Sebuah penelitian menunjukkan porsi populasi global yang berisiko terdampak banjir naik hampir seperempat selama dua dekade terakhir.
Citra satelit menunjukkan jumlah orang yang berisiko terdampak banjir jauh lebih besar daripada yang diprediksi oleh model komputer.
Analisis menunjukkan perpindahan penduduk dan semakin banyaknya bencana banjir, menjadi faktor di balik peningkatan pesat dari penduduk yang rentan ini.
Pada tahun 2030, jutaan orang lainnya akan mengalami peningkatan banjir karena perubahan iklim dan demografi, kata para peneliti.
Penelitian itu juga mencatat beberapa wilayah yang terdampak banjir yang parah akibat intensitas hujan yang tinggi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir.
Mereka memperkirakan pada tahun 2030 akan ada tambahan 25 negara yang mengalami peningkatan bencana banjir, selain 32 negara yang sudah terkena dampak saat ini.
"Kami memperkirakan akan ada tambahan 179,2 juta orang baru yang terdampak banjir pada tahun 2030 di zona banjir seratus tahunan, dan sebagian besar karena perubahan demografi," kata kepala peneliti, Dr Beth Tellman, dari University of Arizona.
"Sekitar 50 juta orang tambahan orang yang akan terkena dampak banjir, kami pikir, sebagai dampak langsung dari perubahan," tambah perempuan yang juga menjabat sebagai kepala pejabat sains di Cloud to Street, sebuah platform pelacakan global.
Banjir merupakan bencana lingkungan yang memakan korban lebih banyak ketimbang bencana lain, kata para peneliti.
Pandangan ini terus bergema selama beberapa pekan terakhir, dengan maraknya bencana banjir besar yang menghancurkan kehidupan dan harga benda di sejumlah negara.
Di Jerman dan China, rekor curah hujan yang tinggi telah membuat penanganan kewalahan, di tengah perdebatan terkait antisipasi yang sudah dilakukan.
Salah satu tantangan dari banjir, menurut para peneliti, adalah sebagian besar peta yang memperkirakan terjadinya banjir didasarkan pada model.
Peta ini mensimulasikan banjir berdasarkan informasi seperti ketinggian, curah hujan dan data dari sensor tanah.
Namun peta itu memiliki batasan yang signifikan: mereka gagal memperhitungkan perubahan populasi atau infrastruktur, serta tidak dapat memprediksi kejadian acak seperti jebolnya bendungan.
Jadi ketika Badai Harvey melanda Texas, AS, pada 2017, sekitar 80.000 rumah yang terendam banjir tidak ada dalam peta risiko pemerintah.
Dalam studi terbaru ini, para peneliti melihat citra satelit harian untuk memperkirakan tingkat banjir dan jumlah orang yang terdampak lebih dari 900 peristiwa banjir besar antara tahun 2000 dan 2018.
Mereka menemukan bahwa antara 255 dan 290 juta orang terkena dampak langsung dari bencana banjir.
Selain itu, antara tahun 2000 hingga 2015, jumlah orang yang tinggal di lokasi banjir ini meningkat 58-86 juta.
Ini merupakan peningkatan 20-24% dalam proporsi populasi dunia yang terdampak banjir, sekitar 10 kali lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Peningkatan itu tidak merata di seluruh dunia. Negara-negara dengan peningkatan risiko banjir terutama di Asia dan Afrika sub-Sahara.
Sementara negara-negara Eropa dan Amerika Utara, risikonya stabil atau menurun.
Sekitar 90% dari bencana banjir yang diamati oleh para ilmuwan terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara, di sekitar lembah sungai besar termasuk Sungai Indus, Sungai Gangga-Brahmaputra dan Sungai Mekong.
"Kami mampu mengamati banjir di Asia Tenggara lebih banyak daripada tempat lain, karena pergerakannya sangat lambat dan ketika awan bergerak, kami bisa mendapatkan gambaran banjir yang sangat jelas," jelas Tellman.
"Tapi ada juga banyak banjir, banjir yang berdampak sangat besar di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
"Ada juga populasi manusia yang besar yang menetap di dekat sungai untuk alasan yang sangat penting [seperti] pertanian," jelas Dr Tellman.
Kendati begitu, ia menambahkan bahwa ini "sayangnya juga membuat orang terdampak bencana banjir".
Salah satu aspek yang membingungkan dari penelitian ini adalah mengapa orang-orang di banyak negara pindah ke daerah rawan banjir ketimbang menjauh lokasi tersebut.
Sementara populasi global tumbuh lebih dari 18% antara tahun 2000 dan 2015, di daerah banjir yang diamati, populasi meningkat sebesar 34%.
Tellman mengatakan salah satu aspek dari pertumbuhan populasi ini terkait dengan perubahan iklim, yang mengubah lanskap lokasi dataran banjir untuk menampung lebih banyak orang.
Tetapi ekonomi juga memainkan peran penting.
"Area lahan yang sering banjir biasanya memiliki harga sangat murah untuk pembangunan permukiman, jadi di Guwahati, India dan Dhaka di Bangladsh, kita melihat orang-orang berpindah [ke area rawan banjir], sehingga area itu menjadi permukiman," jelasnya.
"Mungkin bukan pilihan banyak orang untuk tinggal di daerah itu karena mereka mungkin tidak memiliki banyak pilihan.
"Jika ada program perumahan umum yang bagus atau pilihan lain, saya pikir orang mungkin tidak akan memilih untuk tinggal di daerah berbahaya."
Para peneliti berkata kunci penyebab banjir adalah hujan deras, badai tropis dan atau gelombang pasang, dan salju dan es yang mencair.
Jebolnya bendungan mewakili kurang dari 2% banjir yang diamati dalam penelitian itu, kendati begitu insiden itu mencatat peningkatan tertinggi dalam hal populasi yang terpapar.
Melihat ke masa depan, para penulis mengatakan mereka memperkirakan jumlah yang berisiko banjir akan terus meningkat.
Basis data di balik penelitian ini - yang disebut sebagai yang terbesar dan paling akurat yang pernah dikompilasi - bisa dibuka di sini.
Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Nature.
Seberapa parah banjir di Indonesia?
Menurut laman Global Flood Database, Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara-negara yang mengalami peningkatan bencana banjir pada 2030.
Namun, laman itu juga mencatat beberapa wilayah yang terdampak banjir yang parah akibat intensitas hujan yang tinggi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir.
Di laman basis data itu terpampang dua katagori, yaitu jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal dan luas wilayah yang terdampak bencana banjir.
Untuk katagori jumlah warga yang kehilangan tempat tinggal, paling parah terjadi pada banjir di sebagian Sulawesi dan Sumatra pada 10 Desember 2003.
Laman itu mencatat durasi hujan di dua kawasan itu selama 44 hari dan mencatat korban sebanyak 148 orang.
Lalu 350.000 orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir yang merendam total wilayah seluas lebih dari 2.800 km per segi.
"Kawasan ini menunjukkan peningkatan 17,9 persen populasi yang terkena banjir selama tahun 2000 hingga 2015," tulis laman Global Flood Database.
Untuk katagori wilayah yang paling terdampak bencana banjir, situs itu juga menunjukkan peta di wilayah Kalimantan Timur, Tengah dan Selatan.
Pada 16 April 2010, akibat hujan selama 16 hari, kawasan itu dilanda banjir parah yang menggenangi total wilayah 6.100 km per segi.
Tidak tercatat ada korban jiwa, namun "kawasan ini menunjukkan peningkatan 15,7% populasi yang terkena banjir selama tahun 2000 hingga 2015."