Langkan.id, Pesisir Selatan - Ribuan pohon cemara tersusun rapi di sepanjang palataran pantai Ampiang Parak, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Setidaknya 3.700 pohon cemara menghiasi bibir pantai tersebut. Selain itu, 4.000 Mangrove juga terlihat menghijau.
Diketahui, informasi dari masyarakat setempat, kawasan hijau itu dahulunya tidak ditumbuhi apa-apa, gersang, hanya pasir pantai yang kita lihat sepanjang mata memandang.
Sejak 2015, Haridman seorang yang merupakan ‘urang sumando’ (beristri orang Ampiang Parak) mencoba menanam cemara di lokasi itu. Ternyata, menanam cemara tak segampang kampanye seribu pohon yang digalakkan pemerintah Indonesia.
Cemooh masyarakat, bahkan apa yang dia lakukan dikatakan perbuatan yang sia-sia serta kerja orang gila. Namun, semangat Haridman tak putus di tengah jalan.
Diceritakannya, awal mula menanam cemara, tak ada masyarakat setempat yang percaya, bahwa cemara itu akan tubuh dan menghijau di tempat tersebut. “Iya, dulu saya dicemooh, apa yang saya tanam, dikatakan tidak akan bisa tumbuh. Karena memang, tempat ini dulunya gersang,” ujarnya saat diwawancarai Langkan.id, Rabu (21/8) di lokasi penangkaran penyu Ampiang Parak.
Namun, apa yang dia perjuangkan, saat ini telah membuahkan hasil. Hijaunya pohon cemara menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang ke atas tanah sepanjang 2,7 kilometer tersebut.
Menurutnya, diawal, tak ada niat dan tergambar bahwa Nagari Ampiang Parak bisa seperti sekarang. “Awalnya tak ada niat, yang jelas kita tanam saja dulu, nanti baru kita pikirkan akan mau dijadikan apa tempat ini,” jelasnya.
Dulu, katanya, pemuda di sini, kebanyakan mengahbiskan waktu di warung. Jadi, ada keinginan untuk mengalihkan ke hal-hal yang posotif, seperti ini. “Kita mulai ajak pemuda untuk mengelola tempat ini, itu secara perlahan, hingga akhirnya, semua masyarakat bisa merasakan dampaknya,” ucap Haridman.
Setelah cemara mulai tumbuh, menurut Ketua Laskar Turtle Camp Nagari Ampiang Parak itu, mereka mulai melirik adanya potensi penyu yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. “Disitulah, kita mulai ada keinginan untuk membuat penangkaran penyu. Dulunya, masyarakat di Ampiang Parak, memburu penyu, lalu telurnya diambil untuk dijual,” katanya.
Setelah itu, kawasan Nagari Ampiang Parak terus dikembangkan untuk dijadikan ekowisata. “Dari situlah, kita mulai dilirik, sudah mulai ada bantuan dari pemerintah serta lembaga swasta, hingga kita bisa menjadi seperti saat sekarang ini,” ungkapnya.
Cemara mulai menghijau, wisatawan mulai berdatangan. “Setelah melihat hasilnya, kita (kelompok) mulai meraskan manfaatnya. Disitulah, anggota kelompok dan masyarakat setempat bersemangat untuk menjadikan Ampiang Parak menjadi Nagari Ekowisata,” ujarnya.
Saat ini, kata Haridman, masyarakat yang ada di Ampiang Parak sudah merasakan dampak dari apa yang diperbuat. “Ekonomi masyarakat muali tumbuh, ibu rumah tangga, sekarang juga sudah bisa membuka warung di sekitar lokasi, itu juga akan turut membatu perekonomian keluarga. Tenaga kerja dari pemuda setempat juga mulai terserap,” ungkapnya.
Lalu, sejak hadirnya lembaga sosial dari Jerman, Arbieter-Samariter-Bund (ASB) di Nagari Ampiang Parak, masyarakat sekitar juga bisa lebih mengenal tentang pengurangan resiko bencana. “Masyarakat sudah diberikan pelatihan, dan semua mulai sadar, bahwa Pohon Cemara dan Mangrove yang ditanam bisa mengurangi hempasan gelombang ke daratan. Kita ingin, Nagari Ampiang Parak menjadi Nagari Ekowisata dan Tangguh Bencana, itu akan kita tularkan juga ke nagari tetatangga,” jelasnya.
Sementara, untuk menanam Cemara ataupun Mangrove, kata Haridman, butuh kesungguhan. Aksi nyata untuk menjaga apa yang telah ditanam sangat diharapkan, menjaga pohon cemara agar bisa tumbuh dengan sempurna butuh waktu 1 tahun.
“Jadi, penjagaan cemara yang kita tanam itu butuh waktu lama, kita rawat, kita pagar agar terlindung dari gangguan bintang, sehingga kita bisa menikmati hasilnya seperti sekarang,” katanya. (Zulfikar)