Jakarta (ANTARA) - Waktu terjadinya bencana alam memang tidak dapat diprediksi oleh manusia dan kecanggihan teknologi melalui hadirnya kecerdasan buatan sekalipun. Hanya saja, pergerakan tidak biasa pada alam yang bisa saja menjadi pertanda akan terjadinya bencana alam bisa membantu untuk menyelamatkan lebih banyak manusia.
Banyak negara yang sudah menerapkan sistem peringatan dini untuk bencana alam, sebut saja Jepang. Negara yang rawan terjadi gempa bumi tersebut mempunyai sistem Earthquake Early Warning (EEW) yang mampu mendeteksi gelombang seismik dan memberi peringatan segera ketika gempa bumi mulai terjadi.
Meski peringatan muncul hanya berjarak beberapa detik saja sebelum gempa kuat terjadi, detik-detik tersebut sangat berharga bagi masyarakat untuk mengambil langkah antisipasi dan evakuasi yang diperlukan untuk melindungi diri.
Sistem yang mulai diumumkan Jepang sejak tahun 2000-an itu memiliki keakuratan hingga 82 persen dan mampu meminimalkan kerusakan akibat gempa, selain tujuan utamanya melindungi masyarakat.
Mengingat pentingnya sistem peringatan dini bencana alam, maka tidak heran jika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) mulai menyerukan peringatan dini untuk semua atau EW4AII pada tahun 2022.
Sekretaris Jenderal PBB telah menyerukan agar setiap orang di Bumi dilindungi oleh sistem peringatan dini dalam waktu lima tahun pada tahun 2027.
Dari semua upaya pengurangan risiko dan adaptasi perubahan iklim, UNDRR menganggap peringatan dini dan tindakan dini merupakan salah satu metode yang paling terbukti dan hemat biaya untuk mengurangi kematian dan kerugian akibat bencana.
Kemajuan dalam sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan dinilai telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa dan ratusan miliar dolar.
Sistem peringatan dini multibahaya yang berpusat pada masyarakat, end-to-end, dapat membantu meminimalkan kerugian terhadap manusia, aset, dan penghidupan, dengan memicu tindakan dini yang telah dipersiapkan dan diuji dengan baik.
Meskipun demikian, pada 2022, hanya separuh negara di dunia yang dilindungi oleh sistem peringatan dini multibahaya. Angka tersebut, bahkan lebih rendah lagi di negara-negara berkembang dan lebih parah di negara-negara tertinggal yang jumlahnya hanya separuh serta hanya sepertiga negara berkembang kepulauan kecil yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya.
Digaungkan
World Water Forum ke-10 yang berlangsung di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, pada 18-25 Mei 2024, yang dihadiri oleh 20 ribu delegasi dan partisipan dari 116 negara tentu harus dimanfaatkan untuk menggaungkan kesadaran akan pentingnya peringatan dini terhadap bencana.
Dari 279 sesi yang ada pada forum tiga tahunan tersebut, terdapat satu sesi high level panel yang didedikasikan khusus untuk membahas inisiatif status peringatan dini untuk semua (EW4AII).
Upaya melindungi seluruh masyarakat dunia dari bencana alam, termasuk krisis air, perlu upaya dari seluruh pihak, baik di tingkat global, regional, maupun nasional, hingga daerah. Di tingkat global, UNDRR memperkirakan kebutuhan dana untuk Rencana Aksi Eksekutif mencapai 3,1 miliar dolar AS (Rp49,7 triliun) selama periode 2022-2027.
Kemudian di tingkat regional adalah memperkuat koordinasi dan kolaborasi regional seputar cakupan peringatan dini, serta di tingkat nasional dan daerah dengan membangun momentum politik dan dukungan untuk mempertemukan seluruh lembaga pemerintah terkait dan perwakilan seluruh masyarakat.
Asisten Direktur Jenderal Ilmu Pengetahuan Alam UNESCO Lidia Arthur Brito menyerukan pentingnya kerja sama di tingkat regional dengan berbagi dan menggunakan ilmu pengetahuan secara terbuka.
Jika antarnegara tidak bisa bekerja sama dalam kerangka sains terbuka atau berbagi ilmu pengetahuan, maka masing-masing negara tidak akan benar-benar menggunakan pengetahuan terbaik yang dimiliki.
Padahal, jika ilmu pengetahuan yang dimiliki olah masing-masing negara bisa disatukan, dapat menjadi salah satu upaya terbaik untuk mendukung percepatan inisiatif peringatan dini terhadap peristiwa iklim atau EW4AII.
“Kita perlu berbagi pengetahuan antarnegara, institusi, akademisi, bahkan dengan sektor swasta, karena mereka memberikan tanggapan dan solusi, sebagian besar adalah solusi teknis dan infrastruktur,” kata Brito.
Khusus untuk konteks air, UNESCO sendiri sedang mempercepat implementasi Open Science in Water Sciences, sebuah platform yang menyediakan akses terbuka dan data terbuka. Platform tersebut juga menyediakan sumber perangkat lunak, sumber yang bisa digunakan dalam pengurangan risiko bencana melalui jaringan dan sistem informasi air yang dinamai IHP-WINS.
Urgensi
Upaya perlindungan masyarakat dunia dari bencana alam juga diserukan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dengan meminta setiap negara memulai pembelian alat nasional dan memiliki pembiayaan untuk EW4AII.
Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO) PBB Celeste Saulo mengakui bahwa pembelian alat untuk peringatan dini, memang menjadi tantangan yang besar untuk diterapkan.
Selain harga alat dan pemasangan alat yang mahal, sistem peringatan dini terhadap bencana juga harus menaruh perhatian khusus pada sistem pemantauan dan evaluasi sumber daya manusia agar dapat menjadi rujukan bagi pengambil keputusan dalam mendukung inisiatif sistem peringatan dini.
Besarnya tantangan penerapan sistem peringatan dini bencana sepertinya juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Melansir data Layanan Pengadaan Secara Elektronik milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemasangan instrumen peringatan dini bencana banjir untuk Tahun Anggaran 2024 di 3 kota/kabupaten saja menelan harga Rp1,5 miliar.
Di sisi lain, alat pendeteksi bencana juga acap kali dirusak oleh masyarakat, salah satunya tercermin dari bencana erupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat yang menelan puluhan korban jiwa akibat alat pemantauan gunung erupsi ternyata hilang akibat dicuri masyarakat.
Dalam konteks air sebagai salah satu sumber kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup di Bumi, tak banyak yang menyadari bahwa air juga perlahan terdorong ke ambang krisis.
Meskipun 70 persen permukaan Bumi ditutupi air, sekitar 2,2 miliar orang kekurangan akses terhadap air minum yang aman dan setengah populasi dunia tidak memiliki fasilitas sanitasi yang aman. UNICEF turut memperingatkan bahwa 700 balita meninggal setiap hari akibat tidak memiliki akses air dan sanitasi.
Sulitnya akses terhadap air semakin diperparah oleh perubahan iklim. Bahkan, air sudah menjadi salah satu “alat perang” karena Israel sengaja membatasi akses masyarakat di Palestina, khususnya Gaza, sebagai salah satu bentuk serangan.
Pelaksanaan World Water Forum pun menjadi wadah, terutama bagi pengambil keputusan, bahwa air kini sudah menjadi tantangan. Menjadi pengingat bahwa dalam rentang waktu satu bulan terakhir ada tragedi yang berhubungan dengan air.
Pada awal April, terjadi banjir terburuk di Brasil, tepatnya di Rio Grande do Sul, Brasil Selatan, yang menewaskan 176 jiwa dan ratusan lainnya belum ditemukan. Dubai yang didominasi padang pasir juga diterjang banjir berskala masif.
Pada awal Mei, Indonesia juga mengalami terjadi tragedi banjir lahar hujan di Sumatera Barat dan di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
World Water Forum juga menjadi pengingat bahwa air, terutama untuk minum dan sanitasi, tidak akan terus tersedia jika kehidupan tanpa perilaku bijak pada air dan aktivitas manusia yang menyebabkan kondisi cuaca yang lebih ekstrem terus berjalan tanpa intervensi.
Investasi dalam sistem peringatan dini, termasuk yang berhubungan dengan air, seperti badai, banjir atau kekeringan, bukanlah suatu kemewahan, namun merupakan alat yang hemat biaya untuk menyelamatkan nyawa, mengurangi kerugian ekonomi, serta mengurangi kerugian dan kerusakan akibat peristiwa cuaca, air, atau iklim yang berbahaya.