Jakarta - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi. Dampaknya sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan mengalami bencana asap. Istilah bencana asap ini muncul dari masyarakat sejak karhutla diikuti kabut asap parah terjadi pada 2015 lalu. Publik mengira, belajar dari karhutla terparah sepanjang sejarah itu, pemerintah memiliki strategi pengurangan risiko. Tapi faktanya, karhutla dan bencana asap kembali terjadi tahun ini.
Lemahnya tata kelola risiko karhutla ini membuat pemerintah masih fokus pada penanganan kebakaran. Kebijakan reaktif ini hanya dapat mengatasi karhutla jangka pendek. Sejumlah riset menyebutkan, karhutla dan kabut asap memiliki dampak signifikan. Berkaca pada kejadian 2015, riset beberapa ilmuwan Harvard University dan Columbia University yang diterbitkan di Environmental Research Letters 11 (9) menyebut, kabut asap 2015 mengakibatkan 100.300 kematian dini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia sendiri menghadapi risiko dampak kesehatan akibat karhutla paling tinggi.
Sementara itu laporan Bank Dunia menyebutkan, karhutla 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektar lahan, menyebabkan kerugian Rp 221 triliun (World Bank, 2015). Melihat besarnya risiko karhutla yang mengganggu ekologi, ekonomi, dan kesehatan ini, seharusnya pemerintah dapat merumuskan kebijakan tata kelola risiko karhutla melibatkan banyak aktor dan pemangku kepentingan. Bahkan United Nation Development Program (UNDP) mewanti-wanti, pencegahan kebakaran jangka panjang merupakan kepentingan nasional Indonesia dengan manfaat ekonomi dan sosial signifikan (UNDP, 2015).
Pada 2015 sampai 2017 saya melakukan riset pencegahan karhutla di Riau yang disebut sebagai jantung kerusakan ekologi. Temuan riset ini antara lain, para pemangku kepentingan di tingkat lokal berpendapat, karhutla di Riau disebabkan perilaku manusia yang melakukan pembakaran secara sengaja. Pelaku pembakaran diidentifikasi sebagai individual dan kelompok terorganisasi yang tidak terungkap sehingga disebut invisible hand. Lokasi kebakaran paling banyak terjadi di area open access yaitu bekas konsesi yang dibiarkan terlantar setelah masa konsesinya habis, area korporasi, area pertanian masyarakat, dan area konservasi.
Melihat realitas tersebut, pemahaman tata kelola risiko penting untuk merumuskan kebijakan pengendalian karhutla yang sistematis. Konsep risiko ini terkait dengan bahaya yang diproyeksikan di masa depan. Oleh karena itu sekalipun sebagai perkiraan dan ramalan, bahaya-bahaya itu memiliki relevansi praktis bagi tindakan pencegahan (Beck, 2015). Pengelolaan sumber daya alam tanpa memproyeksikan risiko di masa depan menyebabkan malapetaka.
Karhutla merupakan dampak dari ketamakan industri kehutanan dan perkebunan pada masa lalu. Belajar dari pengalaman karhutla selama ini, sudah saatnya pemerintah memperbaiki tata kelola risiko untuk meminimalisir bahaya pada masa mendatang.
Siklus Karhutla
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa kebakaran hutan/lahan merupakan bencana non-alam yang disebabkan oleh manusia. Pasal 33 UU Bencana itu menyebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahap meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam konteks ini, tata kelola risiko berada pada tahap prabencana yang dapat dikelompokkan menjadi tindakan pencegahan, mitigasi, serta kesiapsiagaan.
Khusus karhutla terdapat tiga tahapan yaitu pembakaran, kebakaran, dan bencana yang menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan mengancam keselamatan manusia (BNPB, 2013). Kesalahan kebijakan pengendalian karhutla selama ini, pengaktifan satgas penanggulangan karhutla baru dilakukan saat "siaga darurat karhutla" ketika hutan dan lahan sudah terbakar dan asap sudah menyebar. Kesalahan pemahaman ini menyebabkan status "siaga" baru ditetapkan setelah darurat (terbakar).
Seharusnya kesiapsiagaan sudah dilakukan sebelum ada pembakaran, dengan memetakan kawasan rawan, mengidentifikasi pelaku, dan mengoptimalkan sumberdaya untuk mencegah pembakaran. Idealnya, pembentukan satgas pengendalian karhutla level nasional dan lokal sudah dilakukan sejak tahap pencegahan dan mitigasi sehingga dapat mengoptimalkan tata kelola risiko pengendalian karhutla secara menyeluruh.
Pada tahap ini satgas karhutla dapat melakukan pencegahan karhutla pada sektor hulu terutama masalah tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan, ekspansi industri kehutanan dan perkebunan, perambahan area konservasi, dan pembukaan hutan/ lahan secara ilegal oleh cukong dan masyarakat. Berbeda dengan bencana alam, karhutla disebabkan oleh perilaku manusia sehingga pencegahannya juga memerlukan tindakan komunikatif (preventif) dan penegakan hukum (represif) terhadap pelaku.
Kerja Kolaboratif
Pengurangan risiko karhutla yang diikuti bencana asap merupakan pekerjaan kolaboratif. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri untuk mengurai benang kusut ini. Jika mengacu model komunikasi risiko, jalur komunikasi yang efektif dan terbuka harus dibangun di antara ruang ahli (pemerintah, ilmuwan, dan korporasi) dan ruang publik (kelompok advokasi, media massa, dan masyarakat).
Selama ini terjadi kesenjangan komunikasi terutama di ruang ahli yang lebih banyak melibatkan aktor-aktor pemerintah. Sementara itu, aktor-aktor di ruang publik juga berjalan sendiri; hanya sebagian kelompok advokasi yang bekerja bersama komunitas.
Kurangnya komunikasi antarapemangku kepentingan ini menyebabkan sering terjadinya ketidaksepakatan dalam pemaknaan risiko. Misalnya, menurut persepsi kelompok advokasi karhutla disebabkan faktor hulu seperti tata kelola kehutanan, lingkungan, dan perkebunan. Sedangkan pemerintah masih fokus pada kondisi darurat.
Sementara itu, banyak masyarakat (petani) mengeluhkan larangan membakar tanpa diikuti solusi alternatif membuka lahan tanpa bakar yang memadai. Padahal sebagian masyarakat memiliki kearifan lokal membakar terkendali skala terbatas untuk membuka lahan tanaman pangan. Hal ini berdampak pada penurunan mata pencaharian petani tanaman pangan.
Idealnya, tata kelola risiko mendorong keterhubungan yang erat antara aktor-aktor di ruang ahli dan ruang publik, sehingga terdapat pemaknaan yang sama terhadap risiko karhutla. Komunikasi yang terbuka juga memicu keterlibatan aktor-aktor ruang ahli untuk bergerak di ruang publik. Begitu juga sebaliknya, aktor-aktor di ruang publik dilibatkan dalam pengambilan keputusan di ruang ahli.
Untuk itu, tata kelola risiko di ruang ahli harus berasal dari kajian mendalam dari ruang publik, sehingga rumusan dan implementasi kebijakan didasari kebutuhan masyarakat pula. Melalui konsep ini, narasi pengendalian karhutla diharapkan tidak hanya mengakomodir kepentingan pemerintah dan korporasi yang dirumuskan "di atas kertas" tetapi perlu memperhatikan kepentingan dan kearifan lokal.
Dalam kerja kolaboratif ini, pemerintah juga perlu memperhatikan peran Masyarakat Peduli Api (MPA) yang disebut sebagai ujung tombak pengendalian karhutla di tingkat desa. Komunitas itu memiliki tata kelola risiko sederhana untuk mengamankan area sekitar desanya. Mereka dapat menilai potensi karhutla, melakukan pemetaan kawasan rawan, dan melakukan pencegahan melalui patroli dan komunikasi persuasif kepada warga desa.
Pemahaman MPA tentang praktik tata kelola risiko itu mampu menghindarkan area desa dari ancaman karhutla. Mereka belajar dari krisis ekologi dan bencana kabut asap akibat karhutla tahun-tahun sebelumnya. Jika ribuan desa di kawasan rawan karhutla di Indonesia mampu membentuk organisasi serupa dan melakukan praktik pencegahan karhutla, risiko karhutla di desa dapat diatasi. Pemerintah tinggal fokus mengelola risiko di area open access dan kawasan konservasi yang rawan perambahan. Sedangkan korporasi fokus mengelola risiko di area konsesinya.
Masalahnya, tidak semua MPA mendapat pelatihan dan pendampingan. Masih banyak MPA setelah dibentuk sesudah itu mati. MPA yang hidup umumnya dibentuk atas inisiatif dan pendampingan LSM dan sebagian korporasi. Ironisnya, hampir semua MPA mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap komunitas yang dielu-elukan sebagai garda terdepan pencegahan karhutla. Agar kegiatan MPA berkelanjutan mereka berharap mendapat program pemberdayaan ekonomi agar anggotanya lebih mandiri dan sejahtera. Bukan hanya dijadikan sebagai alat pemadam kebakaran oleh pemerintah dan korporasi.
Melihat karhutla diikuti kabut asap yang masih terjadi, seharusnya pemerintah mengubah paradigma tata kelola risiko dan mendorong keterhubungan antara aktor-aktor di ruang ahli dan ruang publik. Melalui konsep ini diharapkan pengendalian karhutla tidak hanya mengakomodasi kepentingan politik dan bisnis, tetapi juga memperhatikan kepentingan publik. Maka, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan pengendalian karhutla berbasis pencegahan. Bukan sekadar kebijakan reaktif setelah kebakaran yang menyisakan bencana asap dan kerusakan ekologis.
M Badri dosen dan peneliti komunikasi di UIN Sultan Syarif Kasim Riau