke-21 ini. Sutopo menjadi “pengawal” penanggulangan bencana dengan memberikan data dan analisis. Ini sebuah kerja besar yang penuh tantangan karena data kebencanaan terus merangsak dunia ilmu pengetahuan tanpa henti dan terus berubah. Tragisnya, jika pun ada perubahan, menuju ke arah destruksi.
Kekeringan
Hari-hari ini, misalnya, tengah terjadi kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia. Kemarau yang m e n y e n gat dan hilangnya sumber air, menjadi bencana rutin tahunan, yang kondisinya makin parah. Di Gunung Kidul, misalnya, 10 kecamatan: Girisubo, Rongkop, Purwosari, Tepus, Ngawen, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, dan Paliyan sedang menjerit karena kekeringan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gunung Kidul, Edi Basuki, menyatakan, tahun 2019 kekeringan lebih parah dari tahun lalu.
Selain itu, Sungai Brantas, Bengawan Solo, Kali Cimanuk, dan Kali Citarum airnya terus menyusut. Sejumlah anak sungai sudah mengering. Sementara itu, di tingkat global, hamparan salju di tiga kutub bumi – Arctik (kutub utara bumi), Antarctic (kutub selatan bumi), dan Mount Everest (Puncak Himalaya, kutub atas bumi) kini mulai menghilang.
Menghilangnya salju di Mount Everest, misalnya, akan menyurutkan air di sunga-sungai besar wilayah Hindustan dan Indocina seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Indus, Irawady, Yang Tze, Mekong dan ratusan anak sungainya. Jika sungai-sungai di Asia Selatan tersebut mengering, ratusan juta manusia akan kekurangan air dan tewas mengenaskan dalam beberapa tahun mendatang.
Hutan tropis Indonesia adalah paru-paru Bumi yang menyuplai oksigen ke seluruh dunia. Ironisnya, oksigen dari hutan tropis Indonesia yang disuplai ke seluruh dunia ini, dibayar dengan mengalirnya udara buruk penuh polisi dari kota-kota polutif seperti Bombay, New Delhi, Bangkok, Beijing, bahkan dari kota yang amat jauh seperti Boines Aires dan Los Angeles.
Pukulan telak dari global warming pun tak terelakkan menimpa Nusantara. Kekeringan, kebanjiran, badai, dan gelombang laut tinggi, berkali-kali menghantam wilayah Indonesia. Siapa yang harus disalahkan?
Seperti kata David Suzuki, tak ada kekuatan apa pun yang sanggup menghentikan aliran udara dari satu tempat ke tempat lain baik antarnegara maupun antarbenua. Karena itulah, bencana alam akan selalu menguntit di mana pun, jika kita tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kelestarian planet bumi. Sekecil apa pun kebaikan terhadap alam, dampaknya bersifat global. Meski mungkin, kita hanya memelihara cebong dan kampret di sekitar rumah, dampak kebaikan makhluk ajaib tersebut akan berakibat positif terhadap keselestarian alam keseluruhan.
Budhha berkata, dalam dirimu terdapat kitab suci yang paling lengkap untuk menuntunmu ke surga kehidupan. Jika orang tak mampu berdamai dengan dirimu sendiri, maka jangan harap bisa berdamai dengan kehidupan. Al Quran menyatakan hanya jiwa-jiwa yang damai dan tenang yang mampu menuju Tuhan dengan kebahagiaan.
Bencana akan selalu menguntit orang-orang yang tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Sedangkan dari destruksi diri sendiri yang individual, bencana itu – kata David Suzuki – akan mengantarkan manusia pada kiamat global.
Sutopo Purwo Nugroho telah berjasa menginformasikan bencana-bencana alam yang muncul dan akan muncul. Rakyat Indonesia berterima kasih kepada dedikasinya yang tak pernah lelah menyelamatkan bangsa dari bencana. Penulis Dosen Fakultas Kehutanan/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB