PIKIRAN RAKYAT - Lebih dari 7,7 juta orang di Sudan Selatan terancam kelaparan.
Krisis pangan tersebut disebabkan banjir, kekeringan, hinggq bentrokan senjata yang kian memanas di Sudan Selatanm
Hal ini diketahui usai PBB dan pemerintah Sudan Selatan, menjelaskan bahwa cuaca ekstrim, dan bentrokan senjata yang terjadi beberapa tahun ini menyebabkan jumlah pengungsi mengalami peningkatan.
“Kami akan terus menghadapi situasi yang kami alami di Sudan Selatan jika kami tidak memulai transisi itu untuk memastikan perdamaian di tingkat masyarakat,” kata Koordinator Kemanusiaan PBB di Sudan Selatan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Al Jazeera pada Minggu, 10 April 2022.
Sementara itu, laporan yang dikeluarkan oleh PBB dan pemerintah Sudan Selatan mengatakan bahwa, populasi yang paling menderita kekurangan pangan terletak di negara-negara Unity, Jonglei, Upper Nile, Warrap, dan Equatorial Timur.
“Sampai konflik diatasi, kami akan terus melihat angka-angka ini meningkat karena itu artinya orang tidak memiliki akses yang aman ke tanah mereka untuk bercocok tanam,” kata Adeyinka Badejo, penjabat direktur negara Program Pangan Dunia di Sudan Selatan.
“Kami mengimbau para pemimpin negara untuk terus menuju jalan perdamaian," tambahnya.
Dalam menghadapi situasi krisis ini, Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan wakil presidennya, Riek Machar, telah sepakat untuk melanjutkan pembicaraan tentang mengintegrasikan pasukan saingan mereka di bawah komando terpadu setelah berminggu-minggu berkonflik.
Terlepas dari kesepakatan itu, pertempuran baru meletus pada hari Jumat antara pemerintah dan pasukan oposisi di Negara Persatuan yang kaya minyak.
Meskipun menandatangani kesepakatan damai pada 2018 yang mengakhiri perang saudara selama lima tahun, dan membentuk pemerintah persatuan dua tahun lalu, bentrokan antara pihak lawan Kiir dan Machar terus berlanjut di tengah ketidaksepakatan, tentang bagaimana mereka akan berbagi kekuasaan.
Diketahui, Sudan Selatan terus mengalami ketidakstabilan sejak merdeka pada 2011. Kedua pemimpin itu pun telah dikritik oleh PBB atas peran mereka dalam mengendalikan kekerasan, serta karena dianggap mencekik kebebasan politik dan telah menjarah uang kas negara.
Selain itu, konflik yang terjadi di Sudan Selatan pun telah banyak menelan korban. Tercatat hampir 400.000 jiwa telah mengungsi dan meninggalkan rumah mereka.***