AKURAT.CO, Tak bisa dimungkiri, Indonesia kesulitan mengatasi krisis ganda ekonomi sekaligus kesehatan publik akibat pandemi virus corona. Tak ayal, baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengumumkan kebijakan 'new normal' demi menggenjot perekonomian Tanah Air yang terus merosot. Namun, langkah ini justru disebut sebagai upaya kesengajaan yang menyesatkan dan mengaburkan tingginya risiko epidemi oleh sebuah media internasional, Asia Times.
Dimuat pada Senin (8/6), disebutkan bahwa para ahli telah memperingatkan pendekatan prematur untuk memulihkan ekonomi ini berisiko mengekspos rakyat Indonesia ke wabah lebih lanjut dan gangguan ekonomi jangka panjang yang lebih dalam. Bulan lalu, pakar tanggap darurat terkemuka, Dr. Corona Rintawan, meninggalkan Satuan Tugas Nasional COVID-19 Indonesia. Saat membagi pandangannya dengan Asia Times, dokter tersebut mengatakan pandemi COVID-19 telah membuat pemerintah Indonesia terpuruk. Ia juga menggarisbawahi bagaimana arahan 'New Normal' Jokowi bisa mengundang lebih banyak infeksi dan kebingungan, alih-alih membuat kurva membaik dan aman.
"Kami punya kekurangan kronis dalam tes dan pelacakan. Kapasitas kami untuk melakukan tes PCR jauh dari target 20 ribu tes per hari. Namun, sekarang semuanya dilonggarkan, ekonomi sedang digenjot, sekolah dibuka kembali, peribadahan massa diizinkan, semuanya atas nama narasi 'New Normal'," ungkap Corona.
Ia menilai kementerian berusaha menunjukkan dukungan mereka kepada presiden dengan berlomba menerapkan konsep 'New Normal' dalam waktu sesingkat mungkin. Padahal, masih belum jelas apakah masyarakat sudah siap atau apakah langkah itu memang diperlukan.
Menurut Corona, jika pembukaan kembali ekonomi, bersama dengan kegiatan sosial dan keagamaan lainnya, tidak dibarengi dengan langkah-langkah yang memperkuat sistem perawatan kesehatan, hal ini dapat mengarah ke 'ledakan infeksi'. Tanpa peraturan dan sanksi yang jelas, ia menegaskan new normal akan menjadi masalah besar. Perekonomian kembali dibuka, sementara saran ahli ilmiah agar pemerintah tidak meremehkan skala infeksi, kematian, dan kemungkinan gelombang infeksi baru diabaikan. Padahal, pemerintah mengumumkan tambahan kasus baru telah menembus angka 1.000 pada 6 Juni.
"Ada lonjakan besar yang diumumkan baru-baru ini. Itu ditelusuri kembali ke 2 minggu lalu, yang mungkin bertepatan dengan perayaan Idulfitri. Klaster infeksi baru ini akan menyebabkan lonjakan infeksi lebih lanjut di kemudian hari. Saat Anda mengatakan 'New Normal', orang-orang akan menganggapnya berarti semuanya kini sudah bisa kembali normal," sambung Corona.
Selain itu, ada kecurigaan pemerintah sengaja menahan tes massal dan kurang melaporkan kematian di kalangan pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pengawasan (ODP). Salah satu inisiatif pelaporan mandiri, Lapor COVID-19, memperkirakan jumlah kematian sebenarnya mungkin 2-3 kali lebih tinggi daripada laporan resminya. Menurut Corona, penyebabnya adalah pemerintah daerah takut disalahkan atas wabah baru saat kebijakan new normal sedang digalakkan.
"Contohnya, ada seorang PDP meninggal dan baru diketahui positif beberapa hari kemudian. Beberapa pemerintah daerah, saya tidak akan mengatakan yang mana, pada saat itu melaporkan bahwa almarhum negatif COVID-19, meski hasil tesnya belum keluar. Ini karena mereka tidak mau dapat masalah jika jumlah kematiannya kemudian melonjak. Pemimpin daerah mana yang ingin disalahkan saat 'new normal' sedang diterapkan?" tambahnya.
Hingga akhir Mei, Gugus Tugas Nasional COVID-19 melaporkan sekitar 300.545 tes telah dilakukan untuk 205.165 orang. Artinya, tingkat tes COVID-19 di Tanah Air mencapai 1.100 per 1 juta penduduk. Ini kira-kira setara dengan Afganistan, salah satu negara dengan tingkat tes terendah di dunia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan stimulus ekonomi COVID-19 hingga USD 48 miliar (Rp677 triliun). Sekitar 13 persen dari anggaran ini ditujukan untuk layanan kesehatan. Di sisi lain, tes cepat dan PCR tidak digratiskan atau tidak digelar besar-besaran untuk secara akurat mengukur dan menganalisis jumlah infeksi di negeri ini. Asia Times menyebut layanan kesehatan Indonesia tidak siap untuk indentifikasi cepat dan menghadapi gelombang baru epidemi.
Sekitar USD 400 juta (Rp5,6 triliun) dari dana stimulus baru ditujukan untuk komponen perawatan kesehatan, berupa tunjangan dan insentif untuk petugas medis COVID-19. Yang mengejutkan, reaksi kalangan petugas medis terhadap pengumuman ini biasa saja. Asia Times menilai adanya kekecewaan yang dirasakan secara luas pada janji-janji sebelumnya yang dilaporkan tak pernah terwujud.
Porsi terbesar dari anggaran COVID-19 ditujukan untuk dukungan kesejahteraan. Sebagian besar berupa bantuan tunai, bantuan makanan, dan subsidi listrik. Sementara itu, banyak pemberian bantuan tunai yang tumpang-tindih, bantuan makanan dan skema kesejahteraan yang membingungkan keluarga miskin dan berpenghasilan rendah, dan banyak yang kesulitan memahami bagaimana dan di mana mengajukan permohonan bantuan.
Di sisi lain, tes COVID-19 tidak tercakup dalam USD 48 miliar (Rp677 triliun) bantuan COVID-19 dan anggaran stimulus ekonomi itu. Tes ini juga tidak murah di Indonesia. Biayanya sekitar USD 25-30 untuk tes cepat dan USD 70-150 untuk tes swab atau PCR.
Meski ada tanda-tanda ketidakmampuan dan kebingungan, Asia Times mempertanyakan Jokowi yang belum mengganti satu pun anggota kabinetnya. Dengan indikasi bahwa kondisi infeksi COVID-19 sebenarnya dan kematian yang tak dilaporkan, presiden Indonesia ini dinilai terburu-buru untuk melanjutkan kenormalan yang berisiko membawa negara ke wabah baru yang lebih besar. []