CIREBON – Penanganan bencana banjir di sejumlah lokasi di Kabupaten Cirebon beberapa waktu lalu harus dilakukan secara terintegrasi dan komprehensif.
Hal tersebut diungkapkan Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina ditemui usai menghadiri acara Forum Group Discussion (FGD) Desain Mitigasi Bencana Wilayah Ciayumajakuning, di salah satu hotel berbintang wilayah Kecamatan Kedawung Kabupaten Cirebon, Selasa (16/3).
Selly mengatakan, di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning), selain bencana banjir, tanah longsor dan angin kencang turut menghantui.
“Sayangnya, penanganannya hanya di level masing-masing daerah, tanpa terintegrasi satu sama lainnya. Belum lagi upaya mitigasi yang belum optimal. Mitigasi bencana di wilayah Ciayumajakuning harus terkoneksi dan terintegrasi, baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota,”kata mantan Wakil Bupati Cirebon ini.
Selly menuturkan, pemerintah daerah memang memiliki program dan ketersediaan anggaran untuk mitigasi bencana. Tapi sayangnya, tidak punya grand design atau blue print mengenai penanggulangan bencana yang akan dikerjakan bersama-sama antardaerah.
“Melalui FGD ini kita rumuskan kesimpulan, rencana aksi untuk mitigasi maupun penanganan bencana. Selanjutnya kesimpulan ini untuk pemerintah daerah, provinsi maupun pusat. Agar semua program penanggulangan bencana itu terintegrasi,” tutur politisi PDI Perjuangan dari Dapil VIII Jawa Barat (Cirebon-Indramayu) itu.
Dengan demikian, Selly menambahkan, antar pemerintah daerah di Ciayumajakuning memiliki roadmap penanggulangan bencana, baik jangka panjang, menengah maupun jangka pendek. Roadmap ini dinilai penting, termasuk untuk mengantisipasi terjadinya dampak bencana yang dipicu program pembangunan yang dilakukan pemerintah.
“Seperti disampaikan pula oleh Bapenas, bahwa program pembangunan yang dilakukan pemerintah juga harus memperhatikan resiko bencana. Misalnya, ketika pembangunan jalan tol, ternyata menyebabkan banjir di titik tertentu di Cirebon timur, karena mengganggu aliran sungai,” tuturnya.
Selly menyebutkan, seiring dengan kebutuhan grand design mitigasi bencana, dibutuhkan juga regulasi yang menjamin program mitigasi maupun penanggulangan bencana bisa berjalan optimal. Tidak terpengaruh oleh pergantian kepala daerah maupun faktor lainnya.
“Perlu regulasi yang disepakati bersama untuk mengatur, siapapun kepala daerahnya, harus menjalankan program yang sudah dibuat. Artinya, penanggulangan bencana harus masuk ke RPJMD maupun RPJPD, serta renstra SKPD untuk dijalankan bersama,” sebutnya.
Sementara itu, Deputi bidang pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan mengapresiasi inisiasi Selly untuk mengadakan FGD tersebut.
“Upaya preventif dalam penyikapan terhadap potensi bencana sangatlah penting. Termasuk penanganan secara komprehensif dan terintegrasi. Ini salah satu pemikiran cerdas. Biasanya kita hanya berpikir responsif. Tapi beliau (Selly, red) berpikir, harus preventif juga. Tidak bisa parsial masing-masing lembaga, maka harus dibicarakan secara sinergi. Makanya kita buat FGD ini,” ucapnya
Lilik mengaku tidak mudah menyusun rencana aksi bersama lintas daerah. Namun jika semua pihak berkomitmen, bisa direalisasikan bersama.
“Hal yang patut diperhatikan juga adalah sinkronisasi rencana aksi tersebut dengan rencana pembangunan di semua tingkatan. Konsekuensi kita tinggal di Indonesia, memang harus prepare terhadap ancaman bencana. Negara kita memang kaya raya, tapi memiliki konsekuensi potensi bencana,” akunya.
Masih kata Lilik, ancaman bencana hidrometrologi yang mengintai sejumlah daerah di Indonesia tidak bisa hanya diselesaikan oleh masing-masing daerah secara mandiri. Dibutuhkan solusi yang permanen, terintegrasi dan melibatkan semua pihak.
“FGD ini tujuannya kita memiliki grand design yang memuat rencana aksi, tidak hanya tahun ini, tapi tiga atau lima tahun ke depan,” katanya. Disebutkan Lilik pula, potensi banjir memang ada di sekeliling wilayah Pantura.
Di tempat yang sama, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung (BBWS-CC), Ismail Widadi mengatakan, banjir yang terjadi di wilayah Ciayumajakuning dipicu limpasan air dari sungai. Penampang sungainya tidak mampu menampung debit air tinggi.
“Secara umun, faktor utamanya sebagaimana BMKG menyampaikan, karena curah hujan yang ekstrem dimana-mana. Bukan hanya di Ciayumajakuning. Tapi se-Indonesia mengalami hujan ekstrem,” ungkap Ismail.
Kalau di Ciayumajakuning, sambung Ismail, kondisi daerahnya dataran. Sehingga relatif tergenang.
“Bagaimana caranya? Buat drainase sebagus mungkin. Kalau daerahnya relatif landai, ada kelerengan, sungainya diperdalam, dilebarkan, airnya akan lebih cepat ke laut,” jelasnya.
Ismail menyebutkan, dari 25 sungai yang ada di bawah kewenangan BBWSCC memiliki tingkat sedimentasi yang merata. Untuk mengurangi potensi banjir diantaranya dengan membangun bendungan di Kuningan, sampai ke pembangunan waduk Jatigede. “Ini efektif menampung air,” tegasnya.
Perlu diketahui, FGD yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu dihadiri oleh sejumlah pejabat dari kementerian terkait, pemerintah provinsi, serta pemerintah daerah di Ciayumajakuning.
Target utamanya adalah menyusun desain mitigasi bencana berbasis interkonektivitas program pusat dan daerah. (rdh)