REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, di balik daerah Indonesia yang rawan bencana, menyimpan banyak daya tarik untuk menjadi objek wisata. Asalkan, dapat dikelola secara mumpuni dan terintegrasi antar-pemangku kepentingan.
Kepala BNPB, Letnan Jenderal Doni Monardo, mengatakan, menjadikan kawasan rawan bencana menjadi objek wisata harus dilakukan dengan sistem mitigasi yang kuat. Pengelolaan kawasan wisata juga harus diawasi oleh tenaga-tenaga yang andal.
Sebagai contoh, kawasan rawan bencana yang bisa menjadi objek wisata seperti gunung merapi saat mengeluarkan lava pijar dari puncak kawah.
"Kita punya gunung api yang banyak tapi belum bisa menggunakannya dengan maksimal. BNPB ingin mencoba daerah yang memiliki potensi bencana tapi bisa jadi tempat wisata," kata Doni di Kementerian Pariwisata, Senin (9/9).
Menurut Doni, tidak semua negara memiliki karakteristik alam seperti di Indonesia. Sebab, hampir semua bentang alam di bumi nusantara bisa dijadikan tempat wisata. Dimulai dari pantai, hutan, hingga gunung api sekali pun.
Ia juga mencatat, sebanyak 12 persen coral terbaik di Indonesia juga berada di kawasan nusantara. "Ini yang harus di eksplor, kalau semua sistem terbangun dengan baik, kita akan siap. Tidak ada wisatawan yang menjadi korban. Turis tidak akan takut untuk berkunjung ke Indonesia," kata Doni.
Pada Senin (9/9) hari ini, Kementerian Pariwisata meluncurkan Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) sebagai standar pedoman pengelolaan bencana di kawasan wisata. Doni mengatakan, MKK akan menjadi acuan bagi BNPB bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Pariwisata ketika menghadapi bencana.
Pihaknya mengakui, urusan koordinasi dan standar operasional di tingkat daerah kerap menjadi masalah ketika bencana datang. Antar-lembaga perlu mengacu pada satu pedoman baku yang mengatur detail. Baik ketika menghadapi bencana alam maupun non alam. Selain itu, hal yang paling penting yakni meminimalisasi dampak kerugian serta korban jiwa.
"Makanya, ada banyak komponen yang harus dilibatkan. Tidak hanya BPBD dan Dispar tapi semuanya sehingga tidak ada kekhawatiran dan kita siap berjaga-jaga," katanya.
Menurut Doni, setelah MKK diterbitkan pihaknya tengah menyiapkan draft Instruksi Presiden (Inpres) untuk semua daerah agar memiliki pedoman tata kelola bencana sesuai MKK. Pemerintah provinsi hingga kabupaten dan kota harus memiliki perencanaan yang matang dalam mengelola ancaman bencana.
"Dengan begitu kemungkinan kerugian korban jiwa akan lebih sedikit dan meningkatkan kepercayaan internasional terhadap pariwisata kita," katanya.
Sebagai informasi, pada 2018, terdapat 4.814 korban jiwa akibat bencana alam. Mayoritas disebabkan oleh bencana gempa bumi dan tsunami. Sementara tahun 2019, BNPB mencatat korban jiwa akibat bencana alam sudah sebanyak 402 jiwa. Mayoritas korban jiwa disebabkan oleh bencana banjir.