Padang, Padangkita.com – Menggunakan sedikit kata pujian, Sumatera Barat (Sumbar) itu indah bak permata. Laut, pantai, gunung, bukit, danau dan sungai, adalah kecantikan Sumbar yang sebetulnya sulit diwakili kata. Tapi, di sisi lain Sumbar juga menyimpan potensi bencana. Ya, bencana yang setiap saat mengintai wilayah dan masyarakat di sumbar.
Apakah begitu takdirnya?
Sepanjang November-Desember 2019 ini, bencana demi bencana silih berganti terjadi di Sumbar. Hampir meliputi seluruh kabupaten/kota. Banjir, banjir bandang, tanah longsor, seperti meneror. Sedikitnya, banjir pada akhir tahun ini telah menelan empat korban jiwa. Dua orang tewas ketika banjir beberapa hari melanda Solok Selatan (Solsel), sejak Sabtu (7/12/2019) hingga Jumat (13/12/2019). Satu korban lagi terperosok masuk lubang ketika banjir menerjang Bukittinggi, Kamis (19/12/2019).
Di Limapuluh Kota, banjir seperti betah mampir, dan sulit diusir. Setiap hujan deras, sejumlah kawasan, otomatis terendam. Di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Riau ini, ratusan hektare lahan pertanian rusak, dan ratusan warga sempat dievakuasi untuk mengungsi. Bahkan, seperti langganan, jalan negara yang menghubungkan Sumbar-Riau di daerah ini, selalu “putus-nyambung”. Hujan deras, sisi perbukitan longsor menutup jalan. Bahkan, terakhir sebagian badan jalan ada yang amblas.
Kabupaten Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, Pesisir Selatan (Pessel), Pasaman, dan Pasaman Barat, juga tak kalah gawat. Sungai-sungai besar yang membelah daerah itu seperti mengamuk, “memuntahkan” lumpur, bebatuan, pohon dan material keras lainnya.
Sebetulnya, bencana besar sudah mulai terjadi November 2019. Persisnya Rabu (20/21/2019), banjir bandang atau galodo menerjang permukiman warga di Jorong Galapuang, Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Belasan rumah rusak berat, dan 48 warga kehilangan tempat tinggal. Bersamaan dengan galodo ini, hujan deras ketika itu juga menyebabkan seorang warga tewas, setelah tergelincir jatuh ke Danau Maninjau.
Terbaru, hujan deras mengguyur Kota Padang, Selasa (24/12/2019). Di pusat kota, sejumlah pohon tumbang, dan beberapa kawasan perumahan pun terendam banjir. Di pinggiran kota, persisnya pada ruas jalan Padang-Painan-Bengkulu, di Bukit Lampu, bongkahan batu besar terjun dari puncak bukit. Nahasnya, batu itu menimpa sebuah mobil yang melintas. Tiga orang yang berada dalam mobil pikap itu sempat kritis dan dilarikan ke rumah sakit.
Tetap Waspada
Sejak pagi hingga tengah malam tadi (25/12/2019), cuaca membaik. Seakan-akan memberi kesempatan kepada warga yang rumahnya terendam banjir, untuk bersih-bersih. Meski ada beberapa gumpalan awan terlihat di langit, namun cuaca pada umumnya cerah. Setidaknya begitu pantauan cuaca di Kota Padang.
Lalu apakah bencana sudah usai? Tunggu dulu!
Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) memperkirakan hujan dengan intensitas tinggi ternyata belum akan berhenti. Setidaknya, hingga Februari 2020 mendatang. Menyikapi hal itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno telah menetapkan Sumbar dengan Status Siaga Darurat Banjir, Banjir Bandang dan Tanah Longsor. Penetapan status ini dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Sumbar No. 360-975-2019.
Status siaga itu meliputi seluruh kabupaten/kota di Sumbar, tanpa terkecuali. Masa siaga darurat terhadap banjir, banjir bandang dan tanah longsor itu terhitung 20 Desember 2019 hingga 28 Februari 2020.
Baca juga:
Tindak lanjut dari surat keputusan gubernur itu, bupati/wali kota se-Sumbar agar melakukan inventarisasi daerah rawan bencana dan menyosialisasikannya kepada masyarakat. Lalu, mengaktifkan pos siaga di daerah rawan bencana untuk percepatan penanganan, menginventarisir dan memastikan kondisi peralatan kebencanaan di masing-masing daerah berfungsi dengan baik.
Bupati/wali kota mesti berkoordinasi dengan perangkat daerah, TNI, Polri, dan relawan, serta mengaktifkan rencana kontijensi sebagai rencana aksi penanggulangan bencana.
Luas Hutan Berkurang
Untuk meminimalisir dampak bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor, tak cukup hanya dengan penetapan status siaga darurat bencana. Sebab, tindakan itu hanya berguna pada jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu langkah strategis penyelamatan hutan.
Pasalnya, menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor disebabkan makin berkurangnya luas hutan di Sumbar.
KKI Warsi mencatat, ada 23.352 hektare hutan di Sumbar hilang atau ada yang berubah fungsi. Itu hanya pada rentang 2017-2019 saja.
“Penyebabnya (berkurangnya luas hutan) ada tiga, illegal logging, illegal mining, dan pembukaan lahan untuk penanaman komoditas. Daerah tertinggi di Sumbar yang lahan hutannya berkurang sangat masif, ada di empat kabupaten,” kata Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf, Senin (23/12), sebagaimana dikutip kumparan.
Empat kabupaten itu, kata Rudi adalah Solok Selatan, Kabupaten Solok, Dharmasraya, dan Sijunjung.
Warsi tak tinggal diam. Rudi mengaku sudah bekerjasama dengan pemerintah daerah mendorong peningkatan perluasan kewenangan masyarakat mengelola hutan, dengan skema perhutanan sosial.
“Total ada 200 ribuan masyarakat Sumbar yang diberi hak untuk mengelola hutan,” jelasnya.
Dibanding provinsi lain, kerusakan hutan di Sumbar memang tidak terlalu tinggi. Namun, hutan itu berada di perbukitan, sehingga kalau rusak atau berkurang sangat rentan menimbulkan bencana.
Secara umum, kawasan hutan Sumbar mencapai 56,3 persen dari total luas provinsi ini yang 4.229.730 hektare. Wilayah Sumbar didominasi oleh perbukitan, yang sekitar 39,08 persen wilayahnya berada pada kemiringan lebih dari 40 persen. Oleh sebab itu, sebagian besar kawasan hutan di Sumbar berstatus hutan lindung. Terdapat 606 sungai besar dan kecil, di antaranya 27 sungai lintas provinsi, 81 sungai lintas kabupaten/kota, dan 238 danau/embung dan telaga.
Selain pantai, kondisi alam itulah yang membuat Sumbar indah dikagumi hingga mancanegara. Namun, jika tak dijaga kelestariannya, alam sebetulnya tidak murka. Ia hanya memberi pertanda berupa bencana, bahwa ada yang tidak beres di hulunya. (*/pk-01)