DENPASAR - Pemerintah Indonesia menyelenggarakan the 7th Senior Disaster Management Officials Forum (SDMOF) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 21–22 Agustus 2013 di Denpasar, Bali. Pertemuan yang mengangkat tema “Mendorong Pengurangan Risiko dan Peningkatan Ketangguhan Menghadapi Bencana di Kawasan Asia Pasifik” ini diikuti perwakilan pemerintah dan lembaga internasional dari setidaknya 13 negara. Pertemuan diharapkan menghasilkan poin-poin penting bagi peningkatan penanggulangan bencana di kawasan ini.
Laporan ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) dan UNISDR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction) tahun 2012 menyebutkan bahwa Asia Pasifik merupakan wilayah paling rawan bencana di dunia. Kejadian bencana dapat berdampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di sisi lain, banyak kelompok rentan, seperti keluarga miskin, yang situasi kehidupannya akan makin sulit jika terkena bencana. Anggota APEC menyadari pentingnya memperkuat kerjasama dalam pengurangan risiko bencana dan peningkatan ketangguhan menghadapi bencana.
Hampir dua juta orang meninggal akibat bencana antara tahun 1970 hingga 2011, atau sekitar 75% dari korban bencana di dunia. Sementara itu, terkait dengan kerugian ekonomi, gempa bumi dan tsunami di Jepang dan banjir di Asia Tenggara yang terjadi pada 2011 menyebabkan kerugian ekonomi regional sebesar USD294 triliun, atau sekitar 80% dari total kerugian dunia akibat bencana.
The 7th SDMOF akan membahas beberapa topik kebencanaan, antara lain (1) peningkatan kapasitas negara-negara di kawasan Asia Pasifik, (2) peran pihak swasta dalam pengurangan risiko bencana, dan (3) pembahasan lessons learned mengenai kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana. Di samping itu, SDMOF diharapkan dapat menghasilkan sejumlah rekomendasi, kesepakatan, dan kerjasama terkait pengurangan risiko bencana, untuk dibawa ke forum Konferensi Tingkat Tinggi APEC bulan Oktober 2013. Rekomendasi tersebut antara lain terkait potensi kerjasama antar negara APEC untuk implementasi teknologi, keterlibatan pihak swasta, dan penguatan usaha kecil dan menengah yang tangguh menghadapi bencana.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif membuka secara resmi SDMOF yang diselenggarakan di Hotel Kartika Plaza, Bali (21/08). Dalam sambutan pembukaan, Syamsul Maarif mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia memahami betul dampak bencana terhadap aspek sosial dan ekonomi. Indonesia berkomitmen meningkatkan upaya-upaya pengurangan risiko melalui berbagai cara, termasuk pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terkait hal tersebut, Syamsul Maarif mengatakan salah satu tantangan penanggulangan bencana adalah menjembatani celah antara analisis ilmiah dan tindakan di tingkat komunitas. “Penilaian risiko bencana lebih didominasi oleh parameter ilmiah yang seringkali tanpa sadar terlepas dari kondisi faktual di masyarakat. Ini tidak boleh terjadi. Proses analisis risiko, pengambilan kebijakan, dan seluruh upaya penanggulangan bencana harus berangkat dari kebutuhan riil di masyarakat,” katanya.
Menurut Kepala BNPB, pengalaman yang besar dan berharga dari setiap negara dan organisasi yang hadir merupakan bahan yang bermanfaat untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan di kawasan. “Setiap kejadian bencana selalu memberikan banyak hal untuk dipelajari, memperkaya pengalaman serta keahlian dalam merespon situasi bencana,” ungkap Syamsul Maarif.
SDMOF dihadiri 46 perwakilan delegasi dari 13 negara, serta 10 perwakilan lembaga internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain itu, perwakilan kementerian/lembaga terkait serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dari sejumlah provinsi. SDMOF ke-6 sebelumnya diselenggarakan di Vlapostok, Rusia, pada 9-10 Oktober 2012 dengan menghasilkan beberapa dokumen. Sejak 2005, APEC semakin meningkatkan peran dalam penanggulangan bencana di kawasan tersebut. Bagi Indonesia, penyelenggaraan SDMOF ini diharapkan memberikan manfaat sebagai upaya pengarusutamaan PRB dan penguatan kapasitas di tingkat masyarakat. Di samping itu, pemerintah daerah dapat semakin siap dalam kesiapsiagaan baik dari sisi sumber daya dan kebijakan di tingkat lokal.