Pada Rabu (3/4/2024), Taiwan diguncang gempa bermagnitudo 7,2. Disebutkan ada sembilan korban meninggal dan lebih dari 900 orang terluka. Namun, diyakini akan lebih banyak lagi korban jatuh jika mitigasi tak disiplin dijalankan.
Mitigasi adalah tindakan untuk meminimalkan korban dan kerusakan akibat satu bencana. Latihan mencari perlindungan di tempat yang dipandang lebih aman, seperti berlindung di bawah meja, atau saat menghadapi tsunami mencari tempat tinggi, adalah contohnya.
Pada tahap awal, mengamankan wilayah rawan gempa dari permukiman juga bisa diusahakan. Simpati kita untuk Taiwan yang saat ini masih terus mengupayakan penemuan korban yang terjebak di bawah 26 bangunan yang runtuh sebagian atau miring, khususnya di wilayah Hualien yang merupakan lokasi pusat gempa.
Disiplin Taiwan dalam mitigasi gempa tak bisa dilepaskan dari trauma akibat gempa besar tahun 1999. Pada waktu itu terjadi gempa chi-chi atau jiji yang berkekuatan magnitudo 7,6, menghancurkan Nantou. Korban tewas saat itu 2.400 orang. Bangunan yang rusak atau hancur tak kurang dari 50.000 unit.
Pemerintah Taiwan pun mengambil langkah mengedukasi masyarakat tentang bahaya Patahan Chelungpu yang setiap waktu mengancam Taiwan. Edukasi warga tentang bahaya gempa juga direspons positif mengingat Taiwan pada dasarnya merupakan wilayah yang kenyang menghadapi gempa. Taiwan berada di atas cincin api, garis patahan seismik yang mengelilingi Samudra Pasifik. Sejak tahun 1980, Taiwan diguncang sekitar 2.000 gempa bermagnitudo di atas 4,0, sesuai catatan Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).
Atas dasar kenyataan itu, Pemerintah Taiwan mengambil langkah yang ketat dalam menghadapi gempa. Hasilnya, menurut Profesor Stephen Gao dari Missouri University of Science Taiwan, menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Regulasi bangunan sangat ketat, sistem peringatan dini andal, dan sosialisasi mitigasi gempa dilakukan masif. Diakui, upaya mitigasi membuat pendirian bangunan menjadi sangat mahal. Namun, tak ada cara lain jika pilihannya adalah aman, selamat, atau terkubur di bawah reruntuhan bangunan tinggi.
Setiap kali ada bencana di satu tempat di dunia, sedikitnya ada dua hal yang dapat kita petik pelajarannya. Pertama, tentu menyampaikan simpati. Jika bisa mengulurkan pertolongan kemanusiaan. Kedua, kita simak bagaimana suatu negara, terutama yang ahli dalam penanganan bencana, seperti Taiwan, meminimalkan dampak bencana.
Indonesia, yang juga terletak di wilayah cincin api, memiliki pekerjaan rumah yang serupa dengan Taiwan, tetapi dalam skala yang lebih besar. Politisi dan elite negeri tidak lagi cukup bicara tentang politik praktis bagi-bagi kekuasaan. Masalah mendesak lain, seperti mitigasi bencana dan pemanasan global, harus menjadi salah satu agenda fokus politiknya.