- Banjir besar menenggelamkan sejumlah desa di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, mulai Hari Minggu (21/7/2024), termasuk juga di kawasan industri PT IWIP
- Banjir besar terjadi karena dampak dampak dari aktivitas tambang terbukti dari luapan air sungai yang berwarna coklat pekat membawa endapan material tanah dan tambang
- Walhi Maluku Utara menyimpulkan bahwa bencana banjir terjadi disebabkan deforestasi dan degradasi hutan dari masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara dan pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
- Analisis Walhi Maluku Utara dari tahun 2001 keberadaan hutan primer seluas 188.000 hektar atau 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah. Saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel.
Banjir besar menenggelamkan sejumlah desa di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Minggu (21/7/2024) subuh. Banjir akibat luapan Sungai Kobe ini berlanjut hingga Selasa (23/7/2024). Ruas jalan di kawasan industri PT IWIP dan ruas jalan di Sagea – Gemaf tepatnya di Jembatan Air Gemaf masih tergenang banjir. Desa Lukolamo terendam air hingga setinggi 2 meter. Desa ini terbilang paling parah.
Menurut sejumlah warga, banjir yang terjadi di Lelilef, Lukolamo, Trans Kobe dan Gemaf, Sagea hingga trans Waleh di Weda Utara itu karena dampak dari aktivitas tambang.
“Dulu di Lukolamo sering banjir tapi warna airnya beda dengan sekarang,” kata M. Ridwan warga Lukolamo yang dihubungi Selasa (23/7/2024). Dia bilang banjir saat ini airnya warna coklat pekat karena sedimen material dari aktivitas tambang.
Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Maluku Utara Mubaliq Tomagola melaporkan dari lapangan Selasa (23/7/2024) malam menyebutkan saat ini intensitas hujan masih sangat tinggi, terutama di daerah hulu sungai Kobe, sungai Akejira, sungai Wosia, sungai Meno, Sungai Yonelo, dan sungai Sagea serta daerah aliran sungai lainnya. Hal ini berpeluang terjadi luapan air dan banjir susulan yang lebih besar dan menggenangi desa-desa lainnya yaitu Desa Lelilef Sawai, Desa Gemaaf, Desa Wale, dan Desa Sagea.
Upaya evakuasi juga terus dilakukan BNPBD Kabupaten Halmahera Tengah, TNI dan Polres Halmahera Tengah dengan menggunakan alat berat dan menempatkan warga di posko-posko yang tersedia di sekitar desa yang tidak terkena dampak banjir.
Bencana banjir telah memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa yang saat ini terdampak banjir dan juga membuat Desa Woekob dan Woejerana yang berada 12 km dari wilayah pesisir.
Berdasarkan data peta overlay kawasan terjadinya bencana banjir di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Walhi Maluku Utara menyimpulkan bahwa bencana banjir terjadi disebabkan masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara dan pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di Halmahera tengah.
Hutan Menghilang
Analisis Walhi Maluku Utara dari tahun 2001 keberadaan hutan primer seluas 188.000 hektar atau 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah. Saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel.
“Pembukaan areal kawasan hutan termasuk kawasan daerah aliran sungai secara sporadis dan masif untuk pengambilan material ore nikel oleh perusahaan yang beroperasi menyebabkan hilangnya kawasan buffer zone sehingga ketika terjadi intensitas hujan yang tinggi. Hutan tidak lagi menahan laju kecepatan air bercampur material tanah serta material logam ke wilayah dataran rendah di wilayah pesisir terutama yang saat ini terendam banjir seperti Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen dan Desa Lukolamo,” jelas Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela.
“Jumlah izin pertambangan nikel di Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 24 IUP dengan luas konsesi 37.952,74 Ha dan yang terluas ijin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT. Weda Bay Nikel (Kawasan Industri Nikel PT. IWIP) seluas 45.065 Ha,” lanjutnya.
Faisal juga bilang ada indikasi tidak ada keseriusan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara terutama Dinas Lingkungan hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas ESDM menyikapi bencana banjir.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara dalam menghadapi situasi bencana banjir yang terjadi tidak bersandar pada data pasti terkait jumlah warga yang terkena dampak bencana banjir di empat desa di kecamatan Weda Tengah sehingga dipastikan model penanganan terhadap korban bencana akan mengalami kendala dan masalah dan berpeluang menimbulkan korban akibat dari keterlambatan dalam melakukan evakuasi.
Desakan Walhi
Desakan Walhi Maluku Utara kepada Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara dan Negara ini berdasarkan situasi dan kondisi bencana ekologis di empat desa di Kecamatan Weda Tengah yang berpeluang meluas ke empat desa di Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah.
“Pemkab Halteng segera menetapkan status darurat bencana di Kabupaten Halmahera Tengah dan segera menambah personil tanggap darurat dan posko di lokasi yang terkena dampak banjir. Mengevakuasi warga yang terisolasi di desa Woejerana, Woekob, Kulo Jaya dan Kobe Kulo. Terutama lansia, perempuan dan anak-anak,” katanya.
WALHI juga mmendesak Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia segera mengambil langkah tegas menghentikan aktifitas investasi pertambangan nikel yang masih beroperasi saat kondisi banjir sedang berlangsung karena melanggar prinsip kemanusiaan dan tidak menghargai hak asasi manusia pekerja dan warga yang saat ini sedang menderita kerugian moril dan materil akibat bencana banjir.
“Untuk Pemerintah Pusat segera mendesak pihak perusahan tambang yang beroperasi di wilayah yang terkena banjir segera memberikan seluruh dukungan materil menanggulangi korban bencana banjir terutama bantuan evakuasi korban di desa yang masih sulit diakses. Bantuan pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar yang mendesak dan sangat dibutuhkan lainnya secara menyeluruh di setiap desa,” katanya.
KLHK juga diminta segera mengambil langkah membentuk tim investigasi menelusuri banjir yang diduga akibat jebolnya tanggul milik PT. Tekindo Energi dan PT. IWIP. Menindak tegas perusahaan tambang yang terbukti melakukan pengabaian dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan bencana banjir.
Pemerintah Pusat juga diminta segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara terutama yang masuk kebijakan proyek strategis nasional (PSN) karena telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara.
Terakhir, Walhi meminta warga Maluku Utara bersolidaritas terhadap bencana ekologis di Halmahera Tengah saat ini. Warga korban bencana banjir juga tetap waspada dengan banjir susulan akibat tingginya intensitas hujan.
Bentang Alam Berubah
Soal izin tambang di kawasan hutan Desa Sagea di Weda Utara saja ada sembilan izin usaha pertambangan yaitu PT Weda Bay Nickel 20.612 hektar, PT Bakti Pertiwi Nusantara 1.232 hektar, PT Gamping Mining 2.538 hektar, Tekindo Energy 1.000 hektar, First Pasifik Mining 2.080 hektar, Harum Sukses Mining 990 hektar, dan Karunia Sagea Mineral 1.225 hektar. Lahan yang menjadi konsesi perusahaan ini tidak hanya menguasai hutan tetapi juga lahan kebun masyarakat yang telah dijual.
Bencana banjir di Halmahera Tengah saat ini memang terkait bencana hidrometeorolgi tetapi juga karena ada penyebab lain. Jika melihat kasus di Weda Halmahera Tengah dan beberapa wilayah lainnya di Maluku Utara, sebetulnya banjir bisa terjadi sebesar ini karena ada perubahan bentang alam. Bentang alam ini yang mestinya menjadi penopang apabila suatu saat terjadi curah hujan tinggi dengan intensitas lama. Jika bentangan alam tidak tergerus maka masih bisa dikendalikan secara alami dan tidak terjadi luapan banjir seperti sekarang.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara, Abdul Kadir Arif, Selasa (23/7/2024) menjelaskan, banjir yang melanda Halmahera Tengah saat ini, tidak berdiri sendiri hanya karena bencana hidrometeorologi.
“Banjir itu bagian dari bencana hidrometeorologi karena ada pemicu berupa hujan,” kata Dedy sapaan akrabnya. Banjir saat ini selain karena adanya perubahan landscape, harus dicermati juga kondisi sungai di belakang desa di mana terjadinya banjir saat ini.
Besar kemungkinan ada sedimentasi yang sangat tebal sehingga memicu luapan banjir hingga ke mana-mana secara sporadis. Atau jangan sampai pola aliran sungai yang sudah tertata secara alami, dilakukan perubahan karena ada pemanfaatan lahan seperti tambang sekarang ini. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam.
“Secara geologi, kami berharap banjir di Weda terutama di daerah lingkar tambang ini dilihat tidak hanya satu sisi. Perlu didudukkan secara tertanggung jawab melalui riset sehingga data yang didapat juga bisa tertanggung jawab,” harapnya.
Sementara sesuai data monitoring hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut Provinsi Maluku Utara sesuai update 20 Juli 2024: secara umum sebagian besar wilayah Provinsi Maluku Utara, mengalami HTH kategori pendek. HTH kategori sangat pendek terjadi di wilayah Kao Teluk, Mangoli utara, Morotai Selatan dan Sanana.
Analisis distribusi curah hujan Juli 2024 Dasarian II (11 – 20 Juli 2024) Provinsi Maluku Utara diinformasikan curah hujannya dominan berada pada kategori rendah (0-50 mm/dasarian). Curah hujan tertinggi terjadi di Weda Selatan (Halmahera Tengah) sebesar 126 mm/dasarian.
Dari data di atas, terlihat bahwa Curah Hujan tertinggi di Maluku Utara terjadi selama 10 hari dari 11-20 Juli, terjadi di Halmahera Tengah. Nilai di atas untuk 10 hari menujukkan intensitas curah hujan yang turun relatif sedang.
“Jika kondisi hulu di hamparan Kabupaten Halteng masih baik baik saja, dampak banjir di Kobe, Sagea dan Lelilef tidak akan seperti ini. Banjir, genangan, kekeruhan sungai pada beberapa muara sungai menunjukkan hulu di DAS Kobe, Sagea dan sekitarnya tidak baik baik saja,” kata Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Moloku Kie Raha (MKR) Hidayat Marasabessy.
Sejak awal Juli hingga pertengahan Juli ini, hujan selalu jatuh di Halmahera dengan intensitas dominan sedang hingga berat, terutama di daerah Halmahera Tengah dan Timur.
Membaca prakiraan curah hujan (CH) dasarian 3 bulan Juli (21-31 Juli) terlihat kembali curah hujan tertinggi akan terjadi di Halmahera Tengah. Melalui analisa di atas baniir masih akan terjadi karena terus turun hujan. Ini akan memicu limpasan (RO) dan membawa material sedimen ke arah muara. Material sedimen tentu hadir dari kegiatan penambangan, rekayasa teknis pada landscape akibat land clearing. Apalagi hingga aktifitas mengangkat material yang umum dilakukan dalam pertambangan.
“Luasan yang telah terbuka, butuh kajian lebih mendalam. Namun dilihat dari visual, kekeruhan dengan curah hujan dengan intensitas sedang, menggambarkan landscape bagian hulu kawasan industry ini sudah tidak baik-baik saja (red flag),” katanya.
Sepanjang 2023 beberapa kali banjir bandang menghantam kawasan industri pengolahan nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, serta desa sekitarnya seperti, Sagea dan Trans Waleh. Hal ini mengakibatkan rumah dan kendaraan milik karyawan tergenang air. Banjir yang menghantam wilayah ini sudah sering terjadi.
Kamis, (14/9/2023) seorang buruh berinisial LY, ditemukan tak bernyawa di kawasan industri. LY diketahui meninggal karena diduga terbawa banjir besar yang melanda kawasan industri IWIP waktu itu.
Sejak Agustus 2023 Air Sungai Sagea di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, tercemar material tanah diduga dari kerukan tambang. Air sungai ini sebelumnya sangat jernih karena dipakai warga untuk minum juga sebagai tempat wisata di Goa Boki Moruru. Namun kini air berganti dari jernih ke oranye kecoklatan dan berlumpur.
Harus Ada Bertanggung jawab Dalam Musibah Ini
Sosiolog Maluku Utara, Dr. Herman Oesman mengatakan horor berupa bencana banjir sebagai akibat dari eksploitasi industri ekstraktif membawa dampak sosial yang tidak kecil. Ini terutama pasca bencana. Selain warga kehilangan harta benda, yang paling memiriskan adalah bencana setiap saat hadir dengan segala resiko, yang tentu nyawa jadi taruhannya.
Pada level bawah, warga akan tidak merasa aman, karena tak punya semacam jaminan sosial ekonomi dari bencana ekologis yang terjadi. Sementara pada sisi lain, industri ekstraktif ini tak mungkin berhenti beroperasi yang berarti kondisi lingkungan akan makin tak menentu dan tentu tidak akan pulih kembali.
“Kondisi ini perlu ada semacam tindakan yang dilakukan yang memerlukan campur tangan pemerintah pusat. Hal ini karena proyek ini berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat dan investor atau pemilik modal,” katanya Selasa (23/7/2024) malam.
Di tingkat pemerintah daerah harus ada semacam daya tawar yang dapat mereduksi implikasi-implikasi bencana ekologis yang ada. “Daya tawar itu harus melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan sebagainya agar lingkungan makin tak rusak,” harapnya.
Lalu peran pemda dan DPRD kala banjir melanda saat ini?
Pemda melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bekerjasama dengan TNI dan Polri masih melakukan evakuasi.
Kabid Humas Polda Malut Kombes Pol. Bambang Suharyono, mengungkapkan personel TNI/Polri dan BPBD Halmahera Tengah dikerahkan menangani bencana tersebut. “Mereka berkoordinasi untuk melakukan evakuasi dan penyelamatan warga yang terdampak” ujarnya.
Evakuasi dimulai sejak Minggu (21/7/2024) dan masih berlangsung hingga saat ini. Tim gabungan memastikan para korban banjir terutama anak-anak dan lansia mendapatkan tempat berlindung yang aman dan layak dari ancaman banjir. Proses evakuasi dilakukan dengan intensif guna meminimalkan dampak bencana.
Tim fokus penyelamatan dan kesehatan warga, memastikan bahwa setiap orang mendapatkan perhatian dan bantuan yang diperlukan. Warga yang terdampak banjir juga diminta tetap berhati-hati dan mengikuti instruksi petugas.
Anggota DPRD Halmahera Tengah Munadi Kilkoda menyampaikan saat ini pemda dan DPRD fokus penanganan korban banjir. Memastikan masyarakat bisa selamat dari musibah dan kebutuhan mereka terpenuhi.
Hanya saja tidak boleh selesai sampai di situ saja. Dinas terkait seperti DLH harus melakukan penyelidikan. Perlu berkoordinasi dengan KLHK agar ada investigasi bencana ekologi ini.
“Saya berkeyakinan penyebab banjir besar ini karena hutan di belakang perkampungan dan hulu sungai Kobe sudah hilang akibat kegiatan tambang yang dilakukan di situ,” katanya. Banjir ini terjadi karena buffer zone di kawasan itu sudah tidak ada. Ketika curah hujan tinggi banjir pasti terjadi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus turun lakukan penyelidikan. Jika penyebabnya karena bukaan lahan yang dilakukan beberapa perusahan tambang di belakang desa desa ini, maka izin perusahan itu harus dievaluasi. Mereka juga harus dikenai sanksi dan denda atas perbuatan yang mereka lakukan. “Harus ada yang bertanggung jawab atas musibah ini,” katanya. (***)