Gempa bukanlah hal yang yang asing bagi Taiwan mengingat letaknya yang di dekat pertemuan dua lempeng tektonik. Namun, Taiwan justru banyak dipuji karena mampu memitigasi bencana alam tersebut. Apa yang bisa ditiru Indonesia – yang juga rawan gempa – dari Taiwan?
Indra Putra Taufani, 41 tahun, yang tengah menekuni studi S3 di Hualien dan bekerja paruh waktu di laboratorium Hualien Tzu Chi Hospital baru saja hendak menaiki lift menuju tempat kerjanya di lantai sembilan saat gempa mulai mengguncang pada Rabu (03/04).
Pria asal Yogyakarta itu sudah tinggal di Taiwan sejak 2018. Jadi, baginya gempa adalah hal biasa.
“Patokan saya adalah orang Taiwan. Kalau mereka lari, saya ikut lari,” ujar Indra kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia via sambungan telepon, Kamis (04/04).
Begitu Indra melihat orang-orang Taiwan mulai berebut lari keluar rumah sakit, dia pun ikut kabur. Di luar gedung, Indra melihat banyak fasilitas yang rusak seperti hidran air yang bocor.
Walau tetap waspada karena sempat ada tremor susulan, Indra memuji mitigasi bencana di Taiwan. Dari beberapa gempa besar yang dialami di negara itu, tampak “prosedur standar penanganan gempa dilakukan dengan baik” di fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, dan perkantoran.
“Orang-orang dan anak-anak tidak panik dan segera berkumpul di titik kumpul sampai dinyatakan aman,” ujar Indra yang sebelumnya tinggal di Taichung sebelum pindah ke Hualien tiga tahun silam.
“Sistem peringatan dini juga sangat bagus. Bahkan saya pernah mendapatkan peringatan dini beberapa detik sebelum gempa besar terjadi. Artinya sistem bekerja cukup cepat,” aku Indra.
Indra juga memuji penanggulangan gempa dari otoritas Taiwan. Dia bercerita betapa helikopter-helikopter dari regu penyelamat langsung terbang mengevaluasi keadaan pascagempa.
Felix, 25 tahun, seorang WNI yang bekerja sebagai staf teknis di Kota Taoyuan – sekitar 3,5 jam berkendara dari Hualien – juga kaget dengan gempa tersebut meski posisinya jauh.
“Ini gempa terdahsyat selama lima tahun berada di Taiwan,” ujarnya.
Felix mengaku sedang rehat di asramanya karena Rabu (03/04) adalah jadwal liburnya. Dia mengaku mendapat notifikasi peringatan bahwa gempa berpotensi menimbulkan tsunami dan warga diimbau mengungsi ke shelter atau bunker terdekat
“Beberapa barang saya ikut berjatuhan ke lantai karena guncangan gempa,” ujar Felix.
“Jadi was-was juga karena diinfokan bakal ada gempa susulan untuk tiga sampai empat hari ke depan.”
Meski begitu, senada dengan Indra, Felix memuji sistem penanganan gempa di Taiwan. Menurutnya, otoritas di Taiwan memberikan subsidi bagi warga yang mau memeriksa ulang ketahanan bangunan dari guncangan gempa.
Selain itu, sistem peringatan dini di Taiwan dihubungkan penyedia layanan telekomunikasi ke telepon genggam warga.
“Kayaknya Indonesia harus benar-benar mencontoh [Taiwan],” ujarnya.
Gempa yang melanda pantai timur Taiwan pada Rabu (03/04) pada pukul 07.58 waktu setempat dengan kekuatan 7,4 skala Richter adalah yang paling kuat dalam seperempat abad terakhir.
Setidaknya sembilan orang dinyatakan tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Meski sejumlah gedung di Hualien rusak, tetapi dampaknya di ibu kota Taipei cenderung minim.
Banyak pakar memuji kesiapsiagaan gempa yang luar biasa di Taiwan mengingat dampak bencana tersebut terhadap 23 juta penduduk pulau ini relatif bisa ditekan.
“Kesiapan gempa Taiwan adalah salah satu yang paling maju di dunia,” ujar Stephen Gao, pakar seismologi yang juga profesor di Missouri University of Science and Technology.
Sebagai perbandingan, di Indonesia, gempa seperti yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat pada November 2022 dengan potensi magnitudo 6,7 menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.
Apa yang bisa Indonesia – negara yang juga rawan gempa – pelajari dari Taiwan?
Mengapa Taiwan rawan gempa?
Taiwan terletak di sepanjang "Cincin Api" Pasifik – barisan patahan seismik yang mengelilingi Samudra Pasifik, tempat terjadinya sebagian besar gempa bumi dunia.
Wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi karena tekanan yang terakumulasi dari interaksi dua lempeng tektonik: Lempeng Laut Filipina dan Lempeng Eurasia, seperti dilansir kantor berita Associated Press.
Pergerakan kedua lempeng ini dapat menyebabkan pelepasan energi secara tiba-tiba dalam bentuk gempa bumi.
Sebagian besar daratan Taiwan yang rentan akan gempa juga terpusat di sepanjang pesisir timur – sebagian besar terdiri dari pedesaan yang penduduknya jarang. Di sisi lain, wilayah ini juga menjadi daya tarik utama bagi wisatawan dengan pegunungan yang terjal dan resor pemandian air panas.
Bentang alam pegunungan di Taiwan dapat memperbesar guncangan tanah sehingga menyebabkan longsor.
Beberapa longsor seperti itu terjadi di dekat episentrum gempa bumi, tidak jauh dari Hualien, pada Rabu (03/04) . Reruntuhan menimpa terowongan dan jalan raya, menghancurkan kendaraan dan menewaskan beberapa orang.
Menurut Survei Geologi Amerika Serikat, Taiwan dan perairan di sekitarnya tercatat mengalami 2.000 gempa dengan magnitudo setidaknya 4,0 sejak 1980. Setidaknya 100 gempa berkekuatan magnitudo di atas 5,5 terjadi pada periode ini.
Bagaimana Taiwan belajar dari Gempa 1999?
Pada 21 September 1999, gempa sebesar 7,3 magnitudo menewaskan 2.415 orang, melukai lebih dari 10.000 lainnya, dan meruntuhkan lebih dari 100.000 rumah.
Pusat gempa berada di Taiwan tengah di sepanjang pantai barat dekat Nantou dan Taichung. Bencana alam itu mengeklaim jumlah korban jiwa paling besar di Taiwan sejak Perang Dunia II – banyak orang Taiwan masih terpatri pada memori naas itu.
Bisa dibilang Gempa 1999 adalah “alarm” bagi Taiwan. Gempa yang lazim disebut “Gempa 921” – karena terjadi pada 21 September – memicu otoritas setempat merevisi aturan pembangunan gedung supaya tahan guncangan sekaligus memperkuat undang-undang penanggulangan bencana.
Daniel Aldrich, profesor bidang ilmu politik dan kebijakan publik di Northeastern University, mengatakan Gempa 1999 membuat pemerintahan Taiwan mereformasi sistem tanggap darurat dan mitigasi bencana.
“Banyak pengamat mengkritik respons Taiwan pada gempa 21 September 1999 karena kala itu butuh waktu berjam-jam bagi tim SAR untuk datang dan anggota regu dinilai kurang latihan. Koordinasi juga buruk,” ujar Aldrich.
“Saya rasa kita tengah melihat hasil [perbaikan mitigasi Taiwan] melalui gempa terakhir ini.”
Setiap 21 September, seluruh penduduk Taiwan melakukan simulasi bencana dan mengirimkan pesan-pesan peringatan gempa atau tsunami ke ponsel-ponsel warga. Berbagai sekolah dan perkantoran di penjuru Taiwan juga melakukan latihan keselamatan.
Media publik dan telepon genggam juga secara rutin memberitahu pengguna tentang gempa dan tips keselamatan.
Wu Yi-min, seorang profesor di Universitas Nasional Taiwan, mengatakan dalam dua dekade terakhir masyarakat bisa memperoleh notifikasi gempa dalam waktu 15 detik setelah gempa terjadi.
Salah satu yang menjadi pujian pakar terhadap Taiwan adalah otoritas senantiasa terus memperbarui level ketahanan gempa bagi bangunan baru dan lama meski ini bisa meningkatkan biaya konstruksi.
Taiwan pun menawarkan subsidi bagi para warga yang mau mengecek ketahanan gempa gedung mereka.
Taiwan juga tidak jera menghukum mereka yang melanggar.
Menyusul gempa di Tainan di barat daya Taiwan tahun 2016 yang menewaskan sedikitnya 100 orang, Taiwan memenjarakan lima orang karena mengabaikan ketahanan gempa gedung apartemen 17 lantai.
Puluhan orang tewas di gedung itu – satu-satunya gedung tinggi yang runtuh.
Sesiap apa Taiwan dalam menghadapi gempa?
Selang 20 tahun setelah Gempa 1999 terjadi, surat kabar Taiwan United Daily News, mengutip Pusat Seismologi Nasional Taiwan yang memperkirakan apabila gempa itu terjadi pada 2019, jumlah kematiannya bisa mencapai 3.564 orang dan rumah yang runtuh bisa mencapai 32.775 unit.
Donna Wu, wakil direktur cabang Hualien untuk The Mustard Seed Mission, sebuah yayasan amal Kristen, mengatakan penduduk setempat belajar betul dari gempa berkekuatan 6,4 magnitudo yang melanda Hualien pada 2018.
“Saat itu tugas-tugas tidak terkoordinasi dan semua orang melakukan hal yang sama,” ujar Donna seperti dikutip Reuters.
“Kali ini, setiap grup punya tugas berbeda.”
Kota-kota dan distrik di Taiwan juga dilengkapi dengan regu penyelamat yang siap siaga 24 jam – untuk bencana apa pun.
Sebagai contoh, kurang dari sejam setelah gempa melanda pada Rabu (03/04), otoritas di Kaohsiung, kota di bagian selatan, mengirim tim ke Hualien.
Konteks lain yang bisa dilihat di sini adalah fakta bahwa Taiwan juga punya sistem darurat kalau-kalau China menyerang mereka.
Sistem peringatan dini untuk gempa di Taiwan juga merupakan sistem yang akan dipakai Taiwan apabila ada serangan udara dari China.
Pelajaran apa yang bisa dipetik Indonesia dari Taiwan?
Meski begitu, di Indonesia, dia mengatakan masih ada kasus ketika gempa yang kekuatannya tidak terlalu besar “masih mengakibatkan kerusakan yang signifikan”.
“Misalnya seperti [gempa] di Cianjur [pada 2022],” ujarnya.
Gempa berkekuatan 5,6 magnitudo di Cianjur pada November 2022 menewaskan setidaknya 300 orang, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Irwan menyebut mengapa Taiwan relatif lebih siap menghadapi gempa bumi adalah akibat beberapa rangkaian gempa di masa lalu. Di sisi lain, dia menekankan bahwa Indonesia “jauh lebih besar” dari segi luas wilayah dibanding Taiwan.
Menurut Irwan, peta gempa Indonesia terakhir diperbarui tahun 2019 dan kini sedang dalam proses pembaruan dengan menambahkan sumber gempa.
“Untuk Taiwan, sumber gempa di daratan mereka jumlahnya kira-kira 38 sampai 40. Di Indonesia angkanya mungkin mendekati 400. Jadi skala area kita dan skala persoalan kita memang jauh lebih kompleks,” ujarnya.
“Untuk itu maka keterlibatan seluruh stakeholders menjadi sangat penting.”
Irwan juga mencatat pentingnya Indonesia untuk membangun kapasitas riset untuk menganalisis sumber-sumber gempa juga meningkatkan kesadaran masyarakat dan pejabat publik.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Iswandi Imran, menyoroti bangunan rakyat.
"Di [Indonesia] ini kan selalu saja setiap ada gempa yang paling banyak menderita kan sebenarnya bangunan rumah rakyat - yang umumnya berupa bangunan nir-rekayasa atau non-engineered,” ujarnya.
“Nah, ini memang yang paling urgent untuk segera ditangani. Yang paling mendesak tentu saja adalah bangunan-bangunan masyarakat yang berada di wilayah yang tingkat kerawanan gempanya paling tinggi.”
Selain itu, Iswandi menambahkan pentingnya mengembangkan peta risiko bencana gempa di daerah-daerah rawan gempa untuk berbagai skenario gempa yang mungkin.
“Setelah itu teridentifikasi, baru dibuat program untuk penguatan atau retrofit atau rehabilitasi seismik, terutama pada bangunan-bangunan non-engineered yang berada di wilayah tersebut,” ujarnya.
“Itu yang mungkin paling utama karena berdasarkan catatan yang ada sejauh ini, seperti gempa Cianjur, justru yang banyak menderita kerusakan saat terjadi gempa adalah bangunan rakyat, yaitu rumah. “
Di sisi lain, Prof Iswandi juga menyoroti bangunan-bangunan yang sudah ada dan dirancang dengan menggunakan ketentuan tahan gempa yang lama.
"Di Taiwan setelah Gempa [1999], banyak sekali bangunan sekolah yang dilakukan penguatan-penguatan untuk memberikan kemampuan yang lebih baik kalau gempa terjadi lagi. Nah, di aspek ini yang kita masih kurang.
“Kurangnya kenapa? Kita ini perlu dana yang besar - untuk penguatan bangunan-bangunan yang ada. Nah itu yang menjadi pekerjaan rumah kita. Itu melibatkan dana yang tidak sedikit,” tandasnya.
Dilansir Kompas, Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Sarwidi, yang juga pakar bangunan tahan gempa, menyebut dalam survei yang dilakukannya di beberapa daerah bahwa bangunan rakyat yang memenuhi standar bangunan tahan gempa baru sekitar sepertiga dari keseluruhan rumah.
Riset yang dilakukan ahli bangunan aman gempa, Teddy Boen, pada 2015 memperlihatkan bahwa dari 30,2 juta rumah penduduk di perkotaan, sebanyak 81 persennya berada di zona gempa kuat.
Sementara dari 30,8 juta rumah di pedesaan yang berada di zona gempa kuat sebesar 85 persen.
Bangunan di zona gempa ini, terutama rumah rakyat, baik di pedesaan maupun perkotaan, umumnya belum mengikuti standar aman gempa.
Meski pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa yang diperbarui tahun 2019, hal ini sulit diterapkan karena kebanyakan rakyat membangun rumah sendiri oleh tukang tanpa adanya pengawasan.
“Membangun rumah tahan gempa belum menjadi prioritas masyarakat Indonesia, karena masalah biaya,” ujar pakar kegempaan ITB, Irwan Meilano.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga belum memiliki program subsidi untuk penguatan rumah seperti di Taiwan.
Dilansir Kompas, tata ruang di Indonesia sebagian besar juga belum memperhitungkan jarak aman dari jalur patahan di daratan.
Banyak bangunan – termasuk bangunan publik – berada tepat di daerah patahan aktif, misalnya di sekitar Patahan Lembang, Jawa Barat. Bangunan baru juga dibangun di daerah yang rawan gempa, seperti Cianjur.
Apa kata Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)?
Abdul Muhari, kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat jumlah korban jiwa dari gempa Hualien yang sejauh ini masih kurang dari 10 orang memperlihatkan evolusi mitigasi di Taiwan terutama dari aspek struktural sejak Gempa 1999.
"Taiwan benar-benar serius untuk memperkuat ketahanan bangunannya [...] sebenarnya [ini] memberikan pembelajaran penting untuk Indonesia bahwa ketika kita bicara gempa maka mitigasi utama cuma satu, mitigasi struktur. Artinya bagaimana kita bisa membuat bangunan khususnya rumah penduduk menjadi lebih tahan gempa," ujar Abdul.
Menurut Abdul, hal ini menjadi tantangan terbesar di Indonesia karena masih sangat banyak rumah penduduk yang dibangun dengan konstruksi seadanya "tidak hanya di desa-desa, tapi juga di wilayah perkotaan".
"Karena secara relatif kalau kita bicara Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, Papua, itu enggak ada daerah yang aman dari gempa," ujarnya.
Abdul menambahkan bahwa Ini menjadi pekerjaan rumah besar tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga masyarakat yang memiliki aset rumah untuk benar-benar melihat apakah rumah sudah tahan gempa.
"Yang harus kita ingat adalah bukan gempanya yang membunuh tapi rumah tidak tahan gempa yang membunuh," ujarnya.
Menurut data BNPB, setidaknya ada sekitar 50.000 desa di Indonesia yang berada di kawasan rawan gempa. Artinya ada sekitar dua per tiga dari total jumlah 278 juta jiwa penduduk.
Apabila diasumsikan satu keluarga berisikan lima anggota keluarga, maka ada 40 juta kepala keluarga alias 40 juta rumah yang sama sekali belum pasti tahan gempa.
"Nah, ini rumah-rumahnya sudah terbangun semua. Ini yang menjadi tantangan kita ke depan. Jadi, kalau kita bicara mitigasi gempa itu bukan looking forward [melihat ke depan] tapi looking backward [melihat ke belakang]," tambah Abdul.
"Pembangunan rumah di Indonesia relatif rata-rata secara mandiri artinya tanpa berdasarkan desain rekayasa atau mengikuti SNI bangunan tahan gempa. Inilah yang harus kita perkuat.
Abdul menyebut BNPB sudah banyak memberikan panduan untuk pembangunan rumah tahan gempa berbiaya murah dan tidak rumit - termasuk di laman Youtube mereka.
"Mindset [pola pikir]yang harus kita ubah itu adalah: yang punya bangunan itu kan kita sendiri. Artinya, kalau kita mau aman, ya, kita harus membuat rumah kita lebih tahan gempa. Jadi tidak menunggu gempa dulu, hancur dulu, baru dibangunkan oleh pemerintah untuk tahan gempa," pungkasnya.