Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda, dunia harus dihadapkan pada sebuah ancaman baru. Ancaman itu yakni soal perubahan iklim.
Ancaman bencana baru ini mulai digaungkan lagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan internasional itu mengatakan ini adalah "kode merah untuk kemanusiaan".
Tak hanya PBB, beberapa ilmuwan dan pemimpin dunia juga memberikan alarm yang sama. Mereka menyebut bahwa situasi global saat ini sudah memprihatinkan dan harus mendapatkan penanganan segera.
Ini setidaknya tertuang dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Disebutkan bahwa suhu dunia mungkin memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an.
Kenaikan ini disebut sangat mengancam negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik.Dengan meningkatnya suhu di atas 1,5°C, masyarakat Pasifik kemungkinan besar akan mengalami dampak perubahan iklim yang semakin menghancurkan.
Salah seorang profesor penelitian itu, Mark Howden yang juga Wakil Ketua Panel IPCC menyebut bahwa fenomena perubahan iklim ini akan memancing beberapa bencana berat yang akan dialami negara seperti Vanuatu dan Fiji. Mereka saat ini disebut mengalami ancaman dibanjiri air laut dan badai besar.
"Meskipun Pasifik diproyeksikan secara umum menghadapi lebih sedikit topan di bawah pemanasan di masa depan, mereka cenderung menjadi lebih intens," katanya.
"Ini, ditambah dengan kenaikan permukaan laut, akan memperburuk peristiwa gelombang badai mematikan di negara-negara seperti Fiji dan Vanuatu."
Tak hanya itu, kenaikan suhu dunia yang menaikkan ketinggian air laut juga disebut akan mengancam cadangan air bersih negara-negara seperti Mikronesia. Misalnya, penurunan 20% dalam ketersediaan air tanah diproyeksikan pada tahun 2050 di pulau atol karang Negara Federasi Mikronesia (FSM).
"Di bawah skenario kenaikan permukaan laut yang tinggi, ketersediaan air tanah segar di FSM dapat menurun lebih dari setengahnya karena intrusi air laut dan peristiwa kekeringan," tambanya.
Ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa pekan lalu.
Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, presiden negara adidaya itu menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia.
"Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahaniklim," tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov akhir bulan lalu
"...Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?"
Lalu apakah dunia sudah siap dengan ini?
Pekan lalu, China, yang selama ini dianggap jadi biang kerok kemunculan pandemi Covid-19 dan juga penghasil emisi karbon terbesar, justru mulai makin waspada soal masalah perubahan iklim.
Negeri Tirai Bambu ini akan merilis rencana terbaru untuk mengurangi emisi karbon. Langkah ini sebagai upaya konkret dari negara ini dalam menekan masalah perubahan iklim.
Utusan China mengatakan akan merilis rencana terbaru pengurangan emisi karbon itu dalam waktu dekat, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.
"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip AFP.
"Kemudian kita akan berbicara tentang dukungan itu untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow," tambahnya.
Pertemuan COP26 merupakan langkah penting untuk membuat negara-negara di dunia menyetujui jenis pengurangan emisi karbon guna mencegah bencana perubahan iklim.
Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara dimaksudkan untuk menyerahkan target iklim 2030 yang diperbarui sebelum COP26. Tetapi hampir setengahnya belum melakukannya, termasuk penghasil emisi global utama seperti China dan India.
PBB mendorong koalisi global yang berkomitmen untuk nol emisi karbon bersih pada tahun 2050 yang akan mencakup semua negara. China telah mengatakan akan bertujuan untuk netralitas karbon pada tahun 2060.
Perjanjian Paris 2015 mengadopsi janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan planet pada "jauh di bawah" dua derajat celcius dan batas aspirasi pada 1,5 derajat.
Sebelumnya China enggan berkomitmen Perjanjian Paris. Negeri Tirai Bambu berpendapat negara-negara industri, terutama di Barat, bisa menjadi kaya sebelum kontrol pengurangan karbon disahkan.