Pekanbaru - Banjir di Riau menelan 2 korban jiwa. LSM lingkungan, Walhi, mengkritik program Gubernur Riau Syamsuar yang mengampanyekan 'Riau Green'.
"Tapi kita berharap tak hanya sekadar slogan saja, harus ada bukti nyata lewat program-program riil. Bukan hanya sekadar retorika semata. Belum genap setahun menjabat, dalam kasus banjir ini sudah 2 nyawa manusia melayang. Gubernur Riau harus lihat fakta ini," kata Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan kepada detikcom, Jumat (13/12/2019).
Menurutnya, banjir tahunan terjadi karena rusaknya kawasan tangkap air di sekitar sungai. Untuk itu, pemerintah diminta tegas menindak perusak lingkungan.
Setiap musim penghujan maka banjir dan sekarang dua nyawa balita melayang di Riau. Saat musim kemarau, maka kebakaran hutan pun terjadi. Inilah siklus tahunan yang selalu dihadapi masyarakat," ucapnya.
Banjir yang terjadi di sejumlah kabupaten di Riau, kata Riko, merupakan imbas rusaknya kawasan tangkapan air. Hutan alam yang dulu hijau di bantaran sungai dan bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit serta permukiman penduduk.
"Kawasan konservasi di Riau, seperti Bukit Rimbang Baling di Kabupaten Kuansing, sudah banyak dijarah kayunya. Hutan lindung Mahato, di Rohul, juga sudah jadi permukiman dan kebun sawit," kata Riko.
Dengan hancurnya kawasan hutan sebagai tangkapan air, sambungnya, banjir saban tahun kian parah di Riau. Ditambah lagi bagian hilir sungai kawasan gambut sebagai resapan air juga sudah banyak jadi hutan tanaman industri dan kebun sawit.
"Sudah tidak ada keseimbangan alam lagi. Imbasnya, kita sendiri yang merasakannya akibat deforestasi secara signifikan di Riau," kata Riko.
Sebagaimana diketahui, bocah usia 4 tahun di Kabupaten Rohul tewas terseret banjir. Menyusul kembali anak berusia 2 tahun juga tewas karena banjir di Kabupaten Kuansing.