KOMPAS.com - Banjir bandang menerjang beberapa wilayah di Sukabumi, Jawa Barat, Senin (21/9/2020) sekitar pukul 17.00 WIB.
Peristiwa tersebut terjadi saat sejumlah daerah di Sukabumi diguyur hujan dengan intensitas tinggi beberapa jam. Hingga Selasa (22/9/2020), setidaknya 11 desa dan 11 kampung yang terdampak.
Masing-masing yakni, Kecamatan Cicurug meliputi Desa Cisaat (Kampung Cipari), Pasawahan (Cibuntu), Cicurug (Aspol), Mekarsari (Kampung Nyangkowek dan Kampung Lio) dan Bangbayang (Perum Setia Budi).
Kecamatan Parungkuda meliputi Desa Langensari (Kampung Bojong Astana) dan Kompa (Bantar).
Kecamatan Cidahu yakni Desa Babakanpari (Kamping Bojong Astana), Podokkaso Tengah (Bantar), Jayabakti (Cibojong) dan Cidahu.
Selain itu, 133 kepala keluarga (KK) atau 431 jiwa terdampak banjir bandang.
Sejumlah warga mengungsi ke tempat saudara dan tetangga terdekat.
Sementara itu, kerusakan akibat banjir bandang mencakup rumah rusak berat 47 unit, rusak sedang 41 dan rusak ringan 45.
Secara umum, wilayah Indonesia belum memasuki musim penghujan.
Lantas, mengapa banjir bandang bisa terjadi ketika belum masuk musim penghujan?
Potensi hujan tidak selalu saat musim penghujan
Kepala Subbid Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) Agie Wandala Putra mengatakan, potensi hujan lebat tidak semata terjadi pada periode musim hujan.
Dan hal itu, lanjut Agie, perlu diedukasikan kepada masyarakat.
"Termasuks saat ini ketika kita baru memasuki masa peralihan sudah terdapat energi atsmofer yang cukup besar yang dapat membuat hujan memiliki intensitas tinggi," kata Agie saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/9/2020).
Agie menambahkan, itu menunjukkan betapa uniknya wilayah Indonesia yang berada benua maritim tropis dan melimpahnya curah hujan tetapi perlu juga memahami behaviour hujan ekstrem.
Jika ditinjau dari analisis meteorologi, hujan lebat yang terjadi pada Senin, 21 September 2020 sore hingga Selasa, 22 September 2020 dini hari, terjadi karena beberapa faktor.
Faktor-faktor
Pertama, terpantaunya gangguan gelombang ekuator.
"Yakni gelombang Equatoria Rossby di Jawa bagian Barat yang mampu meningkatkan proses pembentukan awan di wilayah Banten, Jawa Barat dan Jabodetabek," ucap Agie.
Kedua, adanya anomali suhu muka laut atau peningkatan suhu muka laut dibandingkan dengan normalnya.
Hal ini terjadi di perairan Selatan Banten-Jawa Barat yang memberikan suplai uap air untuk pembentukan awan-awan hujan di wilayah Jawa Bagian Barat, khususnya di Jabodetabek.
Ketiga, terpantaunya pola pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi).
"Faktor ketiga terjadi di Jawa Barat yang meningkatkan proses pembentukan awan hujan khususnya di Jabodetabek," katanya lagi.
Terakhir, atmosfer yang labil di Jawa bagian Barat yang dapat mengintensifkan proses pembentukan awan hujan di wilayah Jabodetabek.
Hal-hal tersebut, kata Agie, mengakibatkan terjadi hujan dengan intensitas curah hujan dan volumnya sangat tinggi dan dalam periode singkat.
"Ini yang berkaitan sebagai pemicu banjir bandang, meskipun kita harus lihat bagaiman kondisi permukaan tanah apakah mampu menampung jumlah curah hujan tersebut atau tidak. Seperti yang terjadi di Sukabumi," jelasnya.